webnovel

Pilih Tiang Listrik atau Suami?

"Pangeran siapa? Jelas saya ada di sini, kita kan suami istri, Rey. Kan semalam kamu sendiri yang peluk saya! Kok kamu terus saja menuduh saya yang berbuat macam-macam, padahal kamu yang selalu cari kesempatan. Saya berani sumpah!"

"Bapak pasti bohong, mana mungkin saya melakukannya?"

"Kamu tidak percaya?"

"Jelas dong."

"Biar Tuhan saksinya di atas sana."

"Ah! Bapak selalu mencari alasan untuk memojokkan saya!"

"Saya serius kok. Kamu memang yang peluk-peluk saya. Karena semalam cuacanya cukup dingin, jadi ...."

"Jadi, apa?"

"Ya ... saya balik peluk kamulah."

"Ish! Bapak kan sudah janji, nggak akan sentuh saya. Kok, peluk-peluk, sih?"

"Karena kamu yang mulai duluan, Rey."

Rey tidak menjawab. Dadanya kembang kempis dengan wajah memerah. Sepertinya ia benar-benar marah. Rey berjalan cepat keluar kamar dengan muka kesal untuk menghindari keributan. Ia takut keluarganya mendengar pertengkaran mereka. Setelah Rey keluar kamar, Very menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, kemudian duduk di tepi ranjang. Dia tertawa sambil menggelengkan kepala saat terbayang apa yang telah dilakukannya semalam. Ketika Rey terlelap, dia sengaja mengangkat kepala wanita itu perlahan, mengganti bantal dengan lengannya yang kekar. Kemudian Very menuntun tangan Rey supaya memeluk tubuhnya.

Baru saja pria itu akan berdiri, Rey sudah kembali dengan wajah yang sudah basah. Sepertinya Rey akan salat Subuh lebih dulu. Wanita itu datang dan masuk kamar tanpa senyuman, pun sapaan. Gadis berumur 20 tahun itu langsung menuju lemari dan mengambil mukena dengan wajah datar. Setelah itu membentang sajadah dengan gerakan masih kesal. Melihat itu, Very buru-buru keluar kamar untuk mengambil wudu. Namun sayang, saat dia kembali sang istri sudah lebih dulu khusyuk dengan salatnya.

***

"Kupaskan kulitnya, Pak!" pinta Rey pada pria yang sedang duduk di kursi meja makan itu dengan sinis.

"Cuma ngupas saja, nih?" tanya Very.

"Iya," jawab Rey singkat.

Tiba-tiba Bu Leni dan Tante Siska datang mendekat. Tante Siska langsung membuatkan Very secangkir teh hangat.

"Makasih, Tante," ucap pria itu sopan.

"Sama-sama, tampan," sahut Siska sambil mengambil sesisir pisang di hadapan Very. Sedangkan Bu Leni sudah sibuk membuat adonan dari gandum.

Mendengar ucapan tantenya, Rey melirik sinis.

Tante apaan, sih? Aku kan sengaja ngasih kerjaan itu ke dia buat pelajaran, karena sudah peluk aku semalaman. Eh, Tante merusak semuanya, protes Rey dalam hati.

"Kamu mana pernah ngupas kulit pisang. Nanti bingung lagi gimana caranya. Ya, 'kan, Mbakyu?" kata Siska pada Bu Leni.

Saudaranya itu hanya menaikkan kedua alis, memberi isyarat sebagai jawaban. Sinta dan Bagus datang, kemudian mengambil posisi duduk di kursi meja makan, di dekat pengantin baru.

"Pagi, Om," sapa Sinta yang dijawab anggukan, sedangkan Bagus hanya tersenyum ramah.

"Gabung duduk bersama Bapak dan Om Darmo saja, Nak Very. Mereka ada di teras," perintah Bu Leni.

"Oh. Iya, Bu," sahut pria itu.

Dia beranjak dan membawa gelas tehnya menuju ke depan.

"Ciee, ciee, yang bibirnya sudah nggak perawan," goda Siska menaik turunkan alisnya.

Hah! Kok, Tante Siska bisa tahu, sih? gerutu Rey dalam hati.

"Eh, awas loh, dari kontrak jadi ngontak."

Kembali tantenya itu berbisik menggoda. Bagus dan Sinta saling pandang, lalu mengulum senyum saat mengerti apa yang baru saja mereka dengar.

"Tante apaan, sih? Didengar mereka berdua," gumam Rey merapat ke tubuh tantenya. "Kontrak jadi ngontak? Maksud Tante, apa?"

"Kontrak, hubungan dalam jangka kurun waktu tertentu. Kontak, hubungan satu dengan lainnya. Dalam kata lain jadi serius begitu, nggak bohongan lagi nikahnya. Jadi jatuh cintrong beneran," ucap Siska lirih. Rey mencebik mendengar bisikan dari tantenya.

***

Tepat pukul 09.30, Very pamit pulang. Dia mengizinkan Rey sementara menginap di rumah tantenya selama kedua orang tua wanita itu masih di sini. Pria itu hanya ingin melihat putrinya dan keadaan rumah.

Tiga hari kemudian ....

Setelah semua sarapan pagi, waktunya mengantar Pak Suseno dan Bu Leni ke bandara. Very melarang mertuanya naik bus. Dia membiayai ongkos kepulangan mereka; mulai dari tiket pesawat, dan yang lainnya. Hati Bu Leni dag-dig-dug-der. Bukan tanpa sebab, karena ini adalah penerbangan pertamanya. Dia biasa naik bis atau kereta.

"Nduk, nanti kalau pesawatnya jatuh ke laut bagaimana? Atau menabrak tiang listrik bagaimana?" Berbagai macam ketakutan hinggap di hatinya.

"Berdoa, Bu. Yakinlah, semua akan baik-baik saja," sahut Rey menenangkan.

Sedangkan Very lagi asyik mengobrol bersama Pak Suseno di belakang kursi Rey dan Bu Leni, diruang tunggu. Waktunya telah tiba, Rey memeluk tubuh ibu dan bapaknya erat. Setelah itu, dia melambaikan tangan mengantar kepergian mereka. Setelah pesawat mengudara, mereka memutuskan untuk langsung pulang.

***

"Kamu nangis?" tanya pria berkulit putih itu, saat melihat Rey terisak.

"Enggak!"

"Enggak usah bohong," sambung Very. Pria itu menepikan mobil di pinggir jalan, lalu menghadap ke arah istri kontraknya. "Kita duduk di taman itu dulu, ya," ajaknya.

Rey diam saja. Dia membuka pintu tanpa menunggu dibukakan. Setelah berdiri di luar, wanita itu menarik napas dalam-dalam. Serasa ada yang menyumpal dada, sehingga membuatnya sulit bernapas. Sementara Very menatap sang istri dengan pandangan khawatir dan iba. Rey dan Very berjalan beriringan, setelah memarkir mobilnya. Makin lama, wanita itu semakin terisak. Dia bersedih, karena teringat ibu dan bapaknya sudah pergi meninggalkannya. Wanita berlesung pipi itu membiarkan suaminya berjalan lebih dulu. Setelah sekitar 100 meter jarak mereka, Very menyadari bahwa sang istri tidak ada di dekatnya. Very menoleh ke belakang, dia melihat Rey tengah menangis sesenggukan. Karena kasihan, akhirnya Very punya inisiatif untuk memeluknya. Ia berteriak supaya istri kontraknya mendekat.

"Hey, sini! Biar aku peluk!"

Rey mendongak untuk menatap suami kontraknya yang berdiri tak jauh darinya. Ia menyeka air matanya menggunakan punggung tangan, lalu berjalan cepat untuk mendekat. Melihat itu Very tersenyum semringah. Laki-laki itu ikut maju dan berjalan cepat seraya merentangkan kedua tangan, siap memeluk. Mereka beradegan seperti dalam film Bollywood saja. Tanpa diduga Rey melewati tubuh Very. Ia malah memeluk tiang listrik yang ada di belakang tubuh sang suami.

"Huhuhuhu. Aku kan masih kangen sama Ibu dan Bapak. Huhuhuhu."

Rey memukul-mukul tiang listrik itu dengan kesal. Very mengerlingkan mata malas melihatnya. Padahal laki-laki itu sudah berpikir akan saling berpelukan dengan mantan bawahannya itu, tapi ternyata, Rey malah memilih memeluk tiang listrik dari pada dia.

'Apa tidak takut kesetrum?' tanya laki-laki itu dalam hati.

Ia lalu mendekati Rey yang masih memeluk benda keras dan dingin itu.

"Rey, malu dong dilihat orang."

"Saya kan masih kangen, Pak, sama Ibu dan Bapak!"

Wanita itu melepas pelukannya.

"Ya, sudah. Ayo sini, duduk di kursi taman saja."

Very mengamit tangan Rey menuju ke taman. Suasana taman hari itu cukup ramai, ada beberapa anak yang sedang bermain sepak bola di sekitan mereka.

"Nanti, saya akan ambil cuti dan kita liburan ke kampung halaman kamu di Sumatera. Mau?"

"I-iya, Pak," jawab wanita itu singkat, masih sedikit terisak.

"Ya sudah, sekarang kita pulang, ya. Pulangnya ke rumah kita, bukan ke rumah Tante Siska. Zeze sudah nggak sabar pengin ketemu kamu."

Pria itu mengacak lembut pucuk kepala istrinya, sebagai tanda sayang. Hal itu membuat Rey terkejut. Karena ini pertama kalinya, sebelumnya Very tidak pernah melakukan hal semacam itu.