webnovel

Sikap Bos Koko yang Berbeda

"Om, boleh pinjam ponselnya? Mau telepon Ibu di kampung, tapi enggak punya pulsa."

Aku mendekati Om Darmo dan Tante Siska yang sedang lesehan di teras rumah setelah mencuci piring, terlihat Tante Siska menyandarkan kepalanya di bahu Om Darmo. Dia menatapku sambil mengedipkan sebelah mata. Aku mengulum senyum melihatnya.

"Bentar, ya."

Om Darmo tampak mengotak-atik ponselnya sebentar, lalu diberikannya padaku. Aku membawanya menjauh dari mereka, memeriksa log panggilan masuknya. Sudah bersih! Ternyata Om Darmo menghapus semuanya tanpa sisa. Aku benar-benar menelepon Ibu di kampung selama 30 menit. Bersyukur, semua keluarga di sana sehat. Setelah selesai, kembali kuserahkan ponsel pada Om Darmo, lalu melangkah ke kamar. Sesampainya di kamar, aku syok ketika melihat ponsel. Tujuh belas panggilan tidak terjawab dari 'Nenek Sihir'. Pasti dia menunggu di diskotek. Aku membuka chat-nya. Dia mengirim gambar dengan baju seksi berwarna merah dan bibir menor, seperti mau ke pesta.

[Mas, aku nungguin! Kamu di mana, sih?]

Aku buru-buru membalas.

[Sayang, maaf yah, tiba-tiba Mas ditugaskan keluar kotah. Kitah ketemu, setelah Mas pulang

sajah! Jangan sering menelepon, Mas berangkat bersama Bos besar!]

Cukup lama dia membalas. Akhirnya, lampu gawai berkelip juga. Aku segera membuka chat-nya.

[Kok baru ngasih tahu, sich? Enggak jadi ini, kasih perhitungan ke ponakan istrimu ituh? ]

[Tenang sajah, sudah aku kasih perhitungan sebelum pergih tadi. Dia pastienggak bakal

beranih gangguin kamuh lagih!]

[Aku sebenarnya kecewa, tapi makasih ya, Mas Sayang sudah kasih perhitungan ke diah. Muuuaachhh!] Foto bibir menor memenuhi layar hapku

Huek! Jijik sekali aku membacanya. Aku berlari keluar dan meludah beberapa kali, membuat Tante Siska dan Om Darmo yang duduk di teras depan keheranan. Amit-amit, jabang bayi!

"Kamu kenapa, Rey?"

Aku tersenyum samar. "Nggak apa-apa, Om. Mual dikit aja." Kemudian kembali masuk ke kamar.

***

Aku berdandan agak lama pagi ini. Aku harus membuat sedikit lebam di bagian ujung pelipis, bermodal menonton cara make-up dari akun Youtube semalam. Tujuannya, untuk meyakinkan Nenek Sihir itu bahwa Om Darmo benar-benar memberi perhitungan padaku.

"Tante, aku berangkat, ya," kataku mencium punggung tangannya.

"Ya ampun, Rey! Mata kamu kenapa? Lebam begitu. Coba sini, Tante lihat," kata Tante seraya meraba bagian ujung pelipis.

"Aduh, sakit, Tante. Semalam terbentur pintu, tapi enggak apa-apa, kok," ucapku berpura pura, sembari menjauhkan tangan Tante Siska yang hendak menyentuh wajah.

"Bagaimana, sih, bisa terbentur? Tante kompres air hangat, ya?" Tante Siska segera mengambil mangkuk di rak piring, lalu menuang air panas dari termos.

Aku berlari keluar, melarikan diri sebelum Tante Siska kembali.

"Rey!" teriaknya, saat melihatku berlari.

"Nanti saja pulangnya!" sahutku sambil membuka pintu pagar.

Tante yang melihatku hanya geleng kepala dari kejauhan.

***

Dikantor, Karina dan Wawan heboh melihat lebam di wajah ini. Mereka bertanya banyak hal. Jangan-jangan inilah, jangan-jangan itulah, dan lain sebagainya. Diantara sikap mereka, sikap bos koko yang paling menyebalkan.

"Rey, pelipis kamu?" Dia berdiri di depan meja kerjaku dengan wajah cemas. Bos koko bahkan mengambil tisu dan menyentuhnya beberapa kali. "Sakit, Rey?" tanyanya duduk di sisiku dengan tisu masih digenggaman. Matanya memperhatikan lebam di wajah ini.

"Pak, saya baik-baik saja. Ini cuma sedikit lebam. Saya sehat walafiat," kataku sedikit menggeser kursi kerja.

Masa iya, aku bilang ini cuma make-up. Bisa-bisa tujuanku untuk membohongi wanita ular itu, jadi berantakan.

"Kita ke rumah sakit, ya. Nanti kalau ada darah yang membeku di otak kamu bagaimana? Nanti kamu kenapa-kenapa bagaimana? Nanti kalau kamu amnesia dan lupa banyak hal bagaimana?"

Bos koko masih saja terlihat cemas, sambil sesekali mencoba menyentuh ujung pelipisku dengan tisu.

Astagfirullah. Bagaimana aku menjelaskan ini kepada bos koko, Wawan, dan Karina? Hanya sesekali mereka melihat ke arahku. Keduanya tidak berani bersuara, karena ada bos koko ada di dekat kami. Berbeda sekali ketika bos koko belum datang tadi, seribu pertanyaan mereka lontarkan. Setelah cukup lama, aku merasa sangat risih dan kesal, akhirnya aku berteriak.

"Pak, saya baik-baik saja. Tidak usah berlebihan!" ucapku yang membuat ia terdiam.

Pria berkemeja biru ini menatapku, dan kini gantian aku yang diam. Apa dia tersinggung? Aku menelan ludah, saat kami saling menatap. Tanpa mengatakan apa-apa, bos koko berdiri sambil mengembuskan napas kasar. Dia melangkah menuju meja kerjanya, lalu melempar tisu ke kotak sampah, sedangkan aku jadi merasa bersalah. Kenapa aku harus berteriak? Aduh, sepertinya dia marah. Kan, jadi menambah masalah! Kami bekerja dalam kesunyian. Hanya suara ketika tangan di keyboard yang terdengar. Karina dan Wawan menoleh ke arahku secara bergantian sembari menaik-naikkan wajahnya ke atas, bertanya dengan isyarat. Aku hanya menggeleng dengan wajah kesal.

***

"Pak!" panggilku sambil menyusul langkah lebar Bos Killer, saat dia hendak berangkat ke bank.

Dia berdiri di samping mobilnya, lalu berbalik ke arahku. Kini, aku sudah ada di hadapannya. Bos koko menunggu apa yang ingin kusampaikan.

"Maafkan kata-kata saya tadi. Enggak seharusnya saya berteriak pada Bapak." Aku menunduk dan sedikit membungkuk. Dia diam saja, tapi sorot matanya mengawasi yang membuatku tampak kikuk. Melihatnya hanya diam, tapi terus menatap membuatku gugup. Aku jadi bingung harus bersikap bagaimana. "Apa Anda masih marah?"

Pria di hadapanku ini masih diam. Apa aku menjauh saja? Tiba-tiba sebelah tangannya terulur, lalu membingkai wajahku. Langsung saja mataku membulat, cukup kaget dengan sikapnya. Aku berusaha diam dan menahan amarah.

"Maaf, saya hanya terlalu khawatir terjadi sesuatu sama kamu, Rey." Mata itu menatap sayu, sehingga perlawanan yang baru saja hampir kulakukan meredup seketika. "Kamu... baik-baik saja, 'kan?" tanyanya. Kini tangan itu mengusap lembut pipiku, yang membuat aneh perasaan ini.

"I-iya. Saya baik-baik saja, Pak."

Perlahan aku melepas tangannya sambil berusaha tersenyum, lalu berbalik begitu saja dan meninggalkannya. Aku berlalu dari hadapan bos koko, sambil menyentuh dada yang rasanya tidak keruan. Kenapa baru-baru ini sikapnya tampak berbeda?

***

Aku sengaja turun ke dapur, setelah bos koko berangkat ke bank. Sebelumnya, aku masuk ke Ruang ADM untuk melihat reaksi Citra. Aku membuka pintu ADM. Semua terlihat sibuk dengan kegiatan masing-masing.

"Ya ampun! Mata kamu kenapa, Rei?" tanya Kak Nining yang duduknya dekat dengan meja kerja wanita itu.

Aku berpura-pura meringis, menahan sakit sembari berdiri di sampingnya. Yang lainnya sedang sibuk, sehingga tidak terlalu memperhatikanku. "Enggak apa-apa, Kak. Ada sedikit tragedi semalam."

"Tragedi apa?" tanya Kak Nining penasaran.

"Ah, sudahlah, Kak. Aku enggak ingin mengingatnya. Sakit hatiku, jika ingat semuanya."

"Kamu sabar, ya. Mungkin, suatu saat bisa cerita ke Kakak," katanya menggenggam jemariku.

Aku melirik ke arah Citra. Dia mengulum senyum di meja kerjanya. Mengambil ponsel dengan senyum mengembang, lalu mengetik pesan. Ponselku bergetar. Pasti dia mengirim pesan ke Om Darmo. Aku harus cepat-cepat naik untuk membalas pesannya. Setelah pamit pada Kak Nining, aku buru-buru ke atas. Sampai di atas, aku membuka pesan.

[Massss, kerja yang bagus. Aku mencintaimu! Love you, Mas. LOVE youuuuuu (sepuluh emot cium berjajar]