webnovel

Part 7 - PERSIAPAN

***

H-5

Dengan style yang padahal mereka sendiri tidak pernah janjian, akhirnya mereka berangkat untuk menyiapkan acara pernikahan mereka. Yusuf mengenakan jaket denim nya, karena saat ini dia memilih untuk memakai celana jeans hitam dan kaos yang senada dengan celananya. Sedangkan Anin, memakai kemeja denim dengan panjang di atas lutut dan mengenakan celana hitam pula.

Anin yang menunggu Yusuf di rumahnya, hanya bisa melongo saat melihat bagaimana gayanya Yusuf sekarang. Dari sejak kuliah, memang Yusuf terlihat keren. Tapi sekarang, Yusuf malah justru berkali-kali lipat kerennya dan sukses membuat Anin berpikir berulang kali apakah yang ada di depannya sekarang adalah calon suaminya yang tinggal menghitung hari sampai sah menjadi suaminya.

Mereka juga memutuskan untuk mempersiapkan acara pernikahan mereka sendiri, karena setelah melihat para calon mertua yang berdebat tentang bagaimana acaranya nanti. Lebih baik Anin dan Yusuf sendiri yang turun tangan. Apalagi, ini adalah acara sekali seumur hidup mereka dan pastinya mereka ingin mengadakannya sesuai dengan keinginan mereka juga.

"Dek, dari tadi kamu lihat di sebelah kiri kamu terus, emang ada pandangan yang menarik ya??"

Yusuf ikut-ikutan memandang sebelah kiri Anin yang pasti hanya berisi pemandangan sepeda motor yang berburu tempat terdepan saat lampu merah. Anin memang sengaja terus-menerus melihat sebelah kirinya, karena dia tidak ingin raut mukanya saat ini yang pasti sudah merah kaya tomat rebus. Tapi, saat dia menoleh ke samping yang di dapati malah wajah Yusuf yang hanya berjarak beberapa inchi dari wajahnya. Spontan dia kembali menoleh ke kiri lagi. Tidak ingin Yusuf menemukan wajahnya yang sudah panas seperti itu.

"Nanti tengeng lho, kalau lihatnya sebelah kiri terus..."

Sindir Yusuf menjalankan mobilnya kembali sambil senyum-senyum bahagia melihat bagaimana sikap Anin yang sekarang.

"Emang yang sebelah kanan ngga menarik apa??"

Imbuh Yusuf yang sukses membuat Anin menoleh menatapnya.

"Kamu itu kenapa dari tadi kaya gitu trus?? Salting sama calon suami sendiri??"

Jlebbb. Yusuf benar-benar tepat sasaran. Bagaimana Anin tidak salah tingkah kalau Yusuf sendiri ngomongnya blak-blakan kaya gitu.

"Ya Allah, dari tadi berasa monolog ya..."

Anin akhirnya tertawa saat Yusuf mengucapkan kalimat terakhirnya yang memang dari tadi tidak pernah ada tanggapan darinya.

"Yey, malah ketawa. Seneng kamu Dek, sekarang?? Setan macem apapun ngga mempan deh kalau kamu jutek kaya gitu sekalipun kita lagi berdua di tempat remang-remang".

"Ishhh, pikirannya deh..."

"Lho, emang bener kan. Kalau lagi berdua tuh orang ketiganya ya setan. Tapi kayanya dari tadi setannya udah kabur, nyerah duluan..."

Anin pun tertawa kembali mendengar celotehan dari Yusuf yang ikut tertawa juga. Dia tida menyangka bahwa orang yang selama ini dia kenal sebagai orang yang irit ngomong itu, malah jadi berisik kaya gini. Lebih tepatnya sejak mereka di pertemukan kembali, Anin merasakan perubahan tersebut dari Yusuf.

"Kita beneran ngga perlu ke KUA dulu, Mas??"

"Ngga perlu, Dek. Lagian kemarin udah langsung di urus sama Hendi. Jadi kita udah terima beres aja... atau sekarang kita langsung ke KUA?? "

Celetuk Yusuf begitu saja yang membuat Anin mengerutkan keningnya tidak mengerti.

"Ngapain ke KUA lagi kalau udah di urus??"

Anin membalikkan pertanyaan dengan polos.

"Ya ngapain lagi ke KUA kalau ngga langsung ijab sah..."

Canda Yusuf sambil membuka seatbelt-nya dengan cekikikan. Mereka akhirnya sudah sampai di tempat tujuan yang pertama. Mencari WO yang akan mempersiapkan gedung pernikahannya dan segala kelengkapannya. Sedangkan yang di goda, sukses membulatkan kedua matanya tidak menyangka dengan apa yang baru saja di ucapkan calon suaminya itu.

Anin pun segera keluar dari mobil dan menyusul Yusuf yang sudah menunggu di luar. Sebenarnya dia ingin memprotes semua candaan yang di lontarkan dengan lancar oleh Yusuf kepada dirinya. Namun keburu Yusuf sudah ngloyor pergi meninggalkannya yang memang menghindari protes darinya.

"Assalamualaikum, Sinta..."

"Waalaikumsalam, Mbak Anin, Mas Yusuf..."

Jawab Sinta sebelum cipika-cipiki dengan Anin sambil tersenyum bahagia.

"Jujur lho, Mas.. gue ngga nyangka orang kaya Lo nikah sama Mbak Anin..."

Yusuf yang tidak tahu dengan arah pembicaraan dari Sinta hanya menautkan kedua alisnya yang berarti 'emang kenapa??'. Sedangkan Anin yang memang sudah kenal dengan Sinta sejak kuliah, menyikut lengan Sinta sebagai tanda protes.

"Ngga nyangka aja, orang yang mahal banget suaranya kaya Lo gini bisa sama Mbak Anin yang otaknya rada sengklek..."

"Ishh, Lo jangan buka aib gue disini deh. Mau tanggung jawab kalau gue bakal nikah?? Mendingan gue sama Mas Yusuf cari WO lain kalau gini..."

"Ngga mungkin batal-lah. Orang ngedapetin sampe sini aja susah..."

Celetuk Yusuf yang sukses membuat pipi Anin memerah kembali. Tapi dia buru-buru mengontrol ekspresi ngambeknya kepada Sinta.

"Yaelah, Mbak.. gitu aja ngambek. Kan belum gue lanjutin. Maksudnya sekalipun rada sengklek, tapi yang pasti Lo bakal betah kog kalau lama-lama sama Mbak Anin, Mas. Jadi gue berani jamin 100% kalau Lo ngga bakal bosen sama Mbak Anin, soalnya dia itu punya ada aja cerita yang bisa jadi topic pembicaraan yang luas..."

Sinta menjelaskan dengan senyum yang membentuk lesung pipinya. Sinta memang hanya junior semasa Yusuf dan Anin kuliah. Bahkan Anin dan Sinta bisa di katakan bersahabat sejak mereka mengerjakan tugas kelompok bareng milik Pak Pradana yang dulu terkenal sebagai dosen pelit nilai.

"Puas Lo mbak sama kelanjutannya".

Anin yang menjadi bahan pembicaraan pun hanya bisa terkekeh mendengar dirinya di puji-puji oleh Sinta di depan Yusuf. Sebenarnya Yusuf sudah tahu mengenai hal yang baru saja Sinta bicarakan, dia mengenal Anin sudah lama, bahkan sebelum Anin dan Sinta bisa menjadi sahabatan seperti sekarang. Hanya saja, waktu itu hubungan antara dirinya dan Anin hanya sebatas kenal. Kalau bertemu pun juga tidak pernah 'Say Hello'. Yusuf pun hanya tersenyum sambil meraih beberapa model undangan yang di tawarkan dan Anin pun ikut nimbrung dengan contoh undangan yang ada.

"Yang ini aja, Dek... bagus..."

Yusuf menunjukkan pilihannya dan langsung mendapatkan gelengan kepala dari Anin maupun Sinta.

"Itu bukan seleranya Mbak Anin kali, Mas... Yang gini nih baru favoritnya Mbak Anin..."

Sinta menyodorkan pilihannya kepada Yusuf dan sekarang gilirannya yang mendapatkan gelengan kepala dari Yusuf.

"Yang ini gimana Mas???"

Dan kali ini, Anin yang mendapatkan respon yang sama seperti Sinta dan hanya membuatnya membuang nafas kecewa.

"Yang ini aja gimana??"

Kata Anin sambil menunjukkan pilihannya. Kali ini dia berusaha mengamati gerak-gerik dari Yusuf sebelum menerima penolakan yang sama seperti tadi.

"Simple, ngga mau. Glamor, ngga mau. Unik, juga di tolak. Yang ini aja ya, Mas. Masih banyak yang musthi di urus lho..."

Anin sedikit gemes dengan Yusuf yang hanya melihat-lihat saja.

Setelah di lihat-lihat dengan seksama, padahal dari sudah berapa kali dia juga melihatnya, akhrinya Yusuf mengiyakan pilihan Anin. Lagian harus pilih-pilih yang mana lagi.

"Besok bisa jadi kan?? Lo tau sendiri kalau acaranya tinggal 5 hari lagi..."

Tanya Yusuf sambil melihat-lihat kembali model undangan yang sudah mereka setujui.

"Emang tu percetakan punya Lo? Paling ngga lusa lah. Plus itu udah di sebar sesuai lokasi. Gue aja cari lokasi acara kalian sesuai sama request kalian juga karena perjuangan".

Sinta jadi gemas sendiri melihat sikap dari Yusuf. Ternyata mau dia diam atau cerewet tetep nyebelin. Itulah imej yang tergambar dari Yusuf dalam benak Sinta sejak mereka kenal.

"Gue bisa aja beli tu percetakan..."

Jawab Yusuf santai yang membuat Sinta dongkol setengah mati. Sedangkan Anin yang mendengarkan percakapan itu malah cekikan. Tidak ingin memihak salah satu dari mereka.

"Ok, kalau gitu nanti langsung gue urus. Trus konsepnya mau kaya gimana??"

"RUSTIC"

Jawab Anin dan Yusuf yang hampir bersamaan, membuat Sinta yang ada di antara mereka harus menutup telinganya.

"Iya, iya... kompak banget sih calon penganten.."

"Nanti kasih bunga mawar yang banyak... yang warna pastel yang pasti".

Request Yusuf kepada Sinta dengan penuh semangat.

"Rustic kan konsepnya emang mainnya ke warna pastel, Mas Yusuf..."

Kata Sinta yang gemas melihat ekspresi dari Yusuf.

"Trus menu makannya gimana??"

"..."

"..."

"Aku sih sebenernya ngga terlalu paham sama hidangan buat macem pesta gitu yang cocok sama konsepnya".

Yah, Anin itu memang tidak terlalu memperhatikan hidangan saat dia datang di acara pernikahan milik sahabatnya maupun dari undangan lainnya.

"Yah, pokoknya buat makanannya kita serahin ke kamu aja. Yang terpenting sih, untuk acara pagi sampai sore itu, kita full sama tamu undangan. Kalau malemnya sih, paling cuma keluarga sama orang terdekat aja. Lo pasti bisa kira-kira sendiri lah..."

"Oh, Ok kalau itu maunya kalian. Gue bakal atur semua. Ada tambahan lagi??"

"Nanti kita kabarin lagi, kalau ada tambahan yang lain".

"Ya udah kalau gitu, kita pamit ya... Assalamualaikum".

"Waalaikumsalam..."

Yusuf sudah berdiri di susul Anin yang cipika-cipiki tidak melupakan adat cewek kalau mau pergi maupun saat bertemu.

"Kalau ada apa-apa, hubungin gue aja ya".

Pesan Sinta sambil melambaikan tangannya kepada Yusuf dan Anin.

"Assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam..."

Anin dan Yusuf sudah berada di mobil menuju ke pusat pembelanjaan menuju toko perhiasan yang ada.

"Nanti mampir sholat dulu ya??"

Pertanyaan dari Yusuf hanya mendapatkan anggukan dari Anin. Mungkin Anin sudah merasa lelah dengan aktivitas mereka yang mempersiapkan acara pernikahan mereka. Padahal ini baru tengah hari yang di tandai dengan suara adzan dhuhur dan bila di bandingkan dengan pekerjaan di kantor, ini belumlah seberapa. Dan masih banyak yang perlu di persiapkan.

"Udah capek ya??"

"..."

"Dek??"

Yusuf memanggil Anin yang belum merespon pertanyaannya.

"Ngga, tapi haus..."

Mendapat jawaban seperti itu membuat Yusuf tertawa. Dia mengira bahwa Anin sudah lelah dan ingin beristirahat. Tapi kenyataannya, Anin menjawabnya dengan polos bahwa dirinya haus sambil memegang lehernya yang tertutupi oleh jilbab warna merah maroon-nya.

"Iya, habis sholat nanti beli minum dulu sekalian makan siang".

Anin hanya mengangguk saja. Dia benar-benar tidak ingin kerongkongannya mengalami musim kemarau yang tiada air setetespun untuk membasahinya. Yusuf dengan senyuman yang masih terlukis di wajahnya, segera melajukan mobilnya lebih cepat, walaupun bisa di pastikan bahwa kecepatannya maksimalnya hanya 40 Km/Jam karena saat ini adalah jam makan siang.

***

Anin memilih menunggu di depan mushola daripada menuruti titah dari Yusuf untuk masuk ke food court duluan mencari tempat duduk. Sebenarnya dia sudah kehausan sejak tadi, ditambah tumben-tumbennya perutnya terasa begitu lapar di tengah hari, karena Anin yang memang tidak terbiasa untuk makan siang. Untuk sekarang, entah mengapa dirinya terlalu malas untuk berjalan sendirian.

Sambil memainkan ponselnya sembari membaca novel online kebiasaan favoritnya, tanpa dia sadari Yusuf sudah ada di sampingnya sedang memakai sepatu casualnya. Anin baru tersadar setelah Yusuf duduk di depannya sambil mengikat kembali tali sepatunya yang ternyata lepas.

"Lain kali liatin sepatunya juga ya..."

Sindir Yusuf yang membuat Anin hanya bisa memberikan cengiran malu kepadanya. Yusuf yang melihat sepasang mata Anin yang begitu bening sedang menatapnya memilih untuk segera mengalihkan pandangannya sebelum dia benar-benar tergoda. Sudah cukup hari ini dia merapalkan puluhan kali kalimat istigfar dalam hati dan mungkin dia harus memulainya kembali.

"Ni mau kemana dulu??"

"Makan"

Jawab Anin sambil mengedip-ngedipkan matanya. Anin juga tidak tahu mengapa dia melakukan hal itu. Tapi melihat pipi Yusuf yang tiba-tiba nge-blush seperti itu membuatnya ingin menjahili calon suaminya tersebut. Yusuf yang menoleh ke Anin, sedetik kemudian mengalihkan pandangannya kembali. Dia memang sudah beberapa kali menatap Anin, namun entah mengapa setelah lamarannya secara resmi oleh Bundanya Anin, seketika itu juga dia salting sendiri. Untung saja dia dengan pintarnya menyembunyikan ketidaknormalannya itu dari Anin dengan bersikap seperti biasa, namun mengapa di siang hari dengan matahari yang benar-benar berada di atas langit tanpa tertutupi awan itu membuat usahanya sejak tadi pagi serasa tidak berguna.

Efek laper kali ya...

Batin Yusuf sambil menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Mas kenapa?? Beneran udah laper banget ya??"

Yusuf langsung menatap Anin yang ternyata tingginya hanya sampai bahunya saja.

Emang gue tadi ngomong ya kalau gue laper??

Perasaan gue batin aja...

"Kalau laper, ayo cari makan langsung. Adek udah lemes nih, Bang..."

Rengek Anin yang seketika mengundang tawa dari Yusuf sambil memegangi perutnya yang kosong.

Anin dan Yusuf sudah berada di tempat duduk yang tersisa di food court yang berada di lantai 4, karena saat ini kondisinya memang lagi rame parah. Biasalah, jam makan siang. Dapet tempat duduk aja udah bersyukur kali. Dan di depan mereka sekarang ada 2 piring berisi nasi dan ayam penyet beserta es teh di tambah dengan es krim McFlurry Oreo yang sengaja di beli oleh Anin sembari menunggu pesanan. Namanya juga Solo, ya menu makannya ya kebanyakan dari ayam.

Yusuf yang benar-benar lapar seketika langsung berdoa dan mulai menyendokkan makannya.

"Sekalipun pake sendok, harus jaga kebersihan ya..."

Anin memakaikan hand sanitizers ke tangannya Yusuf yang membuat Yusuf hanya mengulum senyum, ketahuan banget kalau dia beneran lapernya.

"Dah, silahkan makan..."

Sedetik kemudian, Anin dengan sadar menggeplak tangannya sendiri yang baru saja memegang tangan Yusuf.

"Maaf ya, Mas. Efek laper, jadi lupa kalau belum halal..."

Anin dengan komat-kamit yang sudah pasti menyesali perbuatannya kepada Yusuf. Sekarang dia tidak lagi bagaimana pikiran calon suaminya tersebut terhadapnya. Dia memilih untuk langsung menikmati makan siang yang sudah melambai-lambai di depannya daripada melihat Yusuf yang tersenyum tipis kepadanya tanda tidak mempermasalahkan kejadian tersebut.

Belum lah mereka menyendokkan nasi di mulut mereka, tiba-tiba ada yang menepuk bahu Anin yang seketika membuat sang empunya sekaligus orang yang ada dihadapannya menoleh ke orang tersebut.

"Ngomongnya pergi buat persiapan nikah. Tapi ngga taunya malah nge-date di hari kerja..."

Ternyata orangnya adalah Arwi yang sudah membawa Mie Ayam Horizon kesayangannya. Entah darimana asalnya, dia bisa-bisanya sudah ada di antara Anin dan Yusuf.

"Tapi gue duduk disini ngga papa ya. Ngga ada tempat lain soalnya. Masa iya gue makan sambil berdiri?? Kan pamali namanya??"

Arwi dengan begitu bawelnya menjelaskan maksud dari tujuannya menghampiri Anin dan Yusuf. Dia pun segera menemukan bokongnya dengan kursi dan memposisikan dirinya senyaman mungkin untuk makan siang.

"Pake ini dulu, Dek..."

Ucap Anin menyerahkan hand sanitizers miliknya dan langsung di terima oleh Arwi tanpa protes.

"Eh, adat makan Lo udah berubah??"

Tanya Arwi sambil menuangkan bakso dan kuahnya ke dalam mangkuk mie-nya.

"Adat makan apaan maksudnya??"

Yusuf ternyata kepo juga. Dia bahkan mengurungkan makannya yang batal dia suap kedalam mulutnya.

"Mbak Anin kan udah ngga biasa makan siang. Tau tuh, mau diet atau apaan juga. Kalau pas kuliah sih gue bisa ngerti alesannya ngga makan siang itu antara ngirit sama program gagalnya ngurusin badannya. Tapi sekarang kan??"

Dibandingkan dengan zaman kuliah, memang Anin terlihat lebih kurus. Sampai semua bajunya semasa kuliah serasa oversize. Arwi menatap Anin dan langsung mendapat tatapan 'awas ya' dari Anin. Arwi pun memilih untuk kembali konsentrasi dengan mie nya yang mulai mengembang. Sedangkan Anin dan Yusuf langsung makan apa yang ada dalam piring mereka dengan damai. Mungkin itu hanya berlaku untuk Yusuf, karena saat ini, Anin makan seporsi nasi dan ayam yang ada dalam piringnya dalam kecepatan di atas standarnya seorang perempuan makan. Karena sudah menjadi kebiasaan Anin yang makan dengan cara seperti itu di tambah dengan kelaparan yang mendera perutnya. Tapi untuk masalah makan, Anin memang tidak pernah jaim. Alasannya simple, dia ingin menikmati acara makannya daripada bersibuk ria dengan jaim-jaiman.

"Mbak, makannya cantikkan dikit napa?? Mas Yusuf juga masih stay disini juga..."

Celetuk Arwi yang sedari tadi memperhatikan Anin yang ternyata tidak pernah menghilangkan kebiasaan makan cepatnya. Tapi yang di tegur masih menikmati makannya sampai akhirnya suapan terakhir berhasil dia telan. Dan sekarang menikmati segelas es teh yang ada di hadapannya sekarang.

"Mbak ngga mau kan kalau si mas calon kabur gegara lihat makan Lo yang kaya orang ngga di kasih makan seminggu??"

Kata-kata dari Arwi kali ini sukses membuat Anin tersedak. Yusuf yang melihat hal itu langsung memberikan es teh-nya yang masih utuh kepada Anin.

"Lo kalau ngomong di filter dong. Asal ceplos aja Lo..."

Gerutu Anin sambil meletakkan es teh yang sudah habis setengah gelas.

"Trus Lo lagi minum punyanya siapa, sekarang?"

Anin yang tadinya ingin minum lagi, mengurungkan niatnya. Dia baru ingat bahwa es teh-nya sudah dia habiskan saat proses makan dan sesudahnya. Dan sekarang dia sedang minum milik siapa. Melihat milik Arwi, sepertinya tidak mungkin karena Arwi memilih es jeruk sebagai pendamping mie ayam-nya. Sekarang, dia melihat gelas milik Yusuf yang sudah tidak ada di hadapan sang pemilik, karena sudah berpindah tangan menjadi miliknya.

"Maaf ya, Mas... aku pesenin lagi".

Anin yang sudah setengah berdiri melihat Yusuf segera meminum es teh yang ada di hadapannya. Anin setengah kaget tidak mengira Yusuf akan minum bekasnya. Anin sudah biasa melakukan hal itu bersama keluarga atau teman-teman ceweknya. Namun untuk cowok, baru kali ini dia melakukannya.

"Ngga usah, lagian aku cuma laper. Kamu kan yang tadi ngomel kalau kamu haus banget kaya orang baru pulang dari padang Sahara..."

Suara dari Yusuf berhasil membuat Anin tertawa. Seharusnya kalau tau seperti ini jadinya, dia memesan 2 gelas es teh untuknya.

"Mas... ngga—"

"Ngga jijik maksudnya?? Ngapain jijik orang bekasnya orang cantik plus calon istri juga..."

Mendengar kata 'Calon Istri' dari Yusuf, entah mengapa membuat semua aliran darah berada di wajahnya dan menyebabkan blushing di pipinya. Yusuf yang merasa berhasil menggoda Anin hanya cekikikan bersama Arwi.

"Ya Allah mbak.. baru juga di goda kaya gitu udah klepek-klepek gitu, apalagi kalau nanti malem pertama mau gimana, mbak?? Pingsan duluan karena serangan jantung?? Eh salah, serangan cinta maksudnya..."

Arwi terkekeh melihat kakaknya yang semakin tidak bisa mengendalikan warna merah di pipinya. Yusuf pun akhirnya tertawa karena godaan Arwi kepada Anin yang sukses membuat calon istrinya salah tingkah.

"Lo ngapain kesini, Dek?? Bolos lagi?? Minta D.O??"

Anin tampak kesal dengan Arwi yang kelihatan beberapa kali membolos dan dengan santainya malah main seperti sekarang.

"Amit-amit mbak.. dosennya hari ini ngga ada, lagian ini rencananya mau beli sepatu tapi mampir makan duluan..."

Jawab Arwi dengan mengerucutkan bibirnya. Pura-pura ngambek sama kakaknya tapi yang menjadi target hanya ber-oh ria. Kalau alesannya 'Dosen ngga ada' ya udah. Kirain kalau Arwi udah bosen sama yang namanya uang jajan dari Bunda.

"Mbak..."

Sekarang Arwi memasang puppy eyes-nya. Kalau kaya gini Anin bisa di tebak apa yang akan di lakukan Arwi selanjutnya. Menggerogoti dompetnya.

"Tambah uang dong buat beli sepatu. Masa iya gue cuma beli sepatu, untung-untungan kalau gue bisa nambah beli jaket kan lumayan..."

"Emang Bunda kasih uang nya kurang banyak??"

"Bunda kasih uangnya ngepres di kantong mbak. Ngga kasian apa, kalau gue pake jaketnya itu-itu mulu. Nurunin pasaran tau ngga??"

"Ngga... Gue ngga tau..."

Jawab Anin dengan jutek namun dirinya memberikan beberapa lembar uang seratus ribu untuk Arwi yang sukses membuat Arwi langsung memeluk dan mencium pipinya Anin dengan gemas. Anin yang mendapat imbalan tersebut, hanya mendengus keras sementara Yusuf yang melihat hal tersebut tersenyum tipis.

Selesai dengan acara makan siang dan acara menggoda dari Yusuf-Arwi yang membuat Anin beberapa kali harus menahan rasa yang tidak karuan tapi menyenangkan tersebut, Anin dan Yusuf segera pergi meninggalkan tempat tersebut. Sedangkan Arwi langsung pergi setelah di beri uang tambahan dari Anin.

***

Anin dan Yusuf langsung ke tempat yang menjual cincin pernikahan.

"Selamat siang Pak, Dek... ada yang bisa saya bantu..."

Mendengar hal itu, Anin langsung melirik ke arah pelayan yang menyapanya. Sudah bisa di pastikan bahwa panggilan 'Pak' tentu saja untuk Yusuf, sedangkan 'Dek' sudah menjadi kebiasaannya jika di adi panggil seperti itu. Anin semakin kesal saja, ketika pelayan yang memakai name tag 'Dira' tersebut menatap calon suaminya secara terang-terangan.

"Emang kita mirip banget ya, mbak??"

Celetuk Yusuf yang masih terkekeh melihat ekspresi dari Anin yang kesal dan tidak bisa di tutupi.

"Iya, kalian mirip banget..."

Jawab Dira dengan jujur dan sedikit kaget dengan pertanyaan dari Yusuf.

"Alhamdulillah kalau gitu... berarti kita beneran jodoh kalau gitu, Dek..."

Anin yang mendengar pernyataan tersebut dari Yusuf sudah berganti ekspresinya dengan cengiran yang sebenarnya membuat Yusuf harus merapalkan asma Allah sebanyak mungkin untuk menguatkan imannya. Sedangkan Dira yang sudah menyimpulkan pernyataan tersebut, langsung meminta maaf dan tersenyum dengan rasa bersalah.

Anin dan Yusuf pun langsung melihat cincin couple yang berada dalam etalase dengan sesekali Yusuf melihat katalog dari model yang belum di pajangkan.

"Mbak, kalau semisal kita pesen bisa berapa hari ya??"

Tanya Yusuf kepada Dira sembari menunjukkan model cincin yang menarik untuknya.

"Paling cepet ya satu minggu untuk model yang anda tunjuk".

Jawab Dira dengan penuh kesopanan.

"Ngga usah terlalu ngoyo, Mas. Yang penting ada dulu. Gimana kalau yang ini..."

Tunjuk Anin melihat cincin couple yang bulat tanpa embel-embel permata ataupun ukiran lainnya. Yusuf akhirnya mengangguk setuju. Meskipun awalnya dia sedkit kecewa, namun melihat cincin yang di pilih Anin membuat mendung yang sempat mengampiri kini hilang dengan adanya matahari di balik senyumannya.

"Mas mau ngga kalau cincinnya di ukir??"

Yusuf kali ini hanya mengerutkan keningnya tidak mengerti dengan apa yang di maksud dengan Anin.

"Maksudnya, cincinnya Mas di ukir pake kata misal 'Anin's Husband' trus punyaku 'Yusuf's Wife'. Gimana?? Mau ngga?? Atau malah kelihatan rempong kalau kaya gitu??"

Yusuf pun langsung mengusap puncak kepala Anin dengan senyuman sehangat matahari.

"Jadinya gimana Pak?? Bu??"

"Jadi Mbak. Kaya yang dia bilang aja..."

Jawab Yusuf dan sekali lagi melihat Anin yang sudah tersenyum kepadanya.

"Baiklah, anda bisa menunggu dulu. Nanti setelah selesai, akan saya panggil. Tapi atas nama siapa ya??"

"Yusuf Dhyaksa"

Serobot Yusuf dengan cepat.

Kini, Anin duduk di tempat tunggu yang di sediakan oleh toko tersebut. Sedangkan Yusuf masih melihat macam-macam model perhiasan yang ada. Anin bukannya tidak suka melihat koleksi yang ada, namun entah mengapa kakinya terasa nyeri dan dia memutuskan untuk duduk.

"Mas Yusuf ngapain masih liatin perhiasannya?? Ngga malu??"

"Kamu kalau jadi cewek bakal milih yang mana diantara model kalung kaya gini??"

Tanya Yusuf yang masih melihat beberapa mmodel kalung yang terpampang dalam etalase.

"Karena aku bukan tipe cewek yang ribet, ya aku ngga bakal beli..."

Jawab Anin dengan santai namun berbanding terbalik dengan orang yang ada di sebelahnya sekarang. Tidak menyangka jawaban semacam itulah yang keluar dari Anin.

"Mas tanyanya beneran lho, Dek..."

"Aku juga beneran kali, Mas. Tapi kalau Mas maksa ya aku bakal pilih yang ini aja..."

Tunjuk Anin pada salah satu model kalung kecil yang mempunyai 5 bola kecil yang menghias di tengah kalung emas tersebut. Akhirnya, sebuah senyuman terukir dari wajah Yusuf. Anin yang tidak mengerti bergeser sedikit demi sedikit, gilirannya melihat betapa cantiknya model-model perhiasan yang ada. Beberapa kali dia memuji model yang ada, namun itu hanya sekedar pujian karena Anin memang tidak ada niatan untuk menambah koleksi perhiasannya yang sebenarnya dapat di hitung dengan tangan.

Anin dan Yusuf segera keluar dari toko tersebut setelah cincin mereka sudah selesai di ukir dan di bayar tentunya. Mereka segera melesatkan diri ke butik yang di tunjukkan oleh Umi untuk membeli baju pernikahan mereka.

***