webnovel

Sadar Diri

Pov : Reynata

Pagi ini, ketika Bos Koko masuk ke kamar mandi, aku memutuskan untuk mengunjungi kamarku sendiri. Aku mengendap-endap keluar dari kamarnya menuju ke kamar sebelah. Kuharap aku tidak ketahuan oleh wanita itu jika masuk ke kamar. Sampai di depan pintu, dengan sangat hati-hati aku memutar knop pintunya, lalu melongok melihat suasana di dalamnya. Sepertinya aman, sehingga aku masuk secara diam-diam. Mendengar suara keran kamar mandi terbuka, sepertinya Kak Dhiya sedang mandi di sana. Dengan sangat hati-hati, aku melangkahkan kaki langsung menuju ke lemari pakaian. Sepertinya kuntilanak itu tidak mengeluarkan pakaian dari kopernya, sehingga dia tidak mengetahui kalau banyak bajuku di dalam sini. Saat sedang sibuk mengambil baju, tiba-tiba terdengar suara knop pintu kamar mandi.

Klek!

Sepertinya Kak Dhiya akan membuka pintu. Seketika aku panik dan bingung harus bersembunyi di mana. Tidak ada pilihan, aku langsung masuk ke lemari pakaian, kemudian perlahan menutup pintunya.

"Nanananana."

Senandung itu keluar dari mulut Kak Dhiya. Aku bisa sedikit mengintipnya yang sedang memilih baju di koper pakaian. Dengan jantung berdebar, aku berdoa semoga tidak ketahuan. Entah apa yang akan terjadi kalau keberadaanku sampai diketahui olehnya. Bisa jadi akan terjadi perang dunia yang entah ke berapa. Aku terus bergeser mundur, karena jempol kakiku nyaris menyembul keluar dari lemari ini. Sialnya tiba-tiba ....

Dug!

Tanpa sengaja, kepalaku terbentur dinding lemari. Aku memejam mengutuk kebodohanku sendiri. Wanita itu menoleh ke lemari, kemudian matanya sedikit menyipit seperti mengamati. Dia perlahan mulai melangkah untuk mendekat ke arah lemari dan sesampainya di depan sini tangannya terulur hendak membuka pintu lemari ini.

Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari gangguan kuntilanak yang terkutuk! doaku.

Pintu lemari terbuka, dan aku semakin kuat memejamkan mata. Sebuah lagu dari Westlife yang berjudul Soledad terdengar nyaring dari gawai di atas nakas. Kak Dhiya kembali menutup pintu lemari, dan segera menjauh. Ia mendekati nakas, lalu mengangkat teleponnya. Aku mengelus dada, mengucap syukur yang tiada terkira.

"Halo, Mi," ucapnya.

Siapa yang disebutnya 'Mi'? Apakah mami Bos Koko?

"Iya, Mi. Oke, aku akan datang ke pesta itu malam ini. Tentu saja bersama Very, Zeze, dan Nicole."

Kemudian dia diam, seperti sedang mendengarkan suara dari seberang telepon. Tidak berapa lama ia tertawa sinis.

"Tenang saja, gadis miskin itu tidak akan datang. Malu-maluin kalau dia datang, pakaiannya saja lecek semua. Selalu pakai sepatu keds ke mana mana. Dia, mana bisa pakai gaun mewah dan sepatu high heels seperti wanita berkelas kayak kita."

Kemudian suara tawanya terdengar nyaring. Tawa yang seolah mengejekku.

"Pokoknya Mami tenang saja, aku akan datang lebih dulu ke sana bersama anak-anak. Setelah sampai di sana, Mami telepon Very, katakan kalau anak-anak sudah datang lebih dulu dan jangan sampai ia mengajak gadis miskin itu."

Aku menelan ludah yang terasa pahit. Ya, aku memang miskin dan tidak pantas bersanding dengan lelaki seperti Pak Very. Dia yang kaya, dia yang tampan dan kurasa harusnya aku sadar diri tentang ini semua. Setelah berbicara panjang lebar mengejekku, dia mematikan telepon. Aku menyandarkan kepala dan bahu ke dinding lemari. Jujur saja, ada yang sakit di dalam sini mendengar ejekannya. Lagi-lagi aku berpikir. Ah, siapalah aku yang berharap terlalu jauh dengan pernikahan kontrak ini? Toh pernikahan kami ini hanya kontrak! Dan aku harus selalu ingat itu!

Wanita itu sudah selesai dengan kesibukannya, kemudian pergi keluar dari kamar, sedangkan aku? Aku malah malas keluar dari sini. Aku duduk dengan wajah mendongak menatap langit-langit lemari. Dengan lemas aku berdiri, lalu mengemasi semua pakaian milikku yang tergantung di sini. Aku melangkah dengan malas keluar dan kembali ke kamar bos koko. Sampai di kamar, ternyata lelaki itu sedang sibuk memakai dasi. Dia tertawa melihatku membawa tumpukan baju di kedua tangan, dan langsung menuju lemari untuk menyusun pakaian.

"Kirain ke mana kamu, Rey," ucapnya mengancingkan benik yang ada di ujung pergelangan tangan setelah berhasil memakai dasinya.

Aku diam saja, hanya melempar senyum sekilas. Entahlah, rasa apa yang ada di dalam hati ini, setelah mendengar obrolan Kak Dhiya tadi. Aku hanya merasa tidak bersemangat melakukan apa pun.

"Kamu kenapa, Rey? Masih sakit giginya?" tanya Bos Koko.

"Enggak, Pak. Alhamdulillah, sudah lebih baik."

"Oh. Ya sudah, saya turun duluan. Kamu cepat mandi, kita sarapan sama-sama," pintanya.

Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala.

***

Ketika aku turun, ternyata semua orang sudah siap di meja makan. Tempat dudukku yang biasa berada di dekat bos koko, ditempati oleh mantan istrinya. Aku memilih duduk berseberangan meja dengan suami kontrakku itu. Jujur saja, sebenarnya malas duduk satu meja dengannya. Hanya saja aku harus meneruskan sandiwara ini dan kami harus terlihat baik-baik saja di depan Zeze.

"Pagi, Sayang. Mau ikut anter Zeze sekolah, ya?" tanya Bos Koko, ketika Nicole mendekat.

"Pagi, Papa. Iya, Nicole sama Mama mau antar Zeze bersekolah," jawab Nichole sembari duduk di samping papanya.

Aku tertunduk, hanya bisa menatap kehangatan mereka. Seharusnya aku tidak berada di sini sekarang. Apakah benar kalau aku pembatas kedekatan antara bos koko dan mantan istrinya. Jangan-jangan bos koko masih menaruh rasa dengan perempuan itu?

"Bunda ikut sama Zeze, ya?" pinta putri kecilku dengan mata berbinar.

Aku sangat bahagia dia masih memperhatikanku, tapi baru saja mulutku ingin menjawab, tiba-tiba Kak Dhiya sudah bicara lebih dulu.

"Enggak perlu, Sayang. Kan sudah ada Mama," sanggahnya sembari mencium kening Zeze.

"Rey, kamu mau ikut mereka?" tanya Bos Koko sambil menatapku.

Aku hanya tersenyum, tanpa menjawab. Sepertinya perkataan Kak Dhiya tadi sudah menegaskan, kalau aku tidak dibutuhkan dan tidak perlu ikut mereka. Padahal jauh di lubuk hati, aku ingin selalu ada di dekat Zeze. Aku hanya ingin memastikan, kalau anak itu baik-baik saja.

"Tante, saya rasa Nicole dan Mama sudah cukup mengantar Zeze ke sekolah. Tante di rumah saja," ucap Nicole.

Anak laki-laki itu melihatku dengan tatapan benci. Entah, apa yang merasukinya, sampai dia bersikap demikian. Padahal kami juga baru mengenal. Mengapa rasa benci di hatinya sudah tertanam tanpa memberiku kesempatan untuk mengenalnya lebih dalam?

"Saya nggak apa-apa. Di rumah saja, Pak," jawabku.

"Oh. Ya sudah, kalau begitu. Sayang, Papa kerja dulu, ya. Sini, cium dulu. Muach, muach!"

Bos koko pamit pada kedua anaknya. Tanpa kusangka, lelaki berkulit putih itu mendekat dan memeluk kepalaku erat. Dia mengecup puncak kepalaku hangat.

Rey, jangan baper! Dia cuma mau manas-manasin mantan istrinya saja. Sadar, Rey, Sadar!