webnovel

Masalah Baru Tante Siska

Setiap hari ada saja masalah, seperti ponselku pagi ini. Entah apa yang terjadi dengan dengannya. Sudah ku-charger dari semalam, tapi tidak kunjung hidup juga. Jangan-jangan karena kebiasaan burukku kemarin? Aku terbiasa selalu memutar lagu di kamar mandi untuk menemani membersihkan diri. Tanpa kusadari, ponsel tercebur ke dalam bak mandi, sehingga benda pipih itu terendam beberapa detik, dan akhirnya mati. Pagi ini aku pergi bekerja tanpa ponsel di tangan. Aku mengantarkannya ke konter untuk perbaikan. Ah, dunia rasanya sangat membosankan tanpa benda pipih itu. Tidak dipungkiri, ponsel adalah kebutuhan mendarah daging yang tidak bisa tergantikan bagi rata-rata manusia. Makan, main ponsel. Belajar, main ponsel. Kumpul keluarga, main ponsel. Hidup bagaikan mati, karena ponsel. Ya, termasuk aku sendiri.

Sampai di kantor, aku langsung mengempaskan bokong di kursi tempat kerja. Aku tidak berselera bercanda, otakku memikirkan ponsel yang sedang rusak. Bos koko pasti marah kalau tahu ponsel yang ia berikan saat ini sedang ada di konter untuk perbaikan. Semoga dia tidak mengomeliku di depan Wawan dan Karina. Saat bekerja, aku hanya diam, karena biasanya kami suka saling berkirim pesan, baik lewat ponsel ataupun komputer untuk menghibah bos di ruangan. Aku Serius menatap layar di hadapan, tanpa memedulikan kedua teman. Mungkin mereka berpikir, aku marah. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu. Dari pagi hingga siang, mulutku tetap terkatup. Bos koko beberapa kali melirik, tapi tidak kuhiraukan. Hingga dia pergi ke bank dan pamit pun, hanya Karina dan Wawan yang menjawab. Selama dua jam hanya hening, kemudian Karina dan Wawan nekat mendekat ke mejaku. Padahal, aku sedang malas mengobrol.

"Mbak, bagaimana? Koko sudah kasih sinyal belum?" tanya Wawan.

Padahal, kepalaku masih pusing memikirkan ponsel yang rusak.

"Sinyal apa?" sahutku malas.

"Ngomong mau ngajak married, begitu?" sambung Karina.

"Enggak ada!" ketusku pada mereka.

"Mbak, masa, sih?" tanya Wawan sekali lagi.

"Kepala Mbak lagi puyeng. Jangan bikin tambah puyeng!" sergahku pada Wawan.

Mereka hanya mengangkat bahu mendengar jawaban dariku.

"Mbak!" panggil Wawan.

"Hm," sahutku masih dengan sikap yang malas.

"Jangan lupa, Bos Koko harus disunat!" Wawan dan Karina cekikikan di ujung ruangan.

Ish!

Mereka apa-apaan, sih?

Sedang asyik cekikikan, Bos Koko membuka pintu. Mereka buru-buru duduk di tempat masing-masing. "Rey."

"Iya?" jawabku sambil melihat ke arah Bos Koko.

"Saya telepon dari semalam nomor kamu kok enggak aktif. Ponsel kamu mana?"

"Ponsel saya lagi rusak, Pak. Sekarang sedang saya perbaiki," paparku pada Bos Koko.

"Kamu teledor sekali! Jaga ponsel begitu saja nggak bisa, bagaimana jagain rumah tangga kamu nanti?" katanya dengan wajah kesal.

Tiba-tiba, mouse pada monitor bergerak-gerak. Seseorang membuka Microsoft Word. Aku hanya diam, memperhatikan apa yang ingin ditulis orang itu.

[Ciee, cieee, cieee. Mbak, digombalin Bos Koko. Iciikiwiwwww].

Dahiku mengerut bingung. Aku menatap Karina. Dia sedang asyik membuka buku kas besar. Aku melihat ke arah Bos koko, dia sedang mengutak-atik ponselnya. Terakhir, tidak ada tersangka lainnya. Aku melihat ke arah Wawan, dia juga sedang menatapku sambil mengulum senyum dengan alis yang naik turun. Melihat itu, langsung saja kutunjukkan wajah sinis, dan kembali bekerja. Kletak, kletok! Tangannya mengetik pada keyboard seperti orang yang sedang marah, sekilas, aku juga terlihat sedang bekerja. Padahal, sebenarnya aku kesal karena sedang digodain olehWawan. Ish, wawan apa-apaan sih? Dia pikir aku suka digodain seperti itu?

[Sunat! Sunat! Sunat! Aciaaa :D]

Lagi-lagi anak itu mengirimkan pesan. Makin kesal aku membacanya. Aku mengabaikannya saja, lalu membuka Microsoft Word untuk kembali bekerja. Tidak berapa lama, bos koko menelepon seseorang. Setelah 30 menit, Pak satpam datang mengantar sesuatu. Bos Koko membuka kantong itu dengan cepat, kemudian mengeluarkan isinya. "Sini kamu!" panggilnya padaku. Dengan malas aku mendekat sambil memasang wajah lumayan sebal. Selain karena ponsel rusak, tingkah Wawan barusan juga jadi salah satu penyebabnya.

"Pakai ini. Nanti rusakin lagi!" pesannya sembari menyodorkan ponsel baru padaku.

"Enggak usah, Pak. Katanya satu minggu selesai, kok."

"Bagaimana saya menghubungi kamu dalam satu minggu itu, kalau kamu tidak memakai ponsel?"

Kini wajah bos koko yang tampak kesal. Huft, susah juga menghadapi duda satu ini. Aku mengulurkan tangan dan mengambil ponsel itu, kemudian kembali ke meja kerja.

***

Rumah tangga Tante Siska, kian hari kian romantis saja. Om Darmo dengan senang hati membelikan berbagai macam perabotan rumah tangga, dan baju dengan harga lumayan untuk istri tercinta. Dia juga betah di rumah, tidak pernah keluar malam, kecuali piket jaga malam. Canda tawa bahagia kembali mewarnai hari-hari di rumah ini. Tak ada lagi terdengar keributan antara mereka berdua. Tak ada lagi acara menghancurkan barang yang selama ini sering Om Darmo lakukan, semenjak berselingkuh dengan Citra. Wanita itupun tidak pernah lagi menyapa jika berpapasan denganku jika kami bertemu di lingkungan kantor. Jangankan menyapa, melirik pun dia tidak kuasa. Hingga suatu hari, kantor heboh dengan sebuah berita. Video tidak senonoh Citra tersebar melalui pesan berantai. Aku baru ingat dengan ponsel yang kuperbaiki di konter. Karena hal itu aku jadi merasa tidak enak, takut wanita itu menuduhku yang menyebarkan vidio tak senonohnya.

Setelah tahu hal itu aku berniat mengkonfirmasi padanya bahwa bukan aku yang menyebarkan vidionya. Aku turun ke lantai bawah, sedikit berlari untuk menuruni anak tangga ke ruangan ADM di mana ia bekerja. Sampai di sana, ternyata dia sudah mengundurkan diri kata ADM yang lainnya. Ia tidak lagi bekerja semenjak video itu tersebar.

'Ah, pasti Kak Citra berpikir aku yang menyebarkan videonya tersebut. Padahal, aku tidak tahu apa-apa. Kasihan Kak Citra, nama baiknya pasti tercemar.'

Nasi sudah menjadi bubur, berita itu terus menyebar ke penjuru kota. Besoknya, aku mendatangi konter dimana aku memperbaiki ponsel. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang mengaku saat aku bertanya soal vidio ini. Beberapa hari berikutnya polisi datang ke kantor untuk menemui Citra, karena dia tidak bisa lagi ditemukan. Citra seolah menghilang dari dunia.

***

Hari, minggu, bulan telah berlalu. Citra benar-benar menghilang. Entah di mana dia sekarang. Meskipun aku ingin sekali bertemu dan menjelaskan semuanya, tapi aku tidak bisa berbuat banyak.

"Sudahlah, Rey. Itu bukan salah kamu. Mungkin, itu cara Allah menghukum Kak Citra," pesan Teno malam itu, sepulang kami kuliah.

"Hei! Kami di sini bersamamu, Beib," lanjut Heny memeluk tubuhku erat.

"Aku nggak mau lihat kamu menangisi hal yang jelas-jelas bukan kesalahan kamu, Rey!" Sony menepuk pundakku perlahan.

"Orangnya juga sudah nggak kelihatan. Jangan terlalu dipikirkan, Rey," sambung Rehan menenangkanku.

"Tetap saja, video itu berasal dari ponselku. Jadi, memang aku yang salah. Kenapa aku nggak langsung hapus video itu?" ucapku sembari terisak.

Semua temanku memberi kekuatan dan berusaha meyakinkan bahwa yang terjadi bukan salahku. Sehingga, aku tidak perlu merasa khawatir dan merasa bersalah untuk itu. Tapi tetap saja, aku merasa bersalah atas tersebarnya vidio Citra. Andai aku menghapusnya sejak awal, semua tak akan sampai terjadi sejauh ini.

***

Dua bulan kemudian ....

Aku sedang menyiram bunga di rumah Tante Siska. Minggu ini rumah sepi, Sinta dan Bagus kerja kelompok bersama teman-temannya di sekolah. Hanya ada aku dan Tante Siska di rumah. Om Darmo baru akan pulang nanti sore, dia ada tugas luar kota sudah satu minggu ini. Ketika aku sadang asyik menyiram bunga, tiba-tiba Om Darmo pulang dengan wajah yang tegang. Bahkan, dia tidak menghiraukanku yang menyapanya. Aku meletakkan selang air di dekat mesin cuci, kemudian mematikannya. Tidak bermaksud menguping, tapi ketika masuk ke kamar, aku mendengar suara Tante Siska seperti menangis. Ada apa sebenarnya? Om Darmo keluar kamar dan langsung pergi lagi. Aku mendekati Tante Siska yang masih terisak di dalam kamar.

"Tante, apa Om Darmo selingkuh lagi?" tanyaku penasaran.

"Bukan, Rey. Om Darmo ditipu orang. Dia meminjam uang perusahaan untuk investasi abal-abal. Sekarang, orangnya kabur dan Om Darmo harus mengganti semua itu."

"Ya Allah." Aku mendekati Tante Siska, kemudian duduk di sisinya sambil mengusap punggung wanita itu. "Kalau boleh tahu, kena tipu berapa juta, Tante?"

"Lima ratus juta, Rey." Tante Siska semakin terisak. "Kalau kami nggak bisa mengembalikan uang itu dalam waktu satu minggu, Om Darmo akan dipecat dan dipenjara. Jika kami bisa mengembalikan uang itu, Om Darmo hanya akan diturunkan jabatannya menjadi sales biasa."

"Innalillahi. Tante yang sabar, ya!"

Aku berusaha menenangkan meskipun mataku juga sudah memanas, ingin menumpahkan airnya, karena tidak tahan melihat penderita Tante Siska.