webnovel

Part 31 - END

***

10 tahun kemudian..

"Pagi anak gantengnya Bunda.."

Ucap Anin yang masih tampak repot di dapur menyiapkan bekal untuk putranya. Tapi dia juga masih sempat untuk mencium kedua pipi putranya yang sudah siap berangkat ke sekolah.

Putra dari Anin dan Yusuf..

ANINDRA KAREEM DHYAKSA

Anindra Kareem yang berarti laki-laki yang memiliki keteguhan hati yang mulia. Itulah arti dibalik nama yang diberikan Yusuf untuk anak laki-lakinya. Dia memang sengaja mengikutkan nama 'Anin' dalam nama anak mereka, karena dia ingin mengingat seluruh perjuangan Anin selama ini. Terutama saat mengandung Kareem, Yusuf masih mengingat betapa banyak hambatan yang harus mereka lalui.

Yusuf yang mengamati pemandangan yang ada tanpa mengedipkan matanya sedikitpun.

"Pagi, Ayah.."

Sapa Anin seperti biasa.

"Sekarang udah sok-sok an pake dasi sendiri nih.."

Anin membetulkan dasi yang melingkar di leher jenjang milik suaminya itu yang tampak miring. Dia masih tersenyum sambil sesekali memandangi wajah suaminya yang nampak tak berkedip barang sedikitpun.

"Ayah jangan liatin Bunda terus dong.. Ayo cepetan kesini, sarapan.."

Kareem membuyarkan lamunan dari Yusuf yang masih setia mengamati Anin. Kareem mendengus kesal melihat Ayah dan Bundanya yang selalu seperti itu setiap pagi. Saling bertatap muka, seakan mereka tidak akan bertemu kembali.

"Emangnya kenapa sih kalau Ayah liatin Bunda?? Orang liatinnya cuma bentaran aja.."

Kali ini, Anin sudah menjawil dagu anak laki-lakinya yang membuat Kareem mendengus kesal. Kalau sudah seperti ini, rasanya putranya itu adalah jiplakan dari Yusuf. Keras kepala, ngga mau ngalah, apa-apa harus diturutin. Terlebih wajah dari Kareem memang lebih mirip dengan Yusuf daripada dirinya. Dirinya hanya kebagian di bagian bibir saja, selain itu semuanya adalah milik Yusuf. Dia pun menerima saja, karena anaknya yang masih berumur 10 tahun saja sudah terlihat tampan, apalagi jika nanti dia sudah tumbuh dewasa. Bisa dipastikan jika dia harus bersabar jika banyak perempuan yang akan mencarinya. Tapi jika sifatnya Kareem juga seperti Yusuf, akan percuma saja Kareem memiliki wajah tampan, toh nantinya dia hanya akan menjadi es batu yang siap mematahkan hati setiap perempuan yang menyukainya, seperti ayahnya dulu.

"Yang penting kan udah digorengin ikan asin sama oseng kangkung.."

Tambah Anin sambil menaik-turunkan alisnya, menggoda anaknya dengan permintaan Kareem yang ingin makan ikan asin.

"Isshhh, Bunda mah gitu.."

Kareem masih tampak begitu sebal, tapi dia akhirnya segera mengambil nasi beserta lauk yang ada sesuai pesanannya kepada Anin. Ikan asin dan oseng kangkung. Ntah mengapa itulah masakan yang sering diminta oleh Kareem. Anin harus bersyukur untuk hal ini, karena dirinya sempat was-was saat dirinya hamil Kareem, dia sering merepotkan Yusuf untuk membeli macam-macam makanan dan dia takut jika nantinya, anaknya akan menjadi pemilih dalam urusan makan.

"Makasih Bunda udah repot-repot masakin buat kita.."

Ucap Yusuf mencoba mengingatkan anaknya untuk selalu berterimakasih.

"Makasih Bunda.."

Kata Kareem sambil mencium pipi Anin. Kareem memang tidak pernah sungkan untuk mencium pipi Bunda dan Ayahnya sebagai ungkapan sayangnya. Baginya, kedua orangtuanya itu adalah segalanya. Anin langsung tersenyum mendapati ucapan terimakasih dari kedua orang yang begitu berharga untuk hidupnya.

"Sama-sama.."

Anin pun mengambilkan nasi beserta lauk untuk Yusuf seperti biasa sebelum Yusuf mengambil sendiri. Dia merasa aneh dengan Yusuf yang terus-menerus menatapnya seakan dia tidak pernah bertemu dangannya. Tapi dia senang saja, karena dengan begitu dia merasa di perhatikan oleh suaminya.

"Sarapan dulu, Ayah.. Baru nanti liatin aku.."

Sindir Anin yang masih melihat Yusuf tak kunjung menyentuh nasinya.

"Bunda, nanti habis pulang sekolah Kareem di ajak jalan sama Paklik Arwi.."

Anin menoleh menatap anaknya yang baru mengucapkan kalimat ambigu antara meminta izin atau sekedar pernyataan, karena memang sudah kebiasaan dari Kareem dia hanya mengatakan apa yang ingin dia lakukan tanpa ingin tahu apakah Ayah-Bundanya itu mengizinkan atau tidak. Kareem benar-benar tidak peduli akan hal itu.

"Emangnya Paklik udah pulang??"

Tanya Yusuf yang hanya mengetahui jika Arwi masih di Jakarta.

"Tadi Kareem di video call sama Paklik.. Jadi nanti pulang sekolah, Kareem langsung ke rumah Uti.."

"Dasar.."

Anin mengacak-acak rambut anaknya yang sukses membuat sang empunya langsung cemberut. Kareem memang terlalu peduli dengan penampilannya, apalagi dengan kebersihan.

"Ini bekalnya.. Nanti kalau udah sampe rumah Uti, jangan lupa chat Bunda ya.."

Kareem langsung sumringah seketika itu juga. Dia bahkan tidak peduli lagi dengan acara sebalnya terhadap Bundanya yang sukses mengusilinya, karena yang terpenting sudah ada ikan asin seperti kemauannya. Anin memang terlalu mudah menyogok anaknya untuk tidak betah berlama-lama ngambek kepadanya.

"Bunda.. Ayah.. Kareem berangkat dulu ya.. Assalamualaikum.."

Kata Kareem setelah mencium punggung tangan kedua orangtuanya.

"Waalaikumsalam.."

Ucap Anin-Yusuf bersamaan.

"Ati-ati, Nak.. Jangan galak-galak.. Apalagi sama cewek.."

Tambah Anin yang langsung mendapat tatapan sebal dari putranya. Sedangkan dirinya terkikik sembari melihat Yusuf yang belum juga menyelesaikan acara sarapannya.

"Mas Yusuf kenapa?? Hm?? Mas Yusuf sakit??"

Anin langsung memegang kening antara dirinya dan Yusuf, namun tampak normal saja. Anin memang memanggil 'Ayah' saat didepan putranya, namun berbeda halnya saat mereka hanya berdua saja. Dia akan memanggil Yusuf seperti biasanya.

"Ngga papa kog.."

Jawab Yusuf sekenanya. Anin masih melirik curiga terhadap Yusuf. Biasanya jika Yusuf jadi pendiam seperti sekarang, berarti ada suatu hal yang sedang Yusuf pikirkan tentangnya.

"Beneran nih?? Mas lagi ngga bohong, kan??"

"Ya Allah, ngapain Mas bohong sama kamu?? Kayanya Mas ngga jadi ngantor aja deh hari ini. Gimana kalau kita keluar?? Lagian Kareem nanti juga jalan sama Arwi.."

"Tapi kan ngga enak Mas kalau Kareem ngga di ajak..."

Tampik Anin yang langsung membayangkan bagaimana sikapnya Kareem saat mengetahui bahwa dirinya ditinggal jalan oleh orangtuanya.

"Ayolah, Dek.. udah lama kan kita ngga berduaan??"

"Emang harus banget ya kita keluar cuma buat berduaan?? Kan bisa di rumah, sekalian ngurus Kareem.."

"Ahh.. Bodo amatlah.. Kalau gitu Mas mau tiduran aja hari ini.."

Anin terkekeh melihat sikap Yusuf yang lagi ngambek seperti sekarang. Persis dengan apa yang baru saja dilihatnya dari Kareem.

"Emang mau keluar kemana sih?? Orang cuacanya aja mendung gini loh.."

Ucap Anin yang akhirnya mengalah juga. Sebenarnya hal yang menyenangkan untuknya bisa menggoda Yusuf, tapi dia juga mudah kasian dengan suaminya bila Yusuf sudah mode ngambeknya.

"Kemana aja deh.. Yang penting keluar.."

"Gimana kalau ke pantai?? Kita udah lama kan, ngga ke pantai.."

Ucap Anin sambil mengingat kembali kapan terakhir kali mereka ke pantai.

Yusuf pun mengangguk saja. Dia segera ikut membantu Anin membereskan meja makan dan ikut mencuci piring.

***

Anin tampak menikmati suasana pantai yang terhampar di hadapannya sekarang. Sedangkan Yusuf, sedari tadi tidak ingin kehilangan satu detikpun untuk melihat wajah dari istrinya. Di peluknya dengan posesif bahu dari Anin sambil salah satu lengannya memegang telapak tangan dari Anin.

"Pemandangannya indah banget ya, Mas.."

Anin memecahkan keheningan yang mereka berdua ciptakan. Yusuf masih memperhatikan Anin dengan seksama.

"Terimakasih Mas karena kamu sudah mengizinkanku untuk masuk kedalam hidupmu.. mengizinkan cintaku tersampaikan untukmu.."

Sekarang mereka berdua saling bertatap muka, berusaha mengeluarkan seluruh rasa yang ada di dalam hati masing-masing. Tapi entah mengapa, sedari tadi hanya Anin saja yang mengucapkannya. Sedangkan Yusuf masih terdiam, tanpa sepatah kata apapun yang berhasil keluar dari bibirnya.

"Seharusnya Mas yang mengucapkan rasa terimasihku untukmu.. Karena kamu telah memberikan seluruh cinta hanya untukku dan kamu tidak pernah meninggalkan Mas sekalipun Mas telah menyakitimu sedemikian parah.."

Yusuf sudah meneteskan airmatanya. Dia mengingat semua yang telah terjadi dalam hidupnya dan itu semua hanya menyakiti Anin.

"Karena aku mencintaimu, Mas.. Kamu memberiku kesempatan untuk bersamamu dan itu adalah waktu terbaik dalam hidupku.."

Anin menghapus airmata yang mengalir dari pria yang begitu dia cintai seumur hidupnya.

"Tapi sudah saatnya kamu mengikhlaskanku dengan sepenuh hatimu, Mas.. Kamu harus melanjutkan hidupmu lebih baik bersama putra kita.. Kareem.."

"Tapi.."

Anin langsung memeluk suaminya dengan erat.

"Aku tahu Mas.. Aku tahu semuanya.. Dan tidak seharusnya kamu terus menyalahkan dirimu.."

Ucap Anin yang sekarang ikut meneteskan airmatanya.

"Terimakasih atas cinta yang telah kamu berikan selama ini kepadaku. Terimakasih karena kamu mencintai anak kita dengan sangat. Terimakasih karena kamu telah merawatnya dengan baik sekalipun tanpa aku.. Tapi sekarang, aku harus pergi Mas.."

Disaat itulah, Yusuf yang sedang tertidur di samping anaknya mulai memanggil 'Anin' dengan mata masih tertutup.

"Dek.. jangan tinggalin aku.."

"Dek.. Aku mohon.. tetaplah disini bersama denganku.. bersama Kareem.."

Yusuf nampak tidak rela saat Anin mulai menghilang dari penglihatannya.

"Ayah.."

"Ayah..."

Kareem tampak susah payah membangunkan Ayahnya yang memang dia ketahui sering memanggil Bundanya dalam tidurnya.

Yusuf langsung terbangun setelah mendengar suara panggilan dari putranya. Tanpak keringat dan nafas terengah-engah ketika Yusuf sudah sadar dari mimpinya tentang Anin.

"Ayah kangen sama Bunda?? Ayah baik-baik aja, kan??"

Tanya Kareem sambil terus memperhatikan Yusuf.

Yusuf langsung memeluk Kareem yang membuat putranya sedikit sesak karena pelukan tersebut.

"Ayah ngga papa kog.."

"Besok kita nengokin Bunda, ya??"

Kareem pun mengangguk saja. Dilihatnya Ayahnya yang ikut tertidur lagi di sampingnya. Memang sudah menjadi kebiasaan dari Kareem yang akan tidur di kamar milik Ayahnya saat Ayahnya itu sedang di luar kota. Karena dengan begitu dia akan merasakan kehadirang dari Ayahnya dan jika dia beruntung, Ayahnya akan tidur disampingnya begitu dia pulang.

"Sekarang Kareem bobok lagi ya.. Besok sekolah kan??"

Yusuf mencoba menidurkan Kareem dan berhasil. Namun dirinya sendiri yang sekarang masih terjaga dan bila sudah seperti ini, dia tidak mungkin akan tertidur lagi. Rasa pening tiba-tiba menjalar di kepalanya, setelah mendapatkan mimpi yang serasa nyata untuknya tadi.

***

*Flashback ON

"Astagfirullah.. Hari ini kan aku ada janji sama Anin.."

Yusuf mencari ponsel di sakunya dan dia baru teringat jika ponselnya itu masih di dalam mobil. Dia begitu panik ketika mendengar kondisi Fahira yang tiba-tiba drop bahkan dia sampai lupa akan janjinya kepada Anin. Dia langsung buru-buru keluar menuju parkir untuk mengambil ponselnya. Dia berharap bahwa Anin tidak mempermasalahkan hal ini.

Namun saat Yusuf melewati lobi rumah sakit, disaat itulah dia melihat sekilas wajah Anin yang sudah bersimbah darah menuju ruang operasi. Seketika itu juga, Yusuf langsung berlari menyusul kemana Anin akan di bawa.

"Suster, apa yang sebenarnya terjadi dengan istri saya??"

Suster itu yang awalnya kaget pun langsung menjawab pertanyaan dari Yusuf.

"Pasien adalah salah satu korban kecelakaan. Sekarang pasien harus menjalani operasi caesar untuk menyelamatkan nyawa Ibu beserta bayinya. Pasien dalam keadaan kritis saat ini..."

Yusuf bahkan tidak bisa mencerna penjelasan dari Suster yang dia tanyai tersebut setelah mendengar bahwa keadaan dari Anin adalah kritis. Betapa begitu cepatnya waktu berputar. Tadi pagi dia masih melihat Anin dalam keadaan baik-baik saja, tapi mengapa sekarang semuanya berbeda.

Langkah dari Yusuf pun berhenti ketika istri beserta calon anaknya sudah masuk di ruang operasi. Tubuhnya terasa kaku saat itu juga. Dia bahkan masih terlalu bingung untuk menerima kondisi yang ada. Bahkan kehadiran dari keluarganya dan keluarganya Anin pun tidak dia sadari. Didalam hatinya dia hanya bisa merapalkan doa agar istri dan calon anaknya selamat, tanpa bisa diucapkannya. Dia bahkan tidak menjawab satu pertanyaan apapun ketika ditanyai mengapa kecelakaan ini bisa terjadi, bagaimana kronologinya, karena Yusuf memang tidak tahu.

Setelah berjam-jam lamanya mereka menunggu, akhirnya seorang suster membawa keluar seorang bayi yang pasti itu adalah anak dari Anin-Yusuf.

"Selamat ya, Pak.. Anak anda luar biasa kuat dengan keadaannya tadi.. Dia berjenis kelamin laki-laki.."

"Istri saya?? Gimana keadaannya?? Dia baik-baik aja, kan??"

"Sabar, Pak.. Dokter tengah berjuang untuk istri anda. Jadi tetaplah berdoa untuk keselamatannya.."

Bahkan Yusuf serasa tidak kuat lagi hanya untuk berdiri saja. Seketika Yusuf mencari dinding untuk tempatnya bersandar. Bahkan dia tidak terlalu peduli dengan anaknya. Pikirannya terasa penuh dengan keadaan Anin. Akhirnya Arwi lah yang mengadzani keponakannya itu, setelah melihat bagaimana keadaan dari Yusuf yang begitu frustasi menghadapi situasi sekarang.

Yusuf tambah frustasi ketika dokter yang ada di dalam tidak segera keluar dan memastikan bahwa keadaan Anin baik-baik saja.

Tak henti-hentinya dia berdoa di dalam hatinya agar Anin selamat. Dia mau mempertaruhkan semua, termasuk nyawanya asalkan Anin selamat. Dia tidak tahu lagi bagaimana caranya dia bisa menyelamatkan Anin.

"Disini, siapa wali dari pasien??"

Ucap dokter yang baru keluar dari OR sambil membuka maskernya.

"Saya, Dok.. Gimana keadaan istri saya?? Dia baik-baik aja kan??"

Yusuf dengan antusias menunggu kabar baik dari dokter yang menangani Anin. Begitu lama untuk Yusuf mendapat kepastian yang jelas akan keadaan dari Anin.

Yusuf segera masuk kedalam ruang operasi tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Anin-nya tidak selamat, yang itu berarti jika Anin telah meninggalkannya.

Anin meninggalkannya dengan keadaan seperti sekarang..

Anin bahkan belum melihat bagaimana wajah dari anak mereka..

Bahkan Anin belum mendengarkan kata-kata yang sudah di siapkan Yusuf sejak beberapa hari ini..

Yusuf mendekati Anin yang sudah tampak pucat. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Bahkan airmatanya tak mau mengalir sedikitpun saking tak percayanya dia dengan apa yang dia hadapi.

"Kamu nggak beneran ninggalin aku,kan??"

Ucap Yusuf dengan lirih bahkan mungkin hanya dia saja yang mampu mendengarnya. Hanya Yusuf yang masuk di ruang yang terasa dingin untuknya, sedangkan yang lain nampak berduka dengan situasi yang ada.

"Kenapa kamu ninggalin kita?? Kamu marah sama aku?? Kamu ngga mau ketemu sama aku?? Kalau iya, ngga seharusnya kamu menjadi seperti sekarang.. Ngga semestinya kamu ninggalin aku dengan cara seperti ini, bahkan disaat aku belum mengatakan jika aku mencintaimu, Dek.."

Akhirnya kata 'aku mencintaimu' keluar dari bibir Yusuf. Namun nampaknya, Yusuf sudah terlalu terlambat untuk mengatakannya jika keadaan seperti sekarang.

"Kamu juga belum lihat anak kita.. Dia butuh kamu.. Kamu yakin ninggalin anak kita ke ayah brengsek seperti aku??"

"..Jawab aku, Dek.. Sadarlah dan bilang kepadaku kalau ini semua hanyalah mimpi burukku tentangmu.."

Yusuf mengusap pipi Anin dengan lembut. Mencoba membangunkan Anin. Namun tidak ada respon sama sekali tidak seperti yang diharapkannya. Yusuf pun mengecup kening Anin dengan khitmad menahan rasa sakit yang luar biasa didalam hatinya sekarang.

***

Berhari-hari setelah Anin pergi, Yusuf masih setia mengurung dirinya di kamar. Bahkan dia belum melihat bagaimana keadaan dari putranya yang saat ini ada dirumahnya, namun dirawat oleh ibu mertuanya. Dia belum menerima semua yang telah terjadi atau lebih tepatnya dia belum mau mengakuinya.

Membayangkan bagaimana hidupnya tanpa Anin sudah sukses membuatnya menangis. Apalagi jika menerima semua keadaan yang memang sudah seharusnya dia terima dengan ikhlas. Terasa dingin. Tidak sinkron dengan cuaca di luar yang begitu terik. Tidak ada kenyamanan yang selalu dia terima dari Anin. Semuanya menghilang begitu saja.

Semuanya sudah menjadi kenangan saja untuknya. Kenangan yang entah mengapa mengabur begitu saja, ketika dia mengakui Anin sudah meninggalkannya untuk selamanya. Mungkin karena dia percaya jika dia masih akan melalui kebersamaan dalam waktu yang panjang bersama Anin. Tapi sekarang, semua itu hanyalah mimpinya saja. Karena tidak mungkin Anin akan kembali lagi dalam hidupnya. Mungkin ini semua adalah hukuman untuknya, karena telah menyia-nyiakan Anin selama hidupnya. Dia terlalu banyak bermain dengan waktu dan sekaranglah giliran waktu yang mempermainkannya, memberikan takdir yang begitu menyakitkan dalam hidupnya.

Dan untuk pertama kalinya, Yusuf meneteskan airmatanya. Rasa sakit yang coba dia tampik ternyata tak mampu di hadapi lagi. Dia terlalu lemah sekarang untuk menerima semua. Dia tidak sekuat saat Anin masih di sampingnya. Dia terlalu biasa menjadi Anin sebagai sandaran. Dan sekarang, sandaran dihidupnya telah hilang.

"Aaarrrggghhh.."

Yusuf berteriak mencoba mengeluarkan rasa sakitnya, tidak peduli dengan orang disekitarnya yang mulai mengkhawatirkan kondisinya.

*Flashback OFF

***

"Ayah, habis ini kita kerumah Uti ya?? Paklik Arwi baru pulang katanya.."

Ucap Kareem kepada Yusuf.

"Ok, Boy.."

Yusuf mengacak rambut putranya tersebut yang kadang kelewat manja dan mandiri dalam waktu bersamaan. Mungkin karena putranya itu harus mengerti dengan bagaimana keadaannya. Dia hanya mempunyai seorang ayah yang merangkap menjadi seorang ibu sekaligus.

Pernah anaknya itu berbohong kepadanya dan mengatakan jika acara di sekolahnya dapat di hadiri oleh siapapun, asalkan orang tersebut adalah orangtuanya. Tapi ternyata, setelah Yusuf benar-benar menghadari acara tersebut sesuai keinginan dari Kareem, barulah dia sadar jika yang menghadirinya acara itu adalah wanita, karena memang acara tersebut bertepatan dengan Hari Ibu.

Kareem mengatakan di depan umum, jika dia memiliki seorang Ayah yang begitu hebat. Saking hebatnya bahkan Bundanya pun dapat di gantikan oleh Ayahnya tersebut. Mendadak Yusuf menangis mengingat semua itu. Bagaimana anaknya bisa sedewasa itu saat yang lainnya mungkin akan menangis mengetahui keadaannya sedikit berbeda dengan yang lain.

Apa sekarang kamu bahagia disana??

Apa kamu juga bisa melihat betapa bahagianya aku karena malaikat kecil yang telah kamu berikan untukkku??

Terimakasih atas semua yang telah kamu berikan untukku..

Bahkan disaat kamu tidak ada, kamu memberikan kebahagiaan untukku dengan cara lain.. Yaitu, memberikan Kareem kedalam hidupku..

Andai kamu ada disini bersama dengan kami..

Mungkin, semuanya akan terasa lebih sempurna..

Tapi untuk sekarangpun aku sudah terlalu bersyukur..

Bersyukur karena kamu hadir dalam hidupku..

Untuk mengenalmu..

Membawamu dalam hidupku..

Dan.. mengajarkanku untuk mencintai dengan cara yang luar biasa..

Tahukah kamu.. jika setiap nafas ini, setiap detak jantung ini, setiap aliaran darah yang ada di tubuhku dan semua yang ada dalam hidupkku hanya ada kamu disana..

Tapi.. Karena kamu tidak bersama kami, aku memberikan semua untuk Kareem..

Aku ingin dia merasakan cinta yang sama besarnya seperti aku merasakan cinta darimu..

Kita mungkin sudah terpisah, tapi ikatan di antara kita tidak akan putus begitu saja..

Karena rasa yang ada di antara kita akan selamanya..

Ucap Yusuf dalam hatinya sembari melihat putranya yang sudah berjalan mendahuluinya, meninggalkan Anin ditempat peristirahatan terakhir.

***