webnovel

Surat Terakhir

Minggu ini aku sama sekali tidak ke kantor. Setelah mengurus rumah sakit dan pemakaman ayah, kini aku harus mengurus rumah ayah.

Ada beberapa hal yang harus diurus sendiri walaupun Sean sudah sangat familiar dengan ayah dan ibu sehingga dia lebih tahu cara mengurus barang-barang ayah dan ibu.

Pagi ini aku akan bertemu dengan pengacara ayah di rumah ayah. Saat aku sampai disana, Sean mengantarku ke ruang kerja ayah tapi aku berkata akan menunggu pengacara ayah di ruang tamu saja. Sekarang saat ayah telah tiada, aku tidak ingin menemui siapa pun di situ.

Rumah yang sudah puluhan tahun kuhuni, sekarang terlihat begitu sunyi dan hampa. Aku melihat ada banyak kenangan di rumah ini. Ada puluhan tanda-tanda kenangan dari ayah dan ibu semasa mereka masih hidup.

Aku mencoba mengalihkan perhatian tapi sulit kulakukan. Mungkin inilah yang dirasakan semua orang saat kehilangan orang terdekat atau keluarga. Ada rasa kehilangan dan kerinduan yang muncul sesekali. Dan kesedihan yang timbul saat membayangkan masa-masa mereka masih ada.

Aku mendengar ada langkah-langkah kaki menuju ke arah aku duduk di sofa ruang tamu. Aku melihat ke arah langkah-langkah tersebut. Ada tiga orang termasuk Sean. Lalu Sean undur diri dan kedua laki-laki itu berjabat tangan denganku lalu duduk di sofa di depanku.

Penampilan mereka mirip dengan Asterix dan Obelix, film kartun yang populer saat aku masih kecil.

Yang satu tinggi besar dengan perut membuncit dan kepala botak. Blazernya terlihat sangat penuh dan ketat menutupi perutnya yang bulat. Sedangkan yang satu berbadan pendek dan kurus. Setelah blazernya terlihat lebih besar dua nomor dari yang seharusnya. Ada sebingkai kacamata duduk di atas hidungnya yang mancung dan sangat runcing seperti Joker. Tapi di antara mereka berdua, aku tahu partner yang lebih senior adalah yang berbadan kecil yaitu Levi.

Levi adalah seorang legenda dalam kantornya yang lama dulu. Kabarnya dia menangani ribuan kasus dan maju sidang tanpa rekor kalah sekalipun. Lalu pada akhirnya dia mendirikan kantor pemgacara sendiri dan menangani ayah sebagai salah satu kliennya.

"James, kami turut berdukacita." Katanya singkat dan tanpa basa-basi. Jabatan tangannya mantap.

Aku mengangguk lalu tanpa membuang waktu sedikitpun, Levi langsung membacakan surat wasiat ayah yang sebagian besar isinya sudah jelas. Ayah meninggalkan beberapa tanda jasa untuk mantan stafnya, baik yang bekerja di rumah ini maupun di perusahaan. Serta ada beberapa peninggalan barang berharga seperti lukisan dan barang antik, untuk beberapa keluarganya.

Ayah telah memberikan sebagian besar asetnya pada Mike saat dia berulang tahun yang ketujuh belas. Dan sisa asetnya termasuk rumah ini menjadi milikku saat dia tiada. Hal itu sudah bisa ditebak karena di antara aku dan ayah tidak pernah ada masalah.

Setelah itu Levi menguraikan surat wasiat ayah, aku meminta bantuannya untuk memilah barang-barang peninggalan ayah yang akan dihibahkan. Dan kami setuju untuk bertemu lagi minggu depan untuk menandatangani surat-surat perpindahan kepemilikan.

Pertemuan kami berlangsung singkat tanpa berbelit-belit. Waktu bagi pengacara adalah uang. Aku memahami kenapa Levi begitu sukses. Penjelasannya sangat mudah dipahami orang awam dan dia menggunakan waktunya dengan sangat efisien.

Aku berdiri saat mereka meninggalkan ruang tamu dan Sean dengan cekatan segera mengantarkan mereka keluar. Tak lama kemudian, Sean kembali ke tempat aku duduk dan menyerahkan sebuah surat dan undur diri. Kulihat tulisan di depannya adalah tulisan tangan ayah. Aku cepat-cepat membukanya seolah-olah itu adalah hartaku yang paling berharga.

James,

Saat kau membuka surat ini berarti aku telah tiada. Surat ini kutitipkan pada Sean bila sewaktu-waktu terjadi sesuatu padaku.

Ayah berterima kasih kau telah menjadi anak yang sangat baik selama ini. Bertahun-tahun kau menghabiskan masa mudamu dan memacu diri hingga bisa tumbuh menjadi penerus keluarga Marcus.

Ayah tahu bahwa kau telah bercerai dengan Lucy. Dan ayah tahu warisan Mike telah jatuh ke tangan Lucy. Kadangkala untuk menyingkirkan sebuah kanker, kau memang harus memotong salah satu bagian agar tidak menyebar ke bagian yang lain.

Ayah bisa menerima semuanya, hanya meminta satu hal darimu, James. Jangan menikah lagi untuk yang kedua kalinya. Jagalah nama baik keluarga kita, James. Anggaplah ini sebagai permintaan egois terakhir dariku, James.

Maafkan ayah yang telah berbuat banyak kesalahan selama masih hidup.

Jeffrey Marcus

Aku tertunduk lemas membaca surat terakhir dari ayah. Semuanya telah diberikan ayah kepadaku hanya ada satu hal yang paling ku inginkan dan itu tidak diberikannya hingga hari terakhirnya. Aku terdiam.

Pesan terakhir dari ayah menguburkan satu keinginanku yang paling dalam selama ini. Aku menginginkan Anne dan aku tidak akan bisa memilikinya. Aku bisa saja hidup bersama Anne tapi dia bukan milikku. Kami hanyalah sepasang kekasih.

Aku bisa saja tergoda mengabaikan surat tersebut. Tapi rasa integritas dalam diriku telah terukir begitu dalam. Sulit bagiku bersikap seenaknya.

Hingga hari semakin sore, aku masih saja duduk di ruangan yang sama. Badanku terasa berat untuk digerakkan. Tapi akhirnya teguran Sean menyadarkanku dari lamunanku.

"Pak, apakah saya perlu menyiapkan makan malam?"

"Hmmm tidak usah Sean, aku baru mau akan pergi."

Aku berdiri sempoyongan dan aku pulang ke rumah dengan perasaan hampa. Aku ingin menemui Anne tapi apa gunanya? Aku tidak bisa memberikan Anne sebuah keluarga. Dan aku tidak ingin bermain dalam permainan yang sia-sia.

Sesampainya dirumah aku hendak menyapa Mike sebentar sebelum tidur. Tapi ketukanku tidak ada jawaban. Saat aku membuka pintunya, ruangan Mike gelap dan kosong. Mungkin Mike sedang keluar rumah.

Aku naik ke lantai dua dan melihat pintu kamar olahraga sedang terbuka sedikit. Aku berjalan ke arahnya.

"Aaahh… terus terus…"

"Aku akan sampai."

"Lebih cepat… lebih cepat…"

Lalu terdengar erangan penuh kepuasan laki-laki dan wanita saat mereka mencapai puncak.

Aku mengenal suara wanita itu dengan baik. Aku langsung mendorong pintu hingga terbuka lebar. Aku melihat Lucy terbaring di atas dada seorang laki-laki yang berbadan kekar di atas matras yoga

Saat aku masuk mereka berdua melihat ke arahku. Lalu aku melihat ke dalam ruangan dan aku menemukan seperangkat stik golf, aku menarik salah satunya dan mengayunkannya ke arah laki-laki itu.

"Sebaiknya kau segera keluar sekarang juga. Wanita ini bukan pemilik rumah ini," kataku pada laki-laki itu.

Entah suaraku atau raut mukaku yang menyeramkan. Tapi laki-laki itu langsung berdiri dan mengumpulkan pakaiannya yang berserakan dan lari tunggang langgang keluar ruangan dalam keadaan bugil. Usianya paling hanya lebih tua lima tahun dari Mike. Aku merasa sangat muak dan jijik.

Lalu aku menatap sang wanita yang dengan santai berdiri dan mengambil pakaiannya yang juga berserakan.

"Kau binatang. Tidak sampai seminggu kita berpisah dan kau masih berani bermain cinta di rumah mantan suamimu?"

"Tadinya aku hendak berkemas James tapi aku tiba-tiba George datang. Aku lupa hari ini kan biasanya aku ada sesi yoga dengannya."

"Lalu kau bermain cinta dengannya hah!!"

"Well kau tahu kan aku baru saja pulang dari perjalanan bisnis yang melelahkan. Aku butuh sedikit penyaluran agar lebih rileks," Lucy berkata dengan suara rendah sambil mendekatkan bibirnya ke arah telingaku.

Aku meraih lehernya dan berkata, "malam ini juga kau pergi dari sini dan jangan pernah kembali."

Lucy mendekatkan badannya yang bugil ke arah badanku dan berkata, "tidak ada perayaan perpisahan untuk kita James?"

Aku melepaskan lehernya dan menjauhkan diri, "aku tidak lagi bernafsu saat melihatmu Lucy. Kau bisa menjajakannya pada yang berminat pada uangmu. Tapi bukan padaku."

Lucy tertawa terbahak-bahak hingga dadanya yang terbuka ikut bergoyang, "James, lihatlah betapa kasar kata-katamu. Bukan seperti seorang laki-laki sejati. Nikmati hidupmu yang kesepian James. Aku tahu kau tidak akan bisa menikahi pelacur kecilmu."

Aku menatapnya tajam, "apa maksudmu?"

"Kau kira aku tidak tahu kau tidur dengan pelacur miskin itu hah? James aku selalu selangkah lebih maju daripada mu." Katanya menantang dan tertawa seperti orang gila.

Tapi semua itu tidak penting lagi. Kata-kata Lucy benar kali ini. Tidak ada kesempatan bagiku untuk bersatu dengan Anne.