webnovel

Ternyata Wanita Itu Simpanan Om Darmo

Aku sengaja pergi ke kantor saat keadaan masih sepi. Tujuanku untuk menyelidiki kecurigaanku semalam. Aku yakin kalau perempuan di dalam foto yang ada di ponsel Om Darmo juga kerja di perusahaan ini. Karena semua data karyawan ada di komputer Bos Koko, sehingga hal pertama yang aku lakukan adalah menghidupkan komputer tersebut, lalu serius menatap layarnya. Jariku mulai sibuk dengan keyboard, lalu membuka setiap folder yang ada di sini. Entah mengapa aku yakin kalau perempuan itu adalah Mbak Citra. Satu-satunya wanita yang sangat membenciku di kantor ini. Aku harus tahu nama asli dari Kak Citra. Meskipun foto itu diambil dari belakang, tapi aku yakin itu fotonya. Pantas saja dia sangat membenciku. Mungkin, karena aku keponakan Tante Siska. Sudah pasti dia sangat ingin menghancurkan mahligai rumah tangga mereka berdua. Aku sudah membuka setiap folder dan file tentang karyawan di komputer ini, tapi kenapa tidak ada, ya?

Aku mengusap wajah kasar, lalu kembali membuka setiap folder atau data karyawan yang ada.

"Rey!"

Mataku membulat mendengar suara Bos Koko dari belakang. Aih, ketahuan! Aku memejamkan mata kuat-kuat, saat yakin akan kena marah. Perlahan kulepas tanganku yang sejak tadi sibuk dengan mouse di mejanya, lalu menyembunyikan kedua tangan dibawah meja.

"Kamu cari apa?" tanya Bos Koko sembari membuka laci meja, lalu memasukkan tasnya ke sana.

Matanya masih fokus menatapku.

"Ini, Pak. Sa-saya ...." Ayo, Rei! Mikir, mikir! Kasih alasan yang pas. "Pak, saya ingin lihat data karyawan di sini. Itu pun jika Bapak mengizinkan," ucapku seraya berdiri dan sedikit menjauh dari mejanya. Ya ampun, kenapa aku katakan semua ini?

"Buat apa? Lucu, ya. Kamu baru minta izin, setelah melihat semua data di komputer saya. Seharusnya izin dulu, baru mengobok-obok komputer saya," kata bos koko tenang.

Dia tampak menancapkan sebuah flashdisk di CPU komputernya, lalu duduk di kursi dan mulai memainkan mouse di tangan kanan.

"Mengobok-obok?" kataku dengan dahi mengerut.

"Iya. Maksudnya mengotak-atik, Rey," Bos koko menjelaskan. "Nih!" Dia mencabut flashdisk-nya, lalu menyerahkannya padaku. "Cari di sana. Nama folder, data karyawan," katanya seraya tersenyum.

Huf ... lega rasanya melihat dia tidak marah. "Makasih, Pak," ucapku sembari menerima flashdisk tersebut dengan membalas senyumannya.

Hampir saja aku mati berdiri, alhamdulilla dia tidak marah. Aku berbalik hendak kembali ke meja kerja.

"Saya menunggu balasan chat kamu sampai jam 02.00 dini hari. Saya kira, kamu mungkin ketiduran sampai enggak balas chat saya. Saya berharap, ketika kamu terbangun masih sempat membalasnya, dan ternyata ... kamu memang enggak membalasnya sampai sekarang."

Langkahku terhenti, aku bingung harus menjawab apa. Berbalik atau tidak? Kuputuskan membalikkan badan, lalu menghadap kearahnya. Bos koko diam saja. Hanya dua bola matanya yang melirikku sekilas. Dengan muka tertunduk dan tubuh sedikit membungkuk kukatakan, "Maafkan saya, Pak," lalu segera melangkah kembali ke meja kerja.

***

Waktu berjalan sangat lama. Kemana Wawan? Kenapa dia belum masuk juga? Beberapa kali aku menoleh ke meja kerjanya, kosong. Karina pun belum masuk. Ah, suasana jadi sangat tidak enak. Sedangkan di depan sana bos koko sering mencuri pandang.

"Wawan datang setelah makan siang. Saya mengutusnya pergi ke bank untuk mengurusi masalah giro. Kamu terlihat sangat gelisah enggak ada Wawan di sini. Kenapa? Apakah ... kalian pacaran?" tanya Bos Koko yang membuat mataku membulat.

Dia bicara dengan jari yang sibuk bekerja. Ekspresi wajahnya datar, berbeda dari kemarin ketika di panti asuhan: hangat, dan bersahabat.

"Kami hanya berteman, Pak," jawabku singkat.

Eh, tapi untuk apa aku menjelaskan masalah seperti ini kepada bos koko? Bukannya lebih baik, kalau dia berpikir seperti itu. Kembali bola mata itu menatap wajahku lekat. Aku bahkan menggeserkan layar monitor di depanku untuk menutupi wajah ini. Tidak nyaman rasanya terus-terusan ditatap seperti itu. Terlihat bibir tipis itu sedikit menyungging, lalu beberapa kali menggelengkan kepala. Maksudnya apa coba? Beberapa kali aku salah mengetik angka, gara-gara tatapan aneh bos koko di ujung sana. Bahkan, tanganku sedikit gemetar. Angka yang seharusnya kuketik 28 juta, terketik 280 juta. Otakku blank! Lagian, Bos Koko apa-apaan, sih melihatiku sampai seperti itu?

Bos koko terlihat tertawa beberapa kali. Dia pikir, apa yang lucu? Tiba-tiba tanda panah pada komputerku bergerak-gerak sendiri. Seseorang mengetikkan sesuatu di Microsoft Excel yang sedang aku buka, karena saat ini aku sedang merekap laporan kas besar.

[Kamu kurang konsentrasi. Bagaimana bisa, 28 juta tertulis 280 juta? Rey, kamu lucu!)

Mataku terbelalak, melihat tulisan di komputer dan wajah bos koko secara bergantian. Dia tertawa-tawa sambil memegang dahinya dengan sebelah tangan. Ah, pasti bos koko mengintip komputerku. Ya ampun! Ketahuan 'kan kalau aku ternyata kegeeran ditatap sama dia? Aish, sebalnya!

Aku memejamkan mata kuat-kuat, lalu menggigit bibir kesal. Sumpah serapah kukatakan dalam hati. Kulihat dia mengempaskan punggungnya di sandaran kursi, dengan kedua tangan terlipat di dada. Lagi-lagi, dia menatapku seperti itu. Ahh! Aku tidak bisa kerja, kalau dia masih tetap di sana dan selalu memandangiku seperti itu. Oh, ya Allah, tolonglah hambamu ini. Aku menangis dalam hati.

Tok! Tok! Tok!

"Ya, masuk!" perintah bos koko

"Permisi, Pak. Ada yang nyari Bapak," kata Pak David pada bos koko.

"Siapa?"

"Sepertinya wartawan, Pak!"

"Baiklah. Nanti saya temui, ya. Suruh tunggu saja di ruang tunggu."

"Baik, Pak," jawab Pak David, setelah itu langsung pergi.

Alhamdulillah. Beribu ucapan syukur kupanjatkan dalam hati. Aku bisa kaku terduduk di sini, kalau bos koko tetap di sana dan terus menatapku.

"Rey," panggilnya seraya berdiri dari kursi.

"Iya, Pak?"

"Buatin kuitansi, ya, untuk pengeluaran ngasih wartawan!"

"Berapa, Pak?"

"Nominalnya nanti saja. Yang penting, disiapkan dulu kuitansi sama keterangannya, biar enggak lupa!"

"Baik, Pak."

Bos koko menatapku sesaat seraya tersenyum, lalu keluar ruangan. Sedangkan aku bernapas lega, karena bisa terbebas dari sorot matanya yang tajam. Aku bergegas membuka laci dan mengambil kuitansi. Kuitansi yang sudah kutulisi kuletakkan di mejanya, setelah itu kembali duduk di meja kerja. Aku mengambil flashdisk yang diberikannya tadi, lalu menancapkannya di CPU. Folder data karyawan. Nah, ini dia! Aku membuka folder khusus bagian admin. Kucari nama Citra berulang kali, tapi tidak menemukannya. Aku coba mengingat-ingat nama yang pernah disebut Tante. Siapa, ya? Aduh, pakai lupa lagi! Aha! Aku ingat! Mataku melotot, mencari satu persatu nama itu. Yes, ketemu! Dengan cepat aku mengeluarkan ponsel, lalu mencocokkan nomor teleponnya.

Aku terdiam cukup lama menutup mulut dengan sebelah tangan setelah mencocokkan nomor teleponnya. Ternyata, nomor telepon itu sama. Kupandangi fotonya dengan saksama. Tidak salah lagi, dia orangnya! Pantas saja dia sangat membenciku, ternyata ... ini alasannya. Aku mengepalkan kedua tangan geram. Namun, aku tidak bisa gegabah. Ya, aku harus menyelidiki ini lebih mendalam. Supaya mereka nanti tidak bisa menghindar. Dasar kamu Citra, ternyata kamu jalangnya.

***

Suasana cukup sepi, di jam makan siang ini. Saat ini aku sedang berada di ruangan admin lantai bawah. Aku sengaja datang ke sini untuk menyelidiki semuanya. Kak Citra sedang di kamar mandi. Kini hanya ada Kak Nining di meja kerjanya. Dia juga sedang sibuk dengan komputernya. Karena setiap meja kerja memiliki sekat, dia tidak tahu apa yang kulakukan di meja kerja Kak Citra. Ponsel tergeletak di meja kerjanya. Hati-hati, aku mengambilnya. Aku melirik Kak Nining beberapa kali. Sepertinya dia tidak mencurigai. Aku mulai membuka ponsel. Sujud syukur, karena ponselnya tidak memakai kode pengaman. Aku langsung melihat kontak di layar ponselnya, mengetik nomor Om Darmo yang sudah kucatat di secarik kertas. Beberapa saat kemudian, keluar kontak bernama 'Sayang Akuh'.

Ih, jijik sekali aku melihat namanya! Berani sekali dia memberi nama suami orang dengan nama seperti ini di ponselnya. Cuih! Aku bergerak cepat. Mengedit nomor itu dengan nomorku. Sehingga jika dia menelepon ataupun SMS, akan menyasar ke ponselku. Selesai! Aku meletakkan kembali ponselnya, lalu menghampiri Kak Nining yang masih sibuk bekerja.

"Kak, istirahat dulu makan siang. Rajin banget," sapaku berbasa-basi.

"Tanggung, Rey. Nanti sore musti kelar soalnya."

"Oh. Ya sudah, aku naik ke atas dulu ya, Kak."

"Oke."

Aku keluar ruangan. Kebetulan bertemu dengan ular betina yang baru saja keluar kamar mandi. Dia terlihat santai berjalan ke arahku. Sosok itu tersenyum sinis, lalu berkata,

"Ada gadis murahan ternyata!"

Kali ini aku berani menjawab, "Biasanya ada maling teriak maling. Eh kalau yang ini, ada yang murah teriak murah. Apa namanya kalau enggak murah, kerjanya merayu suami orang!" kataku menatap ke dalam bola matanya.

"Maksudmu apa?!" teriaknya yang tak kuhiraukan.

Mungkin dia tidak menyangka dengan sikapku barusan. Matanya menatapku tajam. Aku tidak menjawab. Dengan santai menaiki anak tangga menuju lantai atas. Mengibaskan rambut, lalu membuang muka. Kita lihat saja, siapa yang akan berakhir dengan air mata? Genderang perang sudah dimulai Citra! Aku atau kau yang akan terbuang!