webnovel

Oh Baby (Romance)

#First_story_of_D'allesandro_klan "Kita harus bermimpi, namun tidak untuk hidup dalam mimpi" Sophia Alberta (18th) bekerja banting tulang untuk mencukupi kehidupannya semenjak ayah dan ibunya meninggal. Bukan hanya itu, Sophia juga kerap merasakan takut jika berdekatan dengan Gunner Anthony. Seorang mafia yang terobsesi dengannya. Hidup Sophia semakin susah saat seorang pemilik hotel tempat ia bekerja memperkosanya hingga hamil. Hingga suatu hari pria itu datang pada Sophia dan menawarkan pernikahan padanya. Bayi yang dikandung Sophia menjadi alasannya. Akankah pernikahan itu berjalan dengan bahagia seperti yang Sophia impikan ?? Menjadi istri dari seorang Edmund D'allesandro sang penguasa dunia bisnis ?? Sementara disisi lain ada pria yang sudah menjamin segalanya untuk Sophia, termasuk hatinya. Gunner Anthony, mafia pelindung Sophia.

Alianna_Zeena · Urban
Not enough ratings
59 Chs

Bab 58

Vote sebelum membaca😘

.

.

Sophia masih menatap pintu kamarnya, menunggu seseorang yang seharusnya sekarang sudah memeluknya hingga terlelap. Namun, nyatanya tidak begitu, Edmund belum kembali setelah mengantarkan Sara ke rumah sakit. Tidak ada seorang istri yang rela melihat suaminya bersama wanita lain, itu alasan Sophia tidak ikut Edmund ke rumah sakit.

Percakapan tadi sore masih teringat dikepala Sophia, tentang bagaimana Sara.

FLASHBACK

"Jadi dia terkena kanker otak?"

Allarick mengangguk.

"Dia terkena kanker otak stadium lanjut saat akan menikah, saat itu dia memutuskan untuk pergi keluar negeri untuk penyembuhannya," jelas Allarick membuat kedua wanita yang ada di sana mengerutkan keningnya heran.

Kini mereka berempat sedang duduk sambil memakan kue pengantin, beberapa tamu sudah kembali ke rumah mereka. Memang, pernikahan ini tidak begitu mewah, Aurin yang memintanya. Dia hanya ingin pengucapan janji lalu makan bersama di halam belakang gereja dan setelah itu berakhir.

"Aku tidak tahu kau mengenalnya dengan begitu baik, dokter," ucap Sophia dibalas anggukan oleh Aurin. "Aku juga tidak tahu kalian saling mengenal."

"dr.Mark yang menanganinya saat proses penyembuhannya, dan aku berteman baik dengannya."

Aurin menggeleng. "Ini aneh, Al, kau yang tidak terlalu menganlnya bisa mengetahui itu dan Edmund yang mencarinya tidak tahu hal itu. Bisa kau jelaskan?"

Allarick menatap Gunner, pria itu kembali mengangguk mengizinkan Allarick mengatakan kebenarannya.

"Sebenarnya Gunner membantunya menyembunyikan diri dari Edmund, jadi hanya orang-orang tertentu yang tahu."

Sophia menatap Gunner tidak percaya. "Jadi ini ancamanmu? Kau tahu yang akan terjadi sehingga terus menerus menerorku?"

Gunner menggeleng. "Aku hanya tidak ingin kau tersakiti, aku tahu Sara pasti akan kembali ke Negara ini setelah dia selesai dengan pengobatannya."

Aurin mengamati raut wajah sahabatnya itu, dia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya itu. "Jika dia sudah sembuh kenapa dia pingsan tadi?"

"Hanya beberapa persen seorang penderika kanker sembuh total. Dia mengalami hal seperti itu karena efek dari terapinya dulu."

Tatapan Sophia beralih pada Gunner. "Lalu apa keuntunganmu menyembunyikannya, Gunner?"

Tiba-tiba saja tangan Gunner menjatuhkan sendok kue yang sedang dia pegang, dia tidak menyangka pertanyaan berbahaya akan keluar dari mulut Sophia. Gunner menatap Allarick mengisyaratkannya mengganti topik pembicaraan. Seakan tahu Gunner tidak nyaman dengan pertanyaan Sophia, Allarick mengalihkan.

"Selain pingsan dia juga akan mengalami hal mengerikan seperti mual, itu membuatnya membutuhkan perawat untuk menemaninya.

FLASHBACK END

Kaki itu menuruni tangga dan berhenti di sofa yang ada di ruang tamu. Sophia menatap pintu apartemen, ini sudah larut malam dan Edmund belum juga kembali. Benaknya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya Edmund lakukan hingga dia melupakan seorang wanita yang sedang mengandung anak pertamanya. Kepala Sophia mengadah keatas menahan air mata yang hampir tumpah, dia rela memberikan apa saja agar keluarganya utuh dan bahagia.

Saat pintu apartemen terbuka, Sophia menatap dari balik kegelapan. Menatap seorang pria yang nampak lesu membuka jas nya lalu menyimpannya sembarangan. Gerakan tangan Edmund terhenti saat dia melihat Sophia menatapnya di balik kegelapan, perlahan dia mendekati istrinya itu.

Tangan Edmund menyentuh pipi istrinya. Jantungnya berpacu begitu memegang pipi Sophia, tangannya terasa basah. Beberapa saat kemudian terdengar isakan kecil. Seketika Edmund langsung menariknya ke dalam pelukan.

Sophia berontak, dia memukul dada Edmund berulang kali. Wanitanya menangis dan membencinya. Edmund tidak mampu berkata apa-apa, dia hanya diam membiarkan Sophia melampiaskan amarahnya. Hingga pukulan dan isakan itu berhenti, Edmund melepaskan pelukannya dan menggendong Sophia.

Perempuan itu membalikan badannya saat Edmund membaringkannya di atas ranjang.

"Kita harus bicara, Sophie."

Sophia terdiam, dia membiarkan Edmund yang duduk dibelakangnya itu mengelus punggungnya.

"tentang Sara, dia…"

"Pernah mengalami kanker otak dan sekarang dia sering sakit karena efek dari terapinya dahulu?"

Gerakan tangan Edmund yang mengelus punggung Sophia terhenti. "Kau tahu?'

Dia kembali terdiam.

"Aku tahu ini salah, tapi aku membawanya kemari, dia tinggal di lantai 20, aku memberinya tempat untuk berteduh karena dia tidak memiliki tempat tinggal, semua hartanya sudah dia habiskan untuk pengobatannya," ucapan Edmund membuat air mata Sophia jatuh.

"Lalu untuk apa kau memberitahukan hal itu padaku? Meminta izin? Bahkan tanpa izinku dia sudah berada digedung yang sama dengan kita."

"Sophie, aku hanya ingin kau mengerti, dia sedang sa-"

"Ya, aku mengerti. Jangan ganggu aku, aku lelah," ucap Sophia menaikan selimut hingga batas lehernya dan kembali memejamkan mata.

Edmund menghela napasnya lalu melangkah ke dalam kamar mandi setelah mengecup kepala istrinya. Dia memang membawa Sara ke gedung yang sama dengannya, hanya saja berbeda lantai. Bagaimanapun Sara adalah seseorang yang pernah mengisi hatinya. Meskpin begitu, Edmund tidak pernah berniat kembali pada Sara, dia hanya membantu sebagai sesame manusia. Lagi pula dia tidak akan selamanya berada di gedung yang sama dengan istrinya.

Nicholas diperintahkan untuk mencari rumah yang nantinya akan ditempati Sara. Edmund juga memerintahkan Nicholas untuk memberikan pekerjaan apa pun itu pada Sara agar dia mendapat penghasilan. Karena tidak selamanya Edmund akan memberinya uang, bukannya tidak mau, tapi dia tahu di mana posisinya. Edmund tidak pantas menafkahi wanita lain selain istrinya.

Ya, Sara hanya akan tinggal di gedung ini selama beberapa hari. Bukan hati Edmund yang menginginkannya, tapi rasa kasihannya yang mendasari semuanya. Saat keadaan Sara membaik, Sara juga menyetujui akan pindah. Hanya saja saat ini wanita itu ingin berada di dekat Edmund sampai keadaannya membaik. Ketika Sara menceritakan semuanya, hati Edmund memang kembali luluh, dia tahu wanita itu tidak memiliki orangtua atau pun kerabat, jadi dia memutuskan membiarkannya tinggal sesaat di sini.

Kini Edmund tahu alasan Sara meninggalkannya, wanita itu menginggalkannya karena kanker otak yang dideritanya. Saat di rumah sakit Edmund dan Sara berdebat karena Sara tidak mengatakan hal itu sebelumnya. Wanita itu berkata dia ingin menjadi wanita yang sempurna untuk Edmund.

Sebagian besar penderita kanker tidak akan sembuh total, mereka akan mengalami efek samping karena terapi. Itulah yang terjadi pada Sara.

Setelah mandi, Edmund memakai celananya lalu ikut bergabung kedalam ranjang. Memeluk Sophia yang masih memunggunginya, tangan Edmund tidak diam, dia menelusup kedalam piyama Sophia dan mengelus perutnya dengan sayang.

"Hanya kau yang akan menjadi ibu dari anak anakku, Sophie. Ikatan kita tidak akan pernah terputus," ucap Edmund lalu mengecup telinga Sophia dan ikut memejamkan mata.

Sophia yang sudah mendengar suara nafas teratur membuka matanya, dia diam tidak bergerak.

'Mungkin aku yang akan menjadi ibu dari anakmu, tapi itu tidak memberi kepastian bahwa akulah satu satunya wanita dihatimu,' gumamnya dalam hati dengan air mata yang menetes membasahi pipinya.

***

Edmund memandang gedung-gedung pencakar langit dari tempatnya yang lebih tinggi dari gedung itu, pikirannya terus saja membayangkan kejadian pagi tadi. Pagi di mana Sophia tidak bicara padanya sepatah katapun, dia memang menyiapkan kebutuhan Edmund, tapi mulut manisnya tidak mengaluarkan suara. Saat dia hendak menjelaskan kembali, Sophia selalu menghindar.

Edmund tidak bisa focus, dia membatalkan rapat pagi tadi hanya karena memaikirkan istrinya itu. Hingga bunyi ponsel akhirnya membuyarkan pikirannya, Edmund segera mengambil mengangkatnya.

"Ada apa, Lucy?"

"Nyonya tidak sadarkan, Tuan."

"Apa?! Bagaimana bisa?!" Edmund menyambar jasnya dan kembali memakainya.

"Sa.. saya tidak tahu, Señor. Tapi perawat Darla sedang memeriksanya sekarang"

"Panggil dokter Mery," ucap Edmund memutuskan sambungan dan segera keluar dari ruangannya dengan tergesa-gesa.

"Batalkan semua rapat hari ini, Maria."

Perempuan itu berdiri dari tempatnya mendengar perkataan Edmund. "Tapi Señor, hari ini anda melakukan survey bersama Tuan Takashiyama," ucap Maria mengingatkan.

"Sigue mis órdenes, Maria," ucap Edmund tanpa berhenti melangkah menuju lift.

sigue mis órdenes, maria : turuti perintahku, Maria

"Sí, Señor."

Saat pintu lift terbuka, Edmund terkejut karena Tuan Takashiyama ada didalamnya, akhirnya mau atau tidak Edmund harus tertahan selama 30 menit dikantornya. Untung saja Tuan Takashiyama pengertian, saat Edmund berkata istrinya sedang tidak sehat, dia menyuruh Edmund pulang dan hal perusahaan bisa dilanjutkan di lain hari.

Dengan cepat Edmund melajukan mobilnya, dia juga tidak kalah cepat berlari saat mobilnya sudah sampai di basement. Perasaan Edmund campur aduk, hatinya merutuki kebodohannya yang lalai menjaga istrinya hingga dia pingsan. Edmund tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika sesuatu terjadi pada bidadari kecilnya.

"Bagaimana keadaannya?" Edmund menatap dr Mery yang sedang menuruni tangga.

"Tidak cukup baik, apa kalian sedang bertengkar?" dr.Mery mendekati Edmund yang berdiri dengan napas terengah.

"Bukan masalah besar."

dr.Mery menahan tangan Edmund saat pria itu hendak melewatinya. "Besar atau kecil masalah yang sedang kalian hadapi, itu berpengaruh pada bayi dan kesehatannya, Edmund. Jagalah dia dengan baik, aku berkata sebagai teman mamamu."

Edmund mengangguk dan kembali melangkah menaiki tangga, begitu dia membuka pintu, terlihat istrinya sedang meminum vitamin dibantu oleh Darla.

"Kau boleh keluar, Darla," ucap Edmund saat dia selesai meminumkan obat pada Sophia.

Darla mengangguk sebelum keluar dari kamar. Di sana Sophia mengalihkan pandangannya pada tirai yang tertiup angin, bagaimana angin menerpa tubuhnya yang kini terasa lemah. Sophia tetap diam saat Edmund menyentuh tangannya.

"Hei, bagaimana keadaanmu?"

Sophia tersenyum. "Cukup baik," ucapnya masih enggan menatap Edmund, dia lebih tertarik menatap tangannya yang digenggam suaminya.

"Sophie, aku rasa... aku ra-"

"Aku rasa perpisahan adalah jalan yang terbaik, Edmund."

Edmund mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?"

"Maksudku." Sophia menatap Edmund dengan matanya yang berair. "Maksudku jika kau memang masih mencintainya dan ingin hidup bersamanya, aku rasa perpisahan diantara kita adalah jawabannya."

"Perkataan macam apa itu." Edmund menggenggam tangan Sophia semakin kuat. "Kenapa kau sampai memikirkan hal itu? Demi Tuhan, Sophie, aku tidak pernah ingin berpisah denganmu."

"Tapi kau mencintai, Sara."

Edmund menatap Sophia tidak percaya. "Beberapa kali aku katakana, kepulangannya kemari tidak akan berpengaruh apa pun."

"Tapi kau membawanya kemari."

Pria itu terkekeh, memegang dagu Sophia dan mengarahkannya untuk membalas tatapannya. "Apa kau sedang berpikir aku akan berselingkuh, begitu?"

"Siapa tahu."

"Astaga, Sophie." Edmund mengusap wajahnya kasar. "Kau begitu kekanak-kanakan."

Sophia menunduk, air matanya jatuh mengenai tangan Edmund yang sedang menggenggamnya.

"Aku hanya membantunya sebagai seorang teman, Sophie. Sara tidak punya uang atau pun saudara, dia hanya akan di sini sampai membaik."

"Dan itu waktu yang lama," ucapnya bagaikan tertelan angin.

"Lihat aku, Sophia."

Perempuan itu menggeleng.

"Sophia."

Dengan matanya yang sembab dia menatap suaminya.

"Dalam beberapa hari lagi dia akan pergi dari sini, aku janji, aku hanya membantunya sebagai seorang teman."

"Kau mencintainya?"

Lagi-lagi pertanyaan ini yang Sophia ajukan. Edmund tidak bisa berbohong atau pun jujur, dia mengelus wajah istrinya yang pucat. Rona pada pipi dan bibirnya seakan hilang dalam semalam. "Kau lebih berharga bagiku."

***

Makan malam kali ini lebih menyenangkan dari sebelumnya, Edmund kembali mengeluarkan leluconnya hingga Sophia tertawa terbahak-bahak. Rasanaya Sophia ingin menghentikan waktu saat itu juga, dia lebih suka semuanya berjalan dengan lambat seperti ini. Edmund yang konyol yang selalu meledeknya dan berakhir dengan permintaan maaf.

"Ayolah, aku hanya bercanda, kau tidak benar-benar bulat."

Sophia membalikan badannya kesal, dia masuk ke dalam kamar bayi untuk menyimpan beberapa mainan yang dibelinya tadi sore bersama dengan Edmund. Ya, sesuai perkataan suaminya, Sara tidak mengganggu Edmund atau pun dirinya. Beberapa kali Sophia lihat dia berangkat pagi dan pulang sore hari, tentu saja Sophia mengawasinya dari atas. Jika Sara belum pulang bekerja dan Edmund juga begitu, maka itu patut dicurigai.

Hal yang membuatnya senang adalah, kabar bahwa Sara akan pindah lusa mendatang. Namun, dia masih enggan menemui Sara saat Edmund mengajaknya untuk memperkenalkannya. Jika dia turun bersama Edmund untuk menemui Sara, dia takut dirinya diacuhkan dan Edmund sibuk bicara dengan mantan kekasihnya.

Sophia tersenyum saat dirinya menempelkan foto USG bayinya, dia dan Edmund pergi ke rumah sakit kemarin. Dan hasilnya memuskan Sophia, tidak ada yang masalah dengan bayi mereka. Makhluk kecil itu berkembang dengan baik, dan kini usianya memasuki 22 minggu.

"Apa kau baik-baik saja?" Edmund memegang kepala istrinya saat mendengar perempuan itu mendesah sakit.

"Ya, aku hanya pusing."

"Baiklah, ayo kita kembali ke kamar," ucap Edmund memegang bahu Sophia dan membawanya ke kamar, dia menidurkan istrinya di sana sambil mengusap punggungnya. "Apa sakit?"

Sophia menggeleng. "Tidak terlalu, berbalinglah," ucapnya pada Edmund yang masih duduk, Sophia merasa diabaikan saat suaminya mengusap punggungnya sambil memainkan ponselnya.

"Sara akan pindah sekarang."

"Benarkah?" Sophia membalikan badannya dengan wajahnya yang ceria.

"Ya, aku akan kebawah melihatnya. Tunggu sebentar."

Kening Sophia berkerut. "Kau akan ke sana?"

Edmuns menatap istrinya yang bertanya dengan nada tidak suka, dia duduk di tepi ranjang dan membelai pipinya. "Aku hanya melihat sebentar, lagipula Nicholas ada di sana. Kau mau ikut?"

Sophia menggeleng. "Jangan lama."

Edmund yang melihat raut wajah kesal Sophia langsung mengecup bibirnya sebelum keluar dari apartemen.

Sophia masih menatap pintu kamarnya itu, Sara akan pindah tapi entah mengapa hatinya terasa sakit. batinnya merasa sesuatu yang buruk akan terjadi saat ini, dia segera menghilangkan fikiran dengan duduk di balkon kamarnyasambil membaca buku. Buku itu terbuka, tapi matanya menatap ke arah lain. Satu jam hanya itu yang Sophia lakukan malam hari ini.

Hingga akhirnya dia beranjak dari kursinya dan berjalan keluar dari apartemen, dia ingin menyusul suaminya. Sophia memang tidak pernah mengunjungi Sara meskipun dia tahu tempatnya, dia tidak ingin berurusan dengan wanita yang pernah melalui masa-masa indah bersama suaminya.

Sophia diam saat dirinya sampai di depan pintu apartemen Sara yang sedikit terbuka, dahi Sophia berkerut mengapa tidak ada tanda-tanda orang akan pindah. Tidak ada kotak apa pun atau orang-oranf yang mengangkut.

Karena penasaran, Sophia memasuki apartemen itu dengan pelan dan menjelajahi seisi ruangan, barang-barang Sara masih terpajang, membuat hati Sophia berdetak dengan sangat kencang saat pikirannya memikirkan hal-hal buruk tentang Edmund dan mantan tunangannya itu.

"Ahh..."

Sophia menegang mendengar suara desahan, dia tahu suara itu. Jantungnya kembali berpacu dengan sangat cepat, bahkan mata Sophia sudah berair sekarang.

"Ahhh..., Edmund."

Sophia mendengar nama suaminya dalam desahan itu, matanya bahkan sudah meneteskan air mata. Tidak ingin berprasangka buruk pada Edmund, Sophia mencari asal suara itu hingga dia berhenti di depan pintu kamar yang juga tidak dikunci.

Sophia mendorong pelan pintu itu. Wanita itu menutup mulutnya sendiri saat melihat apa yang terjadi. Matanya memanas, air matanya sudah membasahi tangan yang membekap mulutnya. Tubuh Sophia ambruk, tapi sepertinya dua orang itu tidak menyadari Sophia berada di sana memerhatikan mereka.

Hati Sophia seakan jatuh kedalam bagian bumi terdalam saat ini, saat dimana dia melihat dua orang berbeda kelamin sedang bertelanjang tanpa sehelai benang pun, mereka sedang bercumbu di mana Sara berada di atas Edmund. Di ranjang.

Sophia semakin membekap mulutnya, tangan yang satunya memegang dadanya yang terasa ditusuk ribuan pedang. Dirinya benar-benar jatuh dan hancur, Sophia melihatnya, dia melihat adegan terkutuk seperti itu.

Perlahan Sophia merangkak dari tempat itu dengan pelan dan hati yang hancur. Air matanya berjatuhan sepanjang jalan. Sophia menggigit bibir bawahnya sendiri menahan tangisan. Hingga Sophia sampai di pintu apartemen, dia mencoba berdiri dengan kaki yang lemas. Entah apa yang terjadi, dia tidak berdaya melihat sesuatu seperti itu. Kakinya semakin lemas, Sophia kembali merangkak di sepanjang lorong sambil menangis. Sophia berhenti dan menyenderkan tubuhnya di tembok apartemen orang lain, dia memeluk lututnya sendiri yang bergetar.

Lututnya terluka karena dia merangkak dari tadi dengan jarak lumayan jauh. Sophia memendam tangisannya dengan tangan yang menutupi wajahnya, dia tidak mempedulikan lututnya yang berdarah.

Dengan tangan gementar, Sophia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Bawa... hiks... bawa.. aku.. pergi.. dari sini, Gunner."

---

Ig : @alzena2108