webnovel

Part 4 - LAMARAN

***

"Kenalin... Ini ANINDIYA ANASTASYA KAMIL... caLon ISTRI".

Anin langsung menoleh menatap Yusuf yang balik menatapnya dengan senyum kharismatik yang siap membunuh syaraf malu setiap perempuan yang melihatnya karena tidak mau barang sedetik pun kehilangan senyum tersebut. Dia hafal nama panjang dari Anin.

Iyalah Anin...

Mas Yusuf kan atasan Lo... wajar aja kali kalau dia tahu dan kebetulan dia inget nama panjang Lo...

Anin tidak tahu mengapa dirinya memilih untuk berbicara dalam hati sedari tadi. Tapi, Yusuf memperkenalkan Anin sebagai caLon istrinya di hadapan keluarganya. Suara riuh ucap syukur dari keluarga tersebut serasa menggema. Anin tidak tahu harus berbuat apa. Dia langsung nimbrung dengan keluarga yang terlihat sangat hangat tersebut sambil menyalami satu-persatu orang yang ada di ruang tamu tersebut. Dan khusus untuk pria yang memiliki kemiripan mutlak dengan Yusuf, Anin mencium punggung tangan tersebut.

"Waahhh... ngga salah Lo dek cari pasangan. Makanya gue jodohin ngga mau, lha udah punya pilihan sendiri yang cantik gitu kog".

Sekali lagi, Anin merasa jantung seperti meLompat dari tempatnya. Tapi disisi lain ada rasa senang, kalau ternyata Yusuf memillihnya sebagai caLon istri.

Tapi kenapa aku yang menjadi caLon istrinya??

Bukankah Mas Yusuf sudah memiliki caLon sendiri yang sudah lama bertunangan??

Pemikiran itu masih menggelayuti otaknya Anin. Memang beberapa waktu yang lalu Yusuf berkata bahwa dirinya belum menikah. Tapi belum menikah bukan berarti putus dari tunangannya dong. Sekarang dirinya harus dipusingkan dengan acara perkenalan dirinya sebagai caLon istri dari Yusuf. Orang yang baru saja kembali dalam kehidupannya yang berhasil membuat banyak kejutan. Kejutan bahwa Yusuf belum menikah, banyak perubahan sifat dari Yusuf yang sulit di terka oleh Anin dan sekarang Yusuf menjadikannya sebagai caLon pasangan hidupnya.

Takdir macam apa ini, Ya Allah...

***

Anin masih belum paham juga dengan apa yang di lakukan Yusuf sekarang. Memperkenalkan dirinya sebagai caLon istrinya di depan orang tua dan saudara-saudaranya sedangkan dia sendiri juga tidak pernah di tanyakan satu kali saja hal yang menyangkut hal ini dari Yusuf sendiri.

"Kenalin Anin, yang ada di ujung itu namanya Mbak Farida. Dia kakak tertuaku. Trus yang ada di sebelahnya itu Mas Rizal, suaminya. Trus ada Mas Didit suaminya Mbak May. Trus ini si Maman suaminya Ifa.."

"Maman?? Lo ngenalin adik ipar Lo pake nama Maman. Please deh, Mas. Lo ngga berubah. Percuma udah sampe Jerman tapi kalau manggil gue kaya gitu".

Gerutu pria yang di kenalkan Yusuf sebagai Maman yang tidak terima dengan apa yang di katakan Yusuf kepada Anin.

Semua tertawa mendengar protes dari Maman. Walau sebenarnya Anin tidak terlalu mengerti, namun dia ikut tertawa juga karena merasa lucu dengan namanya si Maman.

"HHAHAHAHA.. trus Lo minta di kenalinnya gimana??"

Yusuf belum bisa menghentikan tawanya. Dia memang akan selalu menggoda Maman saat mereka bertemu.

"LUQMAN FAHRI, mbak. Tapi panggil aja Luqman. Jangan di dengerin tu ucapannya Mas Yusuf".

Owhhh... namanya aja keren gitu..

Bisa-bisanya mas Yusuf panggil Maman...

Anin hanya tersenyum menahan tawanya dan itu membuat Yusuf sedikit terpukau. Yusuf memang selalu senang jika melihat senyuman dari Anin. Tulus, tidak di buat-buat.

"Kalau ini Umi sama Abi".

"Tuan dan Nyonya Dhyaksa".

Anin pun menyunggingan senyumannya kembali. Meskipun sedikit ragu dan deg-degan, sebisa mungkin dia tutupi. Dia pun bisa memastikan bahwa saat ini pasti wajahnya sangat aneh karena harus menyembunyikan apa yang sedang dia rasakan.

"Panggil kami Abi dan Umi sama kaya Yusuf manggil".

Kata Abi yang membuat Anin sekali lagi kaget. Apa dirinya benar-benar di terima di keluarga Dhyaksa. Secepat itukah.

"Lagian sebentar lagi kamu juga bakal jadi bagian dari keluarga Dhyaksa. Ngga usah sungkan".

Imbuh Umi yang pasti membuat semua caLon menantu akan merasa bahagia bila restu dari orangtua sudah di dapat. Apa restu orangtua??

"Kayanya kita pernah ketemu deh, tapi dimana ya...??"

Rizal merasa pernah bertemu dengan Anin. Dia berusaha membongkar isi otaknya.

"Owh, kamu sebelumnya kerja di perusahaan Dhyaksa Grup yang ada di Jakarta??"

Anin sedikit memutar otaknya dan dia terperanjat kaget. Jadi Dhyaksa Grup, perusahaannya dulu sewaktu di Jakarta adalah milik keluarga Dhyaksa yang ini. Keluarga dari Yusuf. Tapi mengapa dia hanya mengetahui bahwa pemiliknya adalah Adam Dhyaksa. Direkturnya dulu yang menyuruhnya menjadi General Manager di perusahaan pailit yang baru saja di beli.

Yusuf juga tidak kalah kaget, karena selama ini Anin ada di sekitar keluarganya. Tepatnya di perusahaan milik keluarganya.

"Mungkin kamu ngga ingat, tapi waktu itu aku sendiri pernah lihat kamu presentasi tentang proyek baru di Palembang".

Dan sekarang Anin teringat sudah dengan wajah Rizal. Saat itu, Rizal ada di barisan depan bersama direkturnya dan dia hanya mengira bahwa dia salah satu pemegang saham dari Dhyaksa Grup. Tapi dia tetap tidak menyangka bahwa Dhyaksa Grup adalah perusahaan yang salah satu pemiliknya adalah keluarga dari Yusuf. Dan bukan hanya Rizal saja yang ada disana, ternyata ada Didit dan Luqman.

"Tenang aja, ngga perlu tegang gitu. Kita semua udah tau track record kamu..."

Didit ikut nimbrung dengan obrolan antara Rizal dan Anin.

Yusuf yang mendengarkan sedari tadi hanya mampu menangkap bahwa Anin pernah bekerja di Dhyaksa Grup. Perusahaan milik keluarga besarnya.

"Dan Lo, Yusuf. Seharusnya Lo nyambung sama apa yang kita bicarain".

Yusuf hanya menganggukkan kepalanya meskipun dia tidak mengerti sepenuhnya. Biarlah. Dia bisa menanyakan hal ini kepda Hendi kapan-kapan.

"Dia kerja di perusahaan kita, Mas??"

Tanya May kepada suaminya.

"Iya, dia pernah kerja sama kita. Dia itu workaholic, makanya dia di pindahin ke perusahaan pailit yang ada di soLo buat dia benerin dan hasilnya kaya sekarang. Baru setahun di pegang, seenggaknya udah ada 2 proyek besar di Jogja sama di Malang".

Jelas Didit kepada istrinya dengan antusias.

OOOHHHHH...

Hanya itu ekspresi dari setiap orang yang ada di situ, terkecuali Anin. Dia merasa senang bahwa sekarang dia di puji didepan keluarganya Yusuf. Tapi disisi lain, dia malu jika terlalu di lebih-lebihkan seperti tadi.

"Partner yang bagus dong..."

Goda Farida sambil menyenggol bahu dari adik laki-laki satu-satunya. Yusuf.

"Udah cantik, pake jilbab, kerjanya juga bagus. Kog kamu mau sih mbak Anin terima mas Yusuf??"

Ifa yang masih menggendong bayinya itu juga ikut-ikutan menggoda Yusuf.

"Aduh Mbak, Mas, Adik.. semuanya lah... kurang ganteng apa coba anak cowok satu-satunya di keluarga ini?? Sampai keluarga Anata Dhyaksa kurang stok cowoknya".

Yusuf hanya menanggapinya dengan santai dan membuat semuanya tertawa.

"Kalau gitu, kita makan siang dulu ya. Umi siapin dulu".

Umi beranjak menuju ke dapur. Semuanya sudah siap, namun kurang menyiapkan air minumnya saja.

Anin yang merasa bahwa dirinya perempuan terlebih di kenalkan sebagai caLon menantu di keluarga tersebut memilih untuk beranjak dari tempat duduknya menyusul Umi yang sudah ada di dapur. Semua orang yang ada disitu segera menyoraki apa yang di lakukan Anin yang membuat pipi Anin memerah.

"CIIIEEEEEEE...."

Sorak mereka secara serempak.

"Cieee, Umi, ada yang mau bantuin ini. CaLon menantu idaman banget lho, Umi".

Teriak Luqman dari ruang tamu dan pasti tetap bisa di dengar dari dapur oleh Umi.

***

Tidak sulit bagi Anin untuk menemukan dapur dalam rumah tersebut. Karena bagi Anin, sebesar apapun rumah, dapur itu tetap ada di belakang. Dia pernah mendesain beberapa rumah untuk proyek ayahnya. Yang pasti itu masih dalam tahap belajar, karena dia sendiri tidak memiliki basic dalam mendesain rumah. Dia hanya mengetahuinya saat dia beberapa kali melihat pekerjaan ayahnya.

Anin dengan cekatan membantu Umi menyiapkan makanan beserta minuman untuk makan siang. Meskipun kehidupan Anin kebanyakan hanya dilakukan untuk pekerjaan, namun dia tidak pernah meninggalkan kodratnya sebagai perempuan, yaitu tidak asing jika harus berhadapan dengan dapur.

Meskipun terasa canggung pada awalnya, Anin mencoba membuka topic pembicaraan untuk mereka berdua. Anin tidak menyukai sikap canggung seperti saat ini.

"Umi tadi masak ini semua??"

Anin masih menuangkan air putih kesetiap gelas yang ada di meja makan tersebut.

"Kalau ngga Umi siapa lagi?? Ifa lagi ngurusin anaknya. May aja juga baru datang dari SoLo sama suaminya. Kalau Farida, dia juga baru datang dari butiknya trus kesini mau makan siang katanya".

Jawaban itu membuat Anin hanya bisa mengangguk. Kalau kaya gini, dia tidak bisa melanjutkan pertanyaan karena tidak ada feedback dari Umi.

"Kamu kerja di Jakarta udah berapa tahu, nak?? Kayanya si Rizal bener-bener kagum sama kinerja kamu??"

Akhirnya Umi memberikan feedback untuk Anin.

"3 tahun, Umi... habis itu Anin di pindah ke SoLo".

"Kamu terima-terima aja di pindahin ke SoLo??"

"Ya, awalnya sih pas ngga terima. Soalnya mikir, Anin bisa ngga ya memenuhi ekspektasi dari perusahaan. Tapi setelah di pikir lagi, mendingan emang di SoLo aja. Lebih deket sama orangtua".

Ternyata segerombolan orang yang tadinya masih ada di ruang tamu sudah menuju ke ruang makan yang pasti membuat sejumlah keributan. Mereka pun mencari tempat duduk masing-masing sesuai dengan posisi biasanya. Sedangkan Anin, dia tidak tahu harus duduk di sebelah mana. Tapi, Yusuf segera menarik lengan Anin pelan dan menyuruhnya duduk di sampingnya. Hal itu membuat semuanya menatap pasangan dadakan tersebut.

Mereka mengobrol kecil ala keluarga yang hangat sambil menyantap menu makanan yang bagi Anin sudah seperti pesta saja. Yusuf dan Luqman masih seperti tadi berdebat argument yang ngga jelas permasalahannya membuat semua yang mendengar hanya bisa tertawa senang, termasuk Anin.

Sehabis makan, Yusuf mengajak Anin untuk pulang ke SoLo. Kali ini beneran pulang ke SoLo. Namun Anin menolak untuk pulang segera. Setidaknya dia ikut membantu mencuci piring kotor yang ada.

"Kamu pulang aja mbak. Masa iya sih, baru pertama kali ketemu udah di suruh cuci piring. Nanti Umi jadi kehilangan caLon menantunya lagi".

Goda Ifa untuk menyakinkan Anin agar dia pulang saja.

"Bukan maksud kami buat ngusir lho, tapi pasti di SoLo banyak kerjaan. Lagian ada Bi Ratna yang biasanya bantu Umi beres-beres rumah".

Abi mencoba meyakinkan Anin yang terlihat masih tidak enak jika dia pulang begitu saja. Tapi akhirnya, Anin menurut juga. Lagipula, masih banyak berkas yang seharusnya dia urus sedari tadi. Namun semua jadwalnya menjadi kacau karena pertemuan yang tidak terduga hari ini.

Anin pun segera menyalim semua penghuni rumah disana. Mulai dari Abi, Umi, Farida, May, Didit, Rizal, Luqman dan Ifa. Tidak ketinggalan dia juga menyalami Bi Ratna yang kebetulan ada di depan rumah sedang menyirami bunga yang membuat semua keluarga Yusuf yang melihatnya menjadi tambah senang dengan Anin.

"Kapan-kapan main lagi ya. Jangan kapok".

Pesan Umi sambil mengelus bahu Anin.

Anin dengan sungkan tersenyum kembali. Dirinya tidak tahu haruskah dia senang atau bagaimana. Untuk hari ini, dia memang tidak tahu harus bersikap bagaimana. Perasaannya terlalu bercampur aduk.

"Assalamualaikum semuanya..."

Salam Anin sambil melambaikan tangan dari dalam mobil dengan kaca yang terbuka.

Yusuf yang melihatnya hanya tersenyum sedari tadi. Dia tidak menyangka, sekalipun Anin terlihat canggung di depan keluarganya, tapi setidaknya yang terlihat dimatanya, Anin mencoba membaur dengan keluarganya. Yang terpenting, Anin nyambung dengan topic pembicaraan dari keluarganya. Dan keluarganya juga terlihat senang dengan kedatangan Anin. Terlihat dari Abi yang mencoba mengajak Anin berbicara beberapa kali.

Tapi sekarang yang dilihat dari sorot mata Anin adalah tatapan penuh penasaran. Yusuf mengerti dengan kondisi ini. Seenggaknya dia tidak asal culik Anin dan membawanya ke rumah.

"Sebelumnya terimakasih, karena kamu menahan semua pertanyaan kamu sampai disini. Aku akan menjelaskan semuanya. Tapi toLong, jangan di potong sampai aku selesai".

Anin hanya menghela napas kasar dan tidak memberikan respon apapun. Yusuf menganggap Anin menyetujui apa yang dia katakan tadi.

"Jujur, keluargaku sudah terlalu sering menanyakan kapan aku akan menikah. Terutama Umi sama Abi. Bahkan kemarin saat reuni sama temen kampus, mereka juga bertanya akan hal yang sama".

"Trus hubungannya sama aku apa, mas?? Mas Yusuf ngga pernah..."

"Makanya jangan di potong dulu, aku belum selesai jelasinnya..."

Yusuf menepikan mobilnya. Dia ingin berbicara serius dengan Anin.

"Setahuku, kamu juga belum pasangan. Lebih tepatnya kamu belum menikah, karena saat ini aku juga ngga tahu apakah kamu sudah punya pacar atau belum. Yang ada dalam profilmu disitu tertulis bahwa kamu belum menikah. Jadi otomatis ini bisa jadi kesempatan untukku sebelum janur kuning melengkung".

"Dan aku ngenalin kamu sebagai caLon istri, itu ngga main-main. Aku emang beneran pengen kamu jadi istriku. Kamu tadi ngga lihat ekspresinya Umi sewaktu lihat kamu buat pertama kali dan saat kamu juga coba bantu Umi buat nyiapin makan siang. Biasanya Umi akan nolak jika bantuan itu datang dari orang lain, tapi itu beda dengan kamu. Umi mau menerimanya..."

"Tapi bisa aja kan, Umi bersikap kaya gitu karena Umi ngga mau ngecewain aku. Umi ngga mau buat aku malu karena bantuanku di tolak".

Anin masih mencoba mengelak dengan semua yang sudah di jelaskan oleh Yusuf. Dia mencoba berpikir akan semua hal negative yang bisa saja terjadi.

"Emang aku ngga bisa bedain mana senyum asli milik Umi sama senyum paksaan dari Umi?? Aku jadi anaknya Umi udah 27 tahun ini. Seenggaknya aku lebih tahu perasaan Umi ke kamu daripada kamu sendiri".

Jelas Yusuf yang membuat Anin tidak mampu mengucapkan sanggahannya lagi.

"Umi juga seneng banget ketika aku bilang kalau aku bakal ngenalin caLon menantunya hari ini. Makanya Umi sampai masak segitu banyaknya khusus buat nyambut kamu".

Sekali lagi Anin hanya bisa menatap mata Yusuf yang sekarang sedang menatapnya juga. Anin tidak menyangka bahwa dirinya akan di posisi sedekat ini dengan Yusuf. Terlihat dari pancaran mata Yusuf, memang dia tidak terlihat main-main dengan ucapannya.

"Sekarang kamu bisa keluarin pendapat kamu. Atau semua pertanyaan yang pengen kamu tanyain sejak tadi. Aku akan coba jawab semuanya dengan jujur. Tapi toLong, kamu terima penawaranku kali ini. Jadilah istriku".

Yusuf pasrah dengan apa yang akan di putuskan Anin. Tapi dia juga tidak bisa menerima penolakan dari Anin. Dia tidak ingin mengecewakan orangtuanya lagi.

"Aku akan coba, mas. Aku terima penawaran dari Mas Yusuf".

Rasanya saat ini, Yusuf ingin memeluk Anin. Tapi dia tahu bahwa Anin belum halal untuknya. Akhirnya dia memilih untuk mengemudikan kembali mobilnya.

"Sekalipun sekarang belum ada cinta, tapi aku akan berusaha menjadi suami yang terbaik saat kita menikah nanti".

Kata belum cinta serasa berhasil membuat jantung Anin berpindah dari tempatnya. Apakah keputusannya benar menerima lamaran(??) dari Yusuf. Tapi dirinya sendiri juga sekarang ada diposisi yang sama seperti Yusuf. Selalu dikejar-kejar pertanyaan soal menikah. Mungkin sudah saatnya dia mengambil keputusan untuk menikah. Sekalipun pilihannya sekarang adalah pilihan yang gila.

Anin mencoba untuk menatap pemandangan dari balik kaca mobil yang ada disebelahnya dan tanpa terasa dia sudah memejamkan matanya. Entah mengapa hari ini dia merasa lebih lelah sekaligus senang. Tidak ada ekspresi yang bisa melukiskan apa yang sedang dia rasakan sekarang.

apa yang ada dipikiran Mas Yusuf sekarang??

Kenapa dia mendadak ngajak nikah??

Kenapa harus aku??

Batin Anin dengan semua pertanyaan yang hanya mampu dia utarakan untuk dirinya saja.

***

Setelah kejadian Anin dikenalkan dengan keluarga Yusuf. Anin berusaha untuk seminimal munkin dia bertemu dengan orang yang telah melamarnya secara dadakan. Bertemu dengan Yusuf seperti tadi pagi saja sudah mampu membuatnya senam jantung, apalagi jika dia bertatap muka langsung dengan orangnya. Dan Anin berusaha untuk mengontrol emosinya agar tidak berbicara apapun kepada Franda soal apa yang terjadi antara dirinya dan Yusuf.

Yusuf sendiri juga tidak pernah menghubunginya sejak kejadian beberapa hari yang lalu. Apa jangan-jangan sekarang dia menyesali apa yang telah dikatakannya kepada Anin. Sungguh hal ini juga membuat Anin penasaran setengah mati. Setengah mati dia berusaha berpositif thinking jika saat ini memang kantor sedang di sibukkan dengan urusan proyek yang menguras tenaga dan pikiran. Tapi setengah mati juga, Anin penasaran dengan apa yang di pikirkan Yusuf sekarang. Apa waktu itu dia salah minum obat, hingga dia melamar Anin seperti itu.

Tidak biasanya Anin melamun dalam pekerjaannya. Sebenarnya Anin sudah menyelesaikan laporan yang harusnya dia selesaikan kemarin. Tapi sekarang dia malah sibuk dengan bolpoin yang ada di tangannya.

"Woi, ngalamun aja. Ngalamun apaan sih. Cerita-cerita dong".

Franda nyLonong masuk ke ruangan Anin karena sedari tadi dia mengetuk pintu, tapi Anin tidak segera menjawabnya.

"Cerita apaan sih. Ngga ada yang perlu di ceritain juga. Emang Lo udah selesai sama kerjaan Lo?".

Anin masih memainkan bolpoinnya dan hanya menatap ke Franda sekali.

"Udah, ini kan weekend. Gue tadi mau pamit pulang cepet. Tapi Lo nya malah ngalamun dari tadi. Laporannya udah selesai??"

"Lo kenapa sih?"

Franda penasaran. Franda merasa ada yang aneh dengan atasannya sekaligus sahabatnya tersebut. Biasanya, jika sahabatnya tersebut mempunyai masalah terlebih jika itu berhubungan dengan kehidupan cintanya, dia akan menjadi orang nomor satu tempat Anin menceritakan semua yang dia rasakan.

"Ngga papa. Gue cuma kepikiran sesuatu aja".

"Trus sesuatu yang bikin Lo kepikiran itu apaan?? Kalau gue bisa bantu, gue akan coba buat bantu. Lo ngga macem kali mikirin sesuatu sampai segininya".

Franda tahu benar bahwa Anin memang seseorang yang memikirkan semuanya dengan serius apalagi jika itu berkaitan dengan hidupnya. Namun, Anin juga bukanlah orang yang terlalu kebanyakan mikir. Karena bagi Anin, masih banyak hal yang harus dia pikirkan. Dan memikirkan satu hal dengan waktu yang lama hanya membuang waktu berharganya.

"Kalau Lo ngga mau cerita sekarang juga ngga papa. Tapi jangan kebanyakan mikir. Kalau kebanyakan mikir malah jadinya macet di pikiran Lo".

Franda akhirnya menyerah. Mungkin untuk saat ini, Anin belum mau membagi apa yang dia rasakan.

"Tapi jangan lupa juga kasih laporannya ke Pak Yusuf. Tadi siang dia sebenarnya udah minta laporannya, tapi berhubung Lo kaya gitu jadinya gue bilang kalau Lo kurang enak badan".

DEEEGGGGG....

Mendengar nama 'Yusuf' saja sudah mampu membuatnya deg-degan ditambah sekarang dia harus menyerahkan laporannya.

"Lo bisa ngga anterin laporannya ke Pak Yusuf?? Gue juga mau pulang cepet. Badan gue capek semua".

"Yaudah deh, kalau Lo maunya gitu. Sebenernya sih Pak Yusuf bilang kalau bisa laporannya Lo sendiri yang nganter. Tapi kayanya Lo beneran sakit deh. Nanti gue bilang kalau Lo pulang cepet".

"OK.. makasih ya, Lo emang sahabat yang paling bisa gue andelin".

Anin menyerahkan laporannya dan segera meninggalkan Franda. Dia tahu bahwa tidak seharusnya dia menghindar dari Yusuf. Namun untuk saat ini, mungkin itu yang terbaik. Dia benar-benar belum mengerti dengan apa yang di katakan Yusuf kemarin. Otaknya terus berputar mencari alasan yang tepat untuk meyakinkan dirinya sendiri akan keputusannya menerima lamaran dari Yusuf.

***

Weekend minggu ini, Anin memutuskan untuk tidur di rumah orangtuanya yang sebenarnya satu kompleks dengan rumahnya hanya di bedakan beberapa gang saja. Entah mengapa dia begitu kangen dengan kamar yang sudah lama dia tinggalkan setelah dia bekerja di Jakarta dan sekarang dia mempunyai rumah sendiri.

Seperti biasa, setelah sholat subuh, Anin memutuskan untuk tidur kembali. Bekerja membuatnya hanya tidur rata-rata perhari hanya 6 jam. Kadang dia harus rela tidur di sofa di ruang kerjanya atau di kantornya saat pekerjaannya terlalu banyak.

Jam 8.00..

Anin sudah bangun satu jam lalu, namun dirinya masih enggan untuk bangun dari kasur empuknya tersebut.

"Mbak... bangun mbak.. ada tamu lho..."

Bundanya berusaha untuk membangunkan Anin yang nyaman dengan guling yang masih dipeluknya tersebut.

"Ehhhhmmm??"

"Ada tamu mbak. Mendingan Mbak Anin buruan mandi, dandan yang cantik sama jangan lupa pake jilbab. Tamunya cowok. Jangan lama-lama lho mbak..."

Pesan Bundanya yang sudah pergi sebelum mengklarifikasi siapa tamu cowok yang membuatnya harus bersiap-siap di pagi hari ini. Masih terlalu pagi bagi Anin untuk hari minggu. Dengan ogah-ogahan dia segera menuju kamar mandi yang ada di samping kamarnya. Rumahnya maupun rumah orangtuanya sama-sama tidak mempunyai kamar mandi dalam, karena bagi 2 perempuan tersebut, Anin dan Bundanya, kamar mandi di dalam itu tidaklah senyaman jika kamar mandi itu terpisah.

Selesai mandi, Anin berusaha menyapukan sedikit make-up ke wajahnya. Dia juga memilih lipstick berwarna peach agar lebih natural. Di pakailah baju seadanya yang ada di rumahnya. Awalnya dia hanya ingin memakai kaos obLong semasa kuliahnya, namun jika Bundanya sudah berpesan untuk dandan yang cantik, biasanya itu bertanda bahwa acaranya formal.

Acaranya formal?? Anin baru menyadari bahwa acaranya formal. Acara apa di hari minggu kaya gini?? Jangan sampai ini hanya acara tidak penting yang sukses mengganggu tidur panjangnya.

Dipakailah baju kemeja berwarna hijau pastel dan celana kain skinny warna cream. Ditambah dengan jilbab motif yang memiliki warna hijau yang lebih tua dari kemejanya. Simple tapi itulah cara berpakaian Anin. Karena Anin selalu ingat setiap dia ingin memakai baju double-double ala trend hijab zaman sekarang hanya menambah tumpukan cucian bajunya semakin banyak.

Anin segera turun dari kamarnya menuju dapur mencari Bundanya. Namun alangkah terkejutnya ketika dia melihat Yusuf bersama keluarganya yang kali ini hanya terlihat Abi, Umi dan Rizal yang ada disamping Yusuf. Ada acara apa ini. Ditambah ada beberapa bingkisan yang pasti itu dari Yusuf.

"Kok ngalamun aja sih. Cepet sana, temuin atasanmu..."

Tiba-tiba suara Bunda sudah ada di belakang Anin yang seketika itu juga mampu membuat Anin keget.

"Ayo..."

Anin dengan langkah yang lambat berjalan ke arah ruang tamu. Dalam hatinya dia malu karena dengan begini, otomatis Yusuf mengetahui kebiasaan jeleknya saat ini. Tapi disisi lain dia juga penasaran dengan maksud dari Yusuf datang ke rumah orangtuanya. Mengapa Yusuf bisa mengetahui rumah orangtuanya. Jika alasannya karena profil pegawai kantor, bisa di pastikan itu tidak mungkin. Karena Anin mengisi data pribadinya dengan alamat rumahnya sekarang bukan alamat rumah orangtuanya.

*Flashback On

TTTIIIIINNNGGGG... TTTTOOONNNGGGG...

"Assalamualaikum..."

Sudah 3 kali Yusuf memencet bel yang ada di dekat pagar rumah yang ada di hadapannya sekarang. 3 kali juga dia mengucapkan salam dengan menaikkan beberapa oktaf dari suara normalnya. Namun tidak ada satupun yang menjawab. Dia juga sudah memastikan bahwa rumah yang dia datangi sekarang adalah rumahnya Anin. Tapi sekarang, rumah tersebut serasa tidak berpenghuni.

"Yusuf, ini beneran rumahnya Anin??"

Tanya Rizal penasaran yang masih duduk di kursi mengemudi.

"Beneran kak..."

Jawab Yusuf yang sebenarnya juga kurang yakin. Namun setelah di lihat dari nomor rumahnya, sudah jelas bahwa rumah yang ada di hadapannya sekarang adalah benar rumah milik Anin. Lagipula dia sudah menyuruh mata-matanya untuk memastikan rumah Anin sebelum dia sendiri yang kesini. Dan dilihat dari foto rumah yang di kirim dari orang suruhannya semakin menguatkan argumennya saat ini.

"Mendingan kamu tanya ke orang sekitar sini deh, Yusuf. Ngga ada salahnya buat mastiin lagi".

Kali ini, dia mendengarkan apa yang di katakan Uminya. Daripada dia seperti orang gila memencet bel rumah orang. Kebetulan ada orang yang lari-lari pagi yang kebetulan lewat.

"Maaf Mas.. tapi mas tau ngga pemilik rumahnya ada dimana itu??"

Tanya Yusuf sambil menunjuk rumah Anin.

Cowok tersebut sedikit menyelidik dengan wajah Yusuf. Dia seperti familiar dengan wajah orang yang ada di hadapannya sekarang, tapi untuk sekarang dia belum bisa mengingatnya. Cowok yang ada di hadapannya sekarang sekalipun dia familiar tetap saja dia mempunyai wajah begitu ganteng yang membuatnya sedikit minder.

"Rumah itu?? Mbak Anin mah ada dirumah dari tadi malem. Ada apa ya nyari kakak saya??"

Ternyata cowok tersebut adalah Arwi. Dia sedikit heran, mengapa cowok cakep level satu ini menanyakan rumah kakaknya. Tapi dia masih dalam keadaan sadar. Buktinya, dia masih membawa kesantunannya menjawab pertanyaan dari orang asing.

Setelah mengutarakan maksud dan tujuannya kepada Arwi yang ternyata sebentar lagi akan menjadi adik iparnya tersebut. Yusuf langsung meminta Arwi untuk mengantarkan dirinya dan keluarganya menuju ke rumah orangtua Anin. Dan Arwi yang sebenarnya masih kepo berat dengan Yusuf juga akhirnya mengantarkan Yusuf kerumahnya. Mungkin kalau sudah sampai rumah, semua pertanyaannya akan terjawab.

*Flashback Off

"Umi..."

"Abi..."

"Mas Rizal..."

Anin menyalim semua satu per satu, termasuk Yusuf. Dan khusus untuk Umi dan Abi, dia juga mencium punggung tangan kedua orangtua tersebut yang telah menganggapnya sebagai menantu.

"Maaf ya, nak Anin. Gara-gara kita kepagian kemari jadi ganggu istirahatnya. Kamu udah sehatan??"

Umi tampak benar-benar khawatir dengan kesehatan Anin, karena Yusuf bilang bahwa Anin sedang sakit.

"Ahhhh.. ngga papa kog Umi. Paling cuma pegel aja".

Anin mencoba menutupi dengan senyumnya. Dia tidak ingin membuat Umi khawatir dengan keadaannya yang sebenarnya baik-baik saja. Dia hanya merasa capek di tambah dnegan pikiran tentang apa yang baru saja terjadi dalam hidupnya yang menambah pikirannya.

"Maaf lho, Pak, Buk.. Cuma ada seadaanya kaya gini...padahal udah jauh-jauh dari Jogja".

Ucap Bunda yang merasa tidak enak, karena hanya menyediakan suguhan seadanya.

"Anin ngga bilang kalau hari ini direktur barunya bakalan dateng..."

"Ngga papa kog, Buk... kemarin kita juga nyiapin makanan buat Anin pas dia di Jogja juga biasa aja".

"Ohhh, ,jadi Anin pernah main ke Jogja??"

Bundanya yang menatap Anin dengan tatapan kilat. Selama ini, Anin tidak pernah menutupi apapun darinya karena Anin bukanlah tipe orang yang dapat berbohong. Apalagi berbohong kepada Bundanya.

Setelah perbincangan seru antara kedua orangtua ditambah dengan Yusuf dan Rizal yang terlihat seru. Saatnya Abi mengutarakan maksud kedatangan mereka di rumah keluarga Anin. Sedangkan Anin sedari tadi hanya berdiam diri tidak tahu harus ikut pembicaraan yang dari mana. Bukan tipenya yang tidak dapat beradaptasi dengan cepat di lingkungannya, namun kali ini suasananya terasa berbeda.

"Maaf sebelumnya, saya bukanlah tipe orang yang suka berbasa-basi seperti orang Jawa pada umumnya..."

Abi terlihat gugup, karena baru kali ini dia yang harus melamar caLon pasangan untuk anaknya. Biasanya dirinya lah yang mendengar ucapan tersebut dari orangtua caLon menantunya. Maklum, Yusuf adalah anak laki-laki satu-satunya dari empat bersaudara. Yusuf sendiri memiliki dua kakak perempuan dan satu adik perempuan. Dan semuanya sudah menikah. Itulah mengapa dia terus didesak untuk menikah. Desakan tersebut bertambah parah saat adiknya melangkahinya dan memiliki anak berusia 3 bulan.

"Silahkan dilanjutkan. Kami juga bukan tipe orang yang terlalu membawa adat Jawa dalam keluarga kami".

Ayah Anin mencoba untuk mencairkan suasana. Suryanda Kamil.

"Kami disini untuk meminang anak Pak Surya menjadi menantu dalam keluarga kami. Menjadi istri dari anak saya. Yusuf".

Kata-kata dari Abi sontak membaut Bunda tidak bisa menutupi apa yang ada di dalam pikirannya.

"Maaf menyela sebelumnya. Tadi bapak bilang kalau nak Yusuf ini anak ketiga kalian??"

"Iya bu. Ada apa memangnya??"

Umi terlihat penasaran dengan maksud dari pertanyaan tersebut.

"Tapi untuk acara lamaran ini, mungkin harus di tunda terlebih dahulu. Atau lebih tepatnya di batalkan saja".

Sontak semua orang kaget. Termasuk Abi dan Anin yang tidak menyangka bahwa Bunda akan mengatakan hal tersebut secara terang-terangan.

Apa jangan-jangan karena mitos aneh tersebut????

Batin Anin sekaligus menahan malu. Karena yang di tolak sekarang bukanlah orang sembarangan. Dia adalah Yusuf. Orang yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam kantornya saat ini. Bahkan mungkin dia adalah orang yang mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi lagi yang belum sempat Anin bayangkan. Dan mungkin besok, bisa menjadi hari terakhirnya dia bekerja. Siap-siap jadi 'PHK DADAKAN'.

***