webnovel

Ke Salon Kecantikan

Aku berusaha mengendalikan perasaanku sendiri, supaya tidak terlalu terbawa perasaan dengan akting bos koko barusan. Apalagi baru-baru ini sikapnya amat manis, yang sering membuatku berpikir kalau pernikahan kami seperti pernikahan bahagia pada umumnya, tapi sekali lagi hatiku menegaskan kalau pernikahan ini hanyalah pernikahan di atas kertas!

"Hei, suamimu mau kerja. Enggak mau antar ke depan?" bisiknya di telingaku.

Aku terkesiap, menoleh, lalu menatap wajahnya dengan pandangan tidak mengerti. Kalau saja ini bukan akting, pasti aku akan sangat bahagia. Aku masih diam, langsung berdiri dan mengekor bos koko dari belakang.

"Jangan lupa nanti ke dokter gigi, ya!" perintahnya, setelah kami sampai di teras depan.

"Iya, Pak. Sekalian mau ke panti asuhan. Sudah lama saya nggak ke sana. saya merasa rindu juga dengan anak-anak." Aku diam sesaat, lalu melanjutkan kata-kata. "Pak, aktingnya ... bagus sekali tadi di depan Kak Dhiya," ucapku seraya mengulum senyum.

Padahal jauh di dalam lubuk hati, berharap kalau itu bukan hanya sekadar kepura-puraan. Ada getir di dalam hati, saat mengingat kalau sekarang ini kami hanya berakting dan pura-pura bahagia di depan mantan istrinya.

"Iya, enggak apa-apa kalau mau ke sana. Hati-hati nanti di jalan. Kalau terjadi sesuatu, jangan lupa telepon saya." Lagi ia mengingatkan.

"Iya, Pak."

"Ya sudah, saya pergi dulu. Assalamualaikum," pamitnya.

"Wa'alaikumsalam."

Setelah mobil bos koko hilang dari pandangan, aku bergegas kembali masuk untuk menemui Zeze dan mencium gemas kedua pipinya. Kukatakan aku tidak bisa ikut mengantar, karena ingin membantu pekerjaan rumah Jeje yang menggunung. Meskipun awalnya putri kecilku itu terlihat muram, tapi kembali ceria setelah aku berjanji akan menemaninya bermain boneka nanti malam. Kak Dhiya terlihat kesal melihat kedekatan kami, sehingga langsung menarik tangan Zeze dan mengajaknya berangkat ke sekolah. Sedangkan Nicole tidak melakukan apa pun, dia hanya melihat kami berdua dengan saksama. Tanpa tersenyum sedikit pun. Sungguh, sepertinya dia tidak ingin bersahabat denganku.

Aku menuju dapur, setelah mereka keluar dan berangkat mengantar Zeze. Karena penasaran, aku bertanya pada Jeje. Sebenarnya, ada hubungan apa Kak Dhiya dan Pak Sandoro, hingga terlihat sangat dekat. Sambil memotong sayuran, aku mendengarkan ceritanya. Ternyata Pak Sandoro dulu adalah sopir pribadi mantan istri bos koko itu. Dia bahkan mengetahui perselingkuhan Kak Dhiya dengan beberapa pria. Namun, karena Pak Sandoro sering dikasih uang tutup mulut agar menjaga rahasia, maka dia tidak pernah memberi tahu bos koko perihal kecurangannya. Pak Sandoro bahkan nyaris dipecat, karena sikapnya itu.

Aku mangut-mangut mendengar cerita Jeje, sedangkan Mbak Mira sibuk menggiling pakaian. Selesai masak dan bercerita, aku langsung pamit ke atas untuk berganti pakaian, karena akan ke dokter gigi dan ke panti asuhan siang ini. Sampai di atas aku duduk termenung. Katanya, daun jatuhpun atas ijin dari Tuhan di atas sana. Apakah ... pernikahan ini pun terjadi karena campur tangan dariNya? Bukan hanya soal perkara untuk membayar hutang.

***

Aku sedang menunggu taksi di depan pagar rumah, tapi dari kejauhan netraku seperti melihat mobil bos koko mendekat. Mengapa bos koko sudah pulang di jam seperti ini? Apakah ada sesuatu yang tertinggal? Sampai di depanku mobilnya berhenti, lalu membuka kaca mobil. Aku menunduk melihatnya yang ada di dalam.

"Masuk!" perintahnya.

Lama aku mematung. Kenapa dia tiba-tiba menjemputku? Apa dia yang akan mengantarkanku ke dokter gigi dan ke panti asuhan? Aku segera membuka pintu mobil dan melesat duduk di sampingnya, setelahnya kembali kututup pintu dan menoleh ke arahnya.

"Kita mau ke mana, Pak?"

"Kamu mau ke mana?" Dia balik bertanya.

"Mau ke dokter gigi, Pak. Setelahnya ke panti, sesuai dengan apa yang saya katakan tadi pagi."

"Ke dokter giginya dan ke pantinya besok saja. Ini lebih penting."

***

Sampailah kami di sebuah gedung bercat putih tiga lantai. Aku turun, setelah bos koko membukakan pintu. Dia langsung mengamit tanganku mengajak masuk. Suasana di dalam gedung cukup ramai. Rancangan ruangan dengan desain interior yang mewah dan eksklusif, cukup membuat mataku terpana. Bahkan, aku melihat seorang artis di antara pelanggan lain sedang di-creambath rambutnya.

"Pak, itu bukannya Mbak Titi Kamal, ya?" tanyaku pada Bos Koko.

"Iya. Terus kenapa?"

"Pak, aku mau minta tanda tangannya."

Aku berusaha melepaskan genggaman tangan lelaki ini.

"Rey, nanti saja. Jangan sekarang."

Bos Koko langsung menarik tanganku lagi untuk menemui seseorang di sebuah ruangan. Dari kejauhan, nampak seseorang berdiri dan tersenyum meyambut kedatangan kami.

"Kak Mela, apa kabar?" sapa Bos Koko pada seorang wanita berwajah ayu, bertubuh langsing, dan berkulit putih di hadapanku.

Wanita itu tersenyum manis dan langsung memeluk leher bos koko dengan hangat. Entah mengapa, aku merasa ingin marah melihat sikapnya. Mengapa mereka terlihat begitu dekat? Bahkan, sampai peluk-peluk segala. Apa Bos Koko lupa, kalau sekarang dia itu seorang muslim? Seharusnya dia menjaga jarak dengan yang bukan mahramnya. Aku berusaha meredam amarah. Tapi, mengapa aku harus marah? Kalau dia tahu aku marah seperti ini, bisa jadi pria itu akan berpikir kalau aku cemburu. Tunggu dulu, cemburu? Apa ... apa aku cemburu melihatnya dengan wanita itu? Aku kembali melihat ke arah mereka dan pura-pura tersenyum.

"Apa kabar kamu, Very? Lama nggak berjumpa," sahutnya melepas pelukan dan kini menatapku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. "Siapa dia, Very?" Wanita itu menyentuh ujung rambutku yang tergerai.

"Dia istriku, Kak," jawab Bos Koko

"Oh, beautifull! Dia hanya kurang dipoles sedikit saja. Pasti akan lebih terlihat sempurna!"

"Itu yang saya mau, Kak. Saya mau dia berubah menjadi Cinderella malam ini," pinta Bos Koko.

Cinderella? Apa aku terlalu jelek, hingga ingin diubah menjadi seorang Cinderella? Aku menoleh ke arah cermin yang berdiri kukuh di samping kami. Terlihat jelas pantulan bayangan kami bertiga di sana. Aku menatap diriku dan wanita yang kini berdiri di sampingku. Ya, kami bagaikan langit dan bumi. Sungguh, jauh berbeda. Aku yang dengan pakaian apa adanya, dan wanita ini yang tampak berkelas. Tiba-tiba aku ingat sesuatu.

"Pak, bagaimana saya mau salat Ashar dan Magrib, kalau di-make-up dari sekarang?" tanyaku penasaran kepada bos koko.

"Siang ini kamu hanya perawatan, Rey. Nanti setelah magrib make-up-nya. Salat Isyanya pulang dari dari pesta saja," sahut Bos Koko.

"Jadi, saya di sini sampai malam?" tanyaku kaget.

"Iya. Kenapa? Biar kamu cantik. Tenang saja, kamu aman di sini. Aku minta pelayanan komplet buat kamu."

"Ah, Bapak apa-apaan, sih?" gerutuku kesal.

"Nurut saja, Rey. Ini demi kebaikan kita," katanya menenangkan, lalu kembali berbincang dengan wanita ini.

Tunggu dulu, pria itu bilang salat Isyanya setelah pulang dari pesta, apa mungkin ada pesta di kantornya?