webnovel

Memberi Pelajaran Pada Selingkuhan Om Darmo

"Kamu kenapa, Rey?" tanya Tante Siska, saat melihatku keluar dari kamar mandi sambil memegangi perut.

Aku hanya menggeleng. Terbayang lagi adegan tidak senonoh Citra dalam video itu. Lagi, aku berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perut.

"Huek! Huek!"

"Rey!" teriak Tante Siska dari luar sambil mengetuk pintu. "Kamu baik-baik saja?"

"Iya, Tante! Aku baik-baik saja, kok. Tante jangan khawatir, ya."

Sungguh aku mual dan jijik, karena adegan itu terus terbayang di pelupuk mata. Beberapa saat kemudian aku keluar kamar mandi menuju meja makan. Aku duduk di sana. Kusandarkan kepala di atas lengan pada meja, karena merasa lemas habis memuntahkan semua isi yang ada di dalam perut ini.

"Om Darmo mana, Tante?" tanyaku sambil memejamkan mata.

"Kayaknya kecape'an. Lagi tidur di kamar. Kenapa, Rey?"

Tante bertanya sembari mengurut leher bagian belakangku. Sepertinya ia benar-benar khawatir dengan keadaanku. Keringat dingin dari tubuhku sampai membasahi baju.

"Kamu itu kecapaian. Libur dulu kerjanya besok. Istirahatlah, ya!"

Aku diam saja. Mata ini terus memejam. Masih sulit percaya dengan apa yang dilakukan oleh Citra. Begitu pendek akal pikirannya. Aku bisa memaklumi, jika dia tergoda dengan om-om single yang memiliki banyak uang. Hanya saja aku benar-benar tidak menyangka, dia bisa melakukan hal serendah itu hanya untuk memikat suami orang.

***

Seminggu sudah berlalu. Di kantor, Citra selalu tersenyum sinis bila berpapasan denganku. Wajah itu selalu mendongak, dan senyum penuh kemenangan selalu menghiasi bibirnya yang tipis. Sayang sekali, masa mudanya disia-siakan begitu saja. Bukannya mencari jodoh yang pas dan saleh, dia malah sibuk menggoda suami orang! Di sisi lain, aku jadi lebih pendiam, jika berhadapan dengan Bos Koko. Bahkan, hal biasa yang sering kuucapkan 'Iya, Pak!' kini hanya berupa anggukan kepala.

Wawan dan Karina selalu menggodaku.

"Kapan Mbak, nyebar undangan?"

Mereka mengatakan semua itu bukan tanpa sebab. Aku pernah menceritakan permintaan Zeze pada mereka yang membuat dua sahabat yang sekaligus sudah seperti saudaraku itu semakin gencar menjodohkan kami. Pertanyaan itu awalnya cukup mengganggu pikiran, hanya saja kini aku tidak terlalu memikirkannya. Kuanggap itu hanya pertanyaan lucu dari seorang anak kecil.

***

Malam ini, aku sudah berjanji menemui Citra sebagai Om Darmo. Rencananya, aku akan meminta tolong pada Sony untuk mengantarkanku ke taman. Keluar dari kelas, aku dan teman-teman langsung menuju ke parkiran. Setelah pamit dengan teman yang lain, aku dan Sony langsung menuju ke taman. Saat aku mengirim pesan untuk mengajak bertemu, Citra sangat antusias. Barangkali dia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Om Darmo, setelah sekian lama aku yang menyamar sebagai Om Darmo selalu mengelak.

Sepertinya, sudah saatnya sandiwara ini diakhiri. Aku juga tidak mau terus menerus menumpuk dosa, dengan membohonginya. Meskipun aku berbohong demi kebaikan, tapi tetap saja rasa bersalah itu ada di dalam lubuk hati yang paling dalam. Perlahan, sepeda motor yang kami naiki berhenti di parkiran. Sedikit melompat, aku turun dari motor gede milik Sony. Aku melepas helm, lalu menyodorkan ke arahnya.

"Mau aku temenin?"

"Aku bisa sendiri, kok, Son."

Sony merapikan poniku yang berantakan, akibat melepas helm barusan.

"Kamu hati-hati. Aku duduk di sana. Nunggu kamu," katanya sambil menunjuk sebuah gedung serba guna berwarna putih di ujung taman.

"Oke," jawabku singkat seraya tersenyum. "Ya sudah, aku ke sana, ya."

Sony mengangguk.

Aku berjalan di pinggiran lapangan, melewati jalan setapak yang di bagian pinggirnya terdapat berbagai macam dagangan. Sekali lagi, aku menoleh ke belakang. Sony masih menatap dari sana. Aku tersenyum dan melambaikan tangan, lalu kembali melangkah ke tempat tujuan. Dengan jantung yang tidak menentu detaknya, aku berjalan menuju tempat yang kujanjikan. Aku harus tenang menghadapi Nenek Lampir ini, karena aku adalah Pitaloka sang pemberani.

Dari kejauhan, kulihat Kak Citra sedang menikmati secangkir kopi. Suasana taman cukup ramai malam ini. Kami janjian bertemu di sebuah kafe outdoor. Dengan langkah mantap, aku terus memupuk keberanian mendekatinya. Hingga sampailah aku di sini, di hadapannya.

"Hai, Kak," sapaku.

Dia mengangkat wajah, lalu melotot melihat kedatanganku. Kursi yang didudukinya bahkan bergeser karena terkejut melihatku.

"Kenapa, kaget, ya? Biasa saja, Kak, santai .... "

Aku duduk di hadapannya, lalu memesan kopi susu kepada pelayan.

"Ngapain kamu di sini?" tanyanya dengan kalimat penuh penekanan.

"Ya, ketemu Kakak, lah. Ngapain lagi?"

"Saya janjian sama seseorang, bukan kamu!"

"Ye, udah dibilang santai saja! Rileks. Jangan tegang begitu, dong, Kak."

Pelayan meletakkan pesananku di atas meja. Kuucapkan terima kasih, dan dia berlalu. Mata wanita di depanku ini menatap penuh kebencian, sedangkan aku hanya tersenyum sambil mengibaskan rambut ke arah depan.

"Kak, lihat deh foto ini." Aku menunjukkan fotoku ketika berpura-pura dipukul Om Darmo dengan gaya sedemikian rupa. "Aku nggak menyangka ... ternyata aku tuh jago make-up. Sampai Kakak percaya, kalau aku kenal pukul Om Darmo."

Dada Kak Citra naik turun menahan amarah.

"Terus, lihat ini juga deh!"

Aku menunjukkan semua chat kami di ponselku. Matanya semakin merah berkilatan.

"Kakak mesra banget, panggil aku mas."

Aku tertawa seraya menggelengkan kepala.

"Kamu ...," gumamnya geram. Mata itu semakin berapi-api, menatap wajahku lekat.

"Kak, aku tuh sebenarnya kasihan sama Kakak. Biar nanti aku bantu cariin yang bujangan, ya. Kayaknya nih ya, Kakak itu enggak bisa dapat yang masih lajang, sampai nekat mau merusak rumah tangga orang! Kak, Om Darmo itu sudah punya anak dan istri loh. Atau Kakak sengaja, ingin merusak rumah tangga mereka?"

Kini mataku yang menatap mukanya penuh kebencian. Citra mengepalkan tangannya geram, kemudian mengayunkan tangan hendak menampar. Secepat kilat, aku menepisnya dan memegang tangannya.

"Kamu maunya apa, sialan?" bentaknya sembari melepaskan tangan, lalu menggebrak meja.

"Jauhi Om Darmo. Jangan ganggu rumah tangga mereka!" kataku mendekatkan wajahku ke wajahnya, lalu menatap kedua bola mata itu dengan nanar.

"Cuih! Siapa kamu, berani mengatur hidupku? Suami tantemu itu sudah berjanji akan menikahiku. Asal kamu tahu, dia sangat mencintai aku!" bisik Citra penuh dengan kesombongan.

"Oh, ya? coba Kakak dengar rekaman ini."

Aku memutar rekaman dimana Om Darmo mengatakan di telepon bahwa Kak Citra hanya pelariannya saja ketika merasa bosan di rumah. Mendengar itu gigi Citra bergemeretuk geram. Dia semakin mengepalkan tangan dengan urat leher yang menonjol keluar. Sepertinya ia benar-benar marah. Aku tersenyum sinis melihatnya.

"Tunggu kamu, Darmo!" gumamnya.

"Eits, jangan berani macam-macam. Atau ...." Kalimatku terhenti, menunggu reaksi darinya.

"Mau apa lagi kamu, sialan?"

Aku memutar video tidak senonoh yang dikirim Kak Citra semalam, lalu menghadapkan layar HP ke arahnya.

Mata Kak Citra melotot melihat itu.

"Jika kakak berani macam-macam, video ini akan tersebar!"

Aku meniup ujung ponselku dengan senyum sinis. Dia berteriak seperti orang kesetanan, lalu mengobrak-abrik apapun yang ada di atas meja. Aku berdiri, berbalik, dan meninggalkannya. Semua orang menatapnya heran. Rasakan! Aku percaya, orang yang menyakiti akan tersakiti. Orang yang menghina, akan terhina. Orang yang membenci, akan dibenci. Begitu pula orang yang menghancurkan, pasti akan dihancurkan juga suatu hari nanti. Itulah hukum alam. Karma itu pasti ada.

Hukum tabur tuai. Apa yang kau lakukan, kau pula yang akan menikmati hasilnya. Jika yang kau tabur kebaikan, insyaallah kebaikan pula yang akan kau tuai. Begitu juga sebaliknya: jika kau menabur kejahatan, maka kejahatan dan kehancuran pula yang akan kau dapatkan.