webnovel

Part 30 - SAAT IKHLAS DIPERTARUHKAN DENGAN EGO

***

Anin masih mengingat dengan jelas bagaimana Umi memohon untuk bertahan dengan Yusuf. Umi sangat menyayangi Anin seperti Umi menyayangi Yusuf. Tapi Umi juga mengikhlaskan Anin jika pada akhirnya Anin memilih keputusan lain. Bagi Umi, melihat Anin bahagia adalah yang paling utama daripada apapun. Sedangkan Bunda dengan berdera airmata memohon agar dirinya melepaskan Yusuf saja daripada Anin harus merasakan sakit seperti sekarang. Baginya, sudah cukup dengan sikap Anin yang selalu bersabar menghadapi Yusuf, menunggu cinta dari suaminya sendiri.

Namun kenyataan tidak semudah yang dikatakan. Tidak mudah bagi Anin untuk memutuskan apa yang akan dijalaninya. Dia bisa saja dengan mudah memaafkan Yusuf dan menerimanya kembali. Tapi hatinya masih belum ikhlas menerima semua kebohongan yang telah dia terima setelah dia memberikan seluruh hatinya hanya untuk Yusuf. Rasa ikhlas untuk menguapkan rasa sakitnya itu belum juga hadir di hatinya. Terlalu perih yang membawa seluruh mimpi indahnya bersama Yusuf hancur begitu saja. Tapi dia juga belum bisa melepas Yusuf. Dia belum siap kehilangan Yusuf begitu saja dalam hidupnya, setelah apa yang telah mereka lalui bersama. Merelakan cintanya tidak semudah saat dia memberikan cintanya dengan begitu mudah untuk Yusuf.

Demikian juga dengan Yusuf. Hatinya belum mau mengakui bahwa dirinya mencintai Anin, namun dirinya juga tidak ingin kehilangannya. Dia terlalu biasa dengan adanya Anin. Maka dari itu, dia hanya bisa meminta maaf tanpa bisa menjanjikan dirinya, sepenuh hatinya hanya untuk Anin.

MAAF..

Satu kata klasik yang biasa Yusuf ucapkan dan mungkin tanpa dia mengerti di balik kata itu, terdapat batas pada diri seseorang untuk menerima kata itu, termasuk istrinya. Mungkin Anin sudah terlalu biasa mendengar kata 'Maaf' dan akan selalu berulang dari bibir Yusuf tanpa melihat betapa sakitnya Anin menerima Yusuf dengan keadaan yang sama. Keadaan dimana dia harus menerima Yusuf dan setia menunggunya untuk memberikan hatinya hanya untuk dirinya. Dan Anin tidak tahu berapa lama dia harus menunggu suaminya dengan setia.

Jika rasa cinta itu salah untuk Anin, masih bisakah dia meminta rasa setia dari Yusuf??

Salahkah jika dia meminta kata setia itu dari hati suaminya??

Jika salah dengan cinta maupun setia, setidaknya dia harus meminta apalagi agar Yusuf hanya untuk dirinya??

Bahkan airmatanya saja sudah tidak mau mengalir lagi agar dirinya bisa melonggarkan rasa sesak di dadanya. Apalagi yang harus Anin perbuat agar dirinya sedikit mendapat sinar terang dari hidupnya yang seketika meredup begitu saja..

***

"Pagi Mbok.."

Sapa Anin dengan senyum di wajahnya yang masih pucat.

"Pagi Mbak Anin.. Mbak Anin ngapain keluar kamar?? Kalau butuh apa-apa tinggal panggil Mbok aja.."

Mbok Minah memang selalu khawatir dengan kondisi dari Anin, terlebih setelah Anin pulang dari rumah sakit.

"Saya udah ngga papa, Mbok.. Saya bosen kalau di kamar terus.. Mbok lagi ngapain??"

"Ohh.. Mbok cuma cuci piring bekas masak tadi.. Mbak Anin mau makan?? Mbok ambilin dulu.."

"Ngga usah.. saya bisa ambil sendiri kog.."

"Mbok udah di pesen sama Mas Yusuf kalau Mbak Anin ngga boleh banyak gerak.. Bentar ya.."

Mbok Minah segera mengambilkan nasi beserta lauknya. Sebenarnya Anin merasa tidak enak di perlakukan seperti ini oleh Mbok Minah. Tapi Mbok Minah itu sedikit keras kepala, apalagi jika sudah diberi amanah oleh Yusuf, sebisa mungkin Mbok Minah akan melakukannya tanpa kesalahan.

Anin menatap nasi beserta sup yang sudah ada di hadapannya sekarang.

"Mas Yusuf sendiri loh yang masak.. Padahal hari ini Mas Yusuf juga keburu pergi kekantor.."

Jelas Mbok Minah sambil membuatkan susu untuk Anin, sesuai pesan dari Yusuf.

"Iya.. Mas Yusuf yang masak ini semua. Bahkan yang goreng ayamnya juga Mas Yusuf. Waktu Mbok kasih saran supaya ayamnya masuk sekalian didalam supnya, katanya Mbak Anin ngga suka sama hal itu.. Makanya Mas Yusuf mau repot-repot goreng ayamnya biar Mbak Anin mau makan.."

Anin mencicipi sup yang masih hangat tersebut. Dia memejamkan matanya mencoba menghalau airmata yang serasa ingin jatuh dari sumbernya.

"Supnya juga tanpa merica sesuai sama seleranya Mbak Anin.."

Andai ini semua tidak pernah terjadi..

Pasti aku akan langsung menelponmu, mengucapkan beribu-ribu rasa terimakasihku padamu..

Mengucapkan beruntungnya aku memiliki suami sepertimu, Mas..

Anin mengusap perutnya. Dirasakannya gerakan aktif dari calon anaknya yang memang selalu aktif dipagi hari. Namun hari ini gerakannya lebih aktif, mungkin karena dia belum mendengar suara dari Ayahnya yang biasanya akan menyapanya sebelum berangkat kerja.

Anin segera menyuapkan nasi beserta lauk dalam diam. Dia hanya terus berandai-andai jika keadaannya tidak seperti ini, sudah pasti dia akan merasa menjadi istri paling bahagia karena merasa betapa beruntungnya dia mendapatkan suami seperti Yusuf. Namun semua tak lagi sama seperti dulu. Keadaan membuat semuanya menjauh dari kata bahagia.

Anin pun menutup acara makannya dengan meminum susu seperti kebiasaannya.

"Mbak Anin pengen makan buah?? Atau mau minum jus?? Tadi Mas Yusuf sempet buat jus alpukat sama potong buah apel.. Katanya itu camilan favoritnya Mbak Anin pas lagi santai.."

Tawar Mbok Minah setelah melihat Anin menyelesaikan makannya.

"Nanti aja Mbok.."

Jawab Anin sambil meletakkan piring, namun segera di raih Mbok Minah ketika melihat Anin akan mencucinya.

"Ngga usah Mbak.. biar Mbok aja.. mending sekarang Mbak Anin banyakin istirahatnya. Pasti dedeknya juga pengen tidur lagi.."

"Ya udah.. kalau ada apa-apa, saya ada di atap.. Terimakasih ya, Mbok.."

Sesaat Anin menghapus airmatanya setelah menaiki tangga menuju atap rumah yang sudah di penuhi bunga yang di tanam Anin. Rasa sakit menjalar begitu saja mengingat apa yang telah di lakukan Yusuf sejauh ini.

"Apa yang ingin kamu perjuangkan lagi dariku, Mas?? Kenapa kamu memperumit dirimu sendiri saat aku telah membebaskanmu untuk memilih?? Kenapa kamu membuat kadar keikhlasanku untuk melepasmu menjadi berkurang??"

Ucap Anin lirih sambil menatap lurus pemandangan yang ada didepan matanya. Jika Yusuf terus melakukan hal seperti ini terus terhadapnya, bagaimana dia bisa berlapang dada melepaskan Yusuf. Tapi dia juga tidak mau terus melanjutkan semua ikatan yang ada, karena dirinya saja sekarang sudah terlalu sakit walaupun sekedar melihat Yusuf.

***

Yusuf dengan wajah kusut menghampiri Anin yang sudah terlelap. Seperti biasa, dia hanya bisa mengamati Anin ketika Anin sudah tertidur. Harus diakuinya, jika dirinya terlalu pengecut untuk menghadapi Anin saat Anin sadar. Tapi ini semua dia lakukan, karena dia ingin menghindari kata pisah dari Anin. Apapun yang ingin dia katakan kepada Anin, akan selalu di akhiri kata pisah dan Yusuf tidak ingin mendengar hal itu lagi.

Katakan jika memang dia terlalu serakah ingin memiliki Anin saat dia sudah melukai Anin sedemikian parahnya. Namun dia sudah terlalu biasa dengan kenyamanan yang di berikan Anin dan dia tidak bisa melepasnya. Dia mengganggap bahwa Allah sedang menguji rumah tangganya, tapi mengapa keadaannya bisa separah ini. Apakah benar seperti yang di katakan oleh Anin, jika ikatan ini memang seharusnya dari awal tidak pernah terjadi. Tapi mengapa sampai sejauh ini jika memang ikatan antara dirinya dan Anin adalah keputusan yang salah. Apa sudah seharusnya dia relakan saja agar semua membaik, tanpa menambah luka yang ada.

"Apa aku harus benar-benar mengikhlaskanmu, Dek?? Haruskah aku merelakanmu?? Melepasmu pergi dari hidupku?? Membawa anak kita menjauh dariku??"

Yusuf tampak mengusap airmatanya, namun saat itu Anin sudah terbangun dari tidurnya. Seketika itu juga Yusuf nampak canggung mendapati istrinya yang telah menatapnya seperti itu. Dia tidak siap harus mendengar kata pisah dari Anin.

"Mas Yusuf.."

Segera Yusuf menolong Anin yang ingin bangun dari posisinya.

Lama mereka terdiam satu sama lain sampai Anin membuka suaranya.

"Apa semuanya memang harus sejauh ini, Mas?? Apa aku harus benar-benar merelakanmu??"

Tidak ada tanggapan dari Yusuf. Hanya airmata yang mewakili apa yang menjadi jawaban dari Yusuf atas pertanyaan yang Anin katakan.

"Kenapa kamu memaksa dirimu untuk terus bersamaku?? Mengapa kamu mempersulit dirimu saat kamu bisa memilih hal yang jauh lebih mudah dari semua yang kamu lakukan sekarang?? Mengapa kamu tidak mendengar kata hatimu saja dan lebih memilih egomu untuk tetap tinggal dalam ikatan ini?? Mengapa kamu membuatku semakin sulit untuk melepasmu, Mas??"

Setenang mungkin Anin mengungkapkan pertanyaan yang bahkan tidak bisa dijawabnya sendiri. Dan sekarang dia membutuhkan jawaban itu dari Yusuf.

"Maaf, Dek.. Maafkan aku, karena membuat semuanya berantakan seperti sekarang.."

"Aku ngga butuh kata maafmu, Mas.. Aku butuh jawabanmu atas pertanyaanku tadi. Sudah cukup aku mendengar kata maafmu, tapi kenyataannya itu hanya akan sekedar kata maaf saja. Bukankah begitu, Mas??"

"Karena aku tidak bisa menjanjikan apapun untukmu, Dek.. Yang aku tau sekarang, Mas hanya ingin kamu dalam hidupnya Mas bersama anak kita nanti. Mas ngga butuh siapapun. Mas hanya berharap kamu tetap disini, bukan untuk memperbaiki, tapi untuk memulai semuanya dari awal kembali. Mas ngga minta kamu untuk melupakan apa yang telah Mas lakukan, tapi Mas ingin semuanya kembali dari awal dan kita benar-benar akan melangkah kedepan.."

Jawab Yusuf mantap. Karena memang itulah yang dia inginkan saat ini. Dia tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk meyakinkan Anin bahwa dirinya menginginkan Anin sepenuh hatinya. Dan jika memang Anin masih bersikukuh dengan keputusannya saat itu, tetap ingin berpisah darinya, pada akhirnya Yusuf mengikhlaskan keputusan dari Anin. Bahwa mungkin itulah yang terbaik untuk mereka berdua, terutama Anin. Anin memang pantas memilih yang terbaik untuk dirinya sendiri tanpa perlu mencemaskan keadaannya. Yusuf pun juga tidak pernah menyalahkan akan semua yang telah Anin lakukan selama ini, karena ini semua dialah penyebabnya. Dia mengakui jika dirinya sumber dari masalah yang terjadi sekarang. Jika dirinya tidak terlalu bodoh mengikuti alur hatinya, pasti semua ini tidak akan terjadi. Setidaknya hubungannya dengan Anin tidak akan separah seperti sekarang.

"Haruskah seperti ini Mas hubungan diantara kita?? Haruskah kita melewati semua ini?? Tidak dapatkah kamu mengikhlaskan aku untuk pergi saja??"

Ucap Anin yang sudah terisak menahan semua airmata yang memang sedari tadi ingin lolos dari bendungannya. Dipeluknya Anin, dicobanya memberikan ketenangan terhadap istrinya tersebut.

"Andai aku lebih tegar lagi, mungkin aku tidak akan serapuh ini Mas untuk menghadapi semua ini. Jika saja kamu mengatakannya dari awal, mungkin hubungan kita tidak akan separah ini. Kamu terbiasa menutupi semuanya, tapi aku terbiasa menginginkan dirimu terbuka denganku. Menceritakan semuanya denganku, karena dengan begitu aku memang merasa jika diriku memang berarti untukmu, Mas.. Aku hanya ingin aku berarti dalam hidupmu. Senatural mungkin, Mas. Bukan karena kamu memaksakan dirimu mengartikan diriku dalam hidupmu.."

Mereka berdua akhirnya sama-sama menangis. Menangisi mengapa semuanya tidak sesuai dengan yang mereka mimpikan. Salahkah jika mereka menginginkan kata bahagia dalam ikatan yang mereka jalani. Keinginan sederhana, namun betapa sulitnya untuk mereka gapai dengan kondisi yang sekarang.

***

Yusuf masih setia memeluk Anin yang masih tertidur seakan tidak akan pernah melepaskan pelukan itu. Diamatinya wajah Anin yang masih terlihat pucat setelah 2minggu ini harus menjalani bedrest. Memang masih belum ada kata maaf secara resmi dari Anin untuk dirinya. Namun jika keadaannya seperti sekarang, Yusuf sedikit berlega hati. Setidaknya masih ada kesempatan untuknya mengawali semuanya bersama Anin. Tercetak jelas senyum di wajah Yusuf ketika memikirkan bahwa mungkin semuanya akan membaik. Di usapnya perut Anin dengan lembut. Dirasakannya gerakan aktif dari calon anaknya yang mampu membangunkan Anin seperti sekarang.

"Morning.."

Anin hanya mengerjabkan matanya lucu sambil terus memandangi siapa yang ada dihadapannya sekarang. Dia tidak lupa dengan apa yang terjadi tadi malam, dimana mereka berdua berbicara mengungkapkan isi hati masing-masing. Bahkan tadi pagi, mereka subuh berdua. Hal yang tidak terasa sudah lama tidak mereka lakukan bersama sejak kejadian itu yang mampu memporak-porandakan rumahtangga mereka.

Yusuf sangat bersyukur, karena setidaknya dia masih memiliki kesempatan untuk mengembalikan Anin di sampingnya. Ternyata Allah masih berbaik hati memberikan kesabaran lebih untuk istrinya memberikan waktu kepadanya, mengawali semuanya dari nol dengan langkah yang baru. Yusuf pun ingin semuanya berjalan dengan sewajarnya, dia tidak ingin gegabah untuk bersikap. Dia tidak ingin memaksa Anin dengan keinginannya kali ini. Sudah cukup dengan Anin mau menerimanya kembali. Dia benar-benar ingin membahagiakan Anin. Apapun itu.

***

Memang hubungan antara Anin dan Yusuf belum seperti sebelumnya, suasana yang hangat yang terdapat banyak senyum diantara mereka berdua. Namun keadaan seperti sekarang jauh lebih baik daripada hari-hari suram yang mereka lewati sebelumnya. Anin sudah mau kembali mengurus Yusuf di pagi hari seperti biasanya. Menyiapkan baju kantor untuk Yusuf, menyimpulkan dasi untuk Yusuf dan bahkan menemani Yusuf sarapan. Tapi Anin masih enggan untuk kembali di kamar mereka dan Yusuf menerima itu. Dipikirannya, mungkin Anin masih teringat dengan pertengkaran hebat yang terjadi di kamar mereka hingga Anin harus dilarikan ke rumah sakit karena pingsan saat itu.

Mengingat pertengkaran saat itu, jujur membuat rasa ngilu didada Yusuf. Dia juga merasakan sakit saat airmata Anin jatuh karena dirinya. Karena dirinya yang terlalu brengsek telah menyakiti Anin sedemikian rupa.

Tidak ada kata pisah lagi dari Anin. Tapi selama itu juga, Anin selalu bertanya sudah yakinkah dirinya dengan semua yang telah dipilihnya untuk tetap bertahan dengan ikatan yang ada. Dan Yusuf sudah yakin dengan apa yang dipilihnya saat ini. Dia sudah membiarkan hatinya begitu saja untuk merasakan rasa baru untuk mengganti semua rasa di masalalunya. Bukankah hal seperti ini jauh lebih baik daripada terus membiarkan hatinya hanya ada untuk masalalunya, bukan untuk masa depannya.

"Nanti kamu ada jadwal kontrol kan?? Mas temani ya??"

"Bukannya Mas lagi sibuk dikantor ya??"

Anin masih canggung untuk bersikap seperti biasa terhadap Yusuf.

"Hari ini Mas cuma meeting bulanan dan itu ngga lama, karena hanya melaporkan perkembangan proyek yang lagi di garap.."

"Terserah Mas aja kalau gitu.."

"Yaudah.. jadwalnya kaya biasanya kan?? Jam 3 sore?? Kalau gitu nanti Mas udah sampe sekitar jam setengah tiga.."

"Baik-baik ya, Nak dirumah. Tolong jagain Bunda pas Ayah lagi ngga ada.."

Seperti biasa Yusuf mengajak komunikasi calon anaknya. Bisa dia rasakan reaksi berupa gerakan kecil di telapak tangannya yang bersentuhan langsung dengan perut Anin.

Anin pun menyalim punggung tangan suaminya itu dengan khitmad. Sudah lama dia tidak melakukan hal itu terlebih Yusuf selalu mengakhirinya dengan ciuman di keningnya. Rasanya dia sudah merindukan momen bahagia yang selalu dia rasakan bersama Yusuf. Namun Anin masih mampu untuk menahannya. Untuk kali ini, dia ingin berhati-hati dengan perasaannya. Dia tidak ingin terlalu terbawa dengan suasana hangat yang tercipta sekarang. Biarlah semua berjalan dengan apa adanya.

***

16.30..

Jam digital yang melingkar ditangan Anin sudah menunjukkan pukul 16.30. Namun, Yusuf belum juga sampai dirumah sesuai janji. Padahal saat makan siang tadi, Yusuf sudah menghubunginya dan mengatakan bahwa dirinya akan segera pulang. Tapi sampai sekarang pun dia belum melihat Yusuf sekalipun. Anin juga tidak bisa bertanya dengan orang yang ada dirumah mengingat Mbok Minah sedang belanja bulanan dan Pak Agus dia suruh untuk menemani Mbok Minah, karena biasanya dirinya sendiri yang akan menemani Mbok Minah untuk belanja.

"Mas Yusuf kemana sih?? Kalau kaya gini kan, nanti bisa-bisa dokternya udah pulang.."

Anin kembali menatap jam digitalnya. Namun bila seperti ini, memang dirinya harus nekat berangkat sendiri ke rumah sakit.

"Kalau kamu memang sibuk, seharusnya kamu ngga perlu janjiin buat nganter aku, Mas.."

Anin segera mengambil tas beserta kunci mobilnya. Dia berinisiatif untuk menemui Yusuf dikantor, sekalipun mungkin dia harus bersiap mendapatkan omelan Yusuf yang tidak mengizinkannya untuk menyetir sendiri, tapi apa boleh buat, Pak Agus tidak ada dirumah dan terlebih dia juga terlalu malas untuk memesan taksi. Baginya, memesan taksi sama dengan dirinya sudah sampai di kantor. Di tulisnya pesan untuk Mbok Minah dan Pak Agus yang dia tempel di pintu kulkas bahwa dirinya berangkat untuk kontrol kandungannya.

"Bismillahirrahmanirrahim.."

Ucap Anin sesaat setelah memakai sabuk pengaman. Dinyalakan mesin mobil yang sudah lama terparkir begitu saja, karena memang dirinya jarang keluar sejak mengundurkan diri dari kantor.

Sambil sesekali mengusap perutnya, mencoba menenangkan anaknya yang begitu aktif hari ini. Memang harus di akui menjelang kelahiran yang tinggal menghitung hari, anaknya semakin aktif dalam pergerakannya membuat Anin sedikit kewalahan.

"Alhamdulillah, ya Allah.. Akhirnya sampai juga.."

Rasa lega memang terasa begitu saja saat Anin sampai di rumah sakit. Harus di akuinya bahwa dirinya sedikit grogi tadi saat mengendarai mobilnya sendiri. Padahal jika di ingat kembali bagaimana cara dirinya memyetir mobil, bisa di pastikan dia sudah terlalu expert jika hanya di bilang sekedar bisa menyetir mobil.

Tidak menunggu lama, karena sebenarnya ini sudah jam pulang dari dokter kandungannya. Tapi apa boleh buat, Anin sudah terlanjur ada di rumah sakit dan kebetulan Dr. Dira pun tidak keberatan untuk memeriksa Anin sebagai penutup jam prakteknya hari ini.

"Mau di USG lagi ngga??"

Tanya Dr. Dira setelah memeriksa tekanan darah dari Anin.

"Kayanya ngga usah deh, Dok.."

Jawab Anin sembari bangun dari tempat tidur dan mengikuti Dr. Dira menuju meja kerjanya.

"Pak Yusuf nya tumben ngga nemenin?? Biasanya Pak Yusuf sendiri yang paling excited sama pemeriksaan kandungan anda.. Terlebih anda baru keluar dari rumah sakit.."

"Mas Yusuf kayanya lagi sibuk, jadi ngga bisa nemenin.."

Dr. Dira pun hanya mengangguk saja sembari menulis resep obat untuk Anin.

"Tekanan darahnya, Alhamdulillah udah di ambang normal. Trus kondisi dari ibu maupun calon anaknya sendiri juga lebih baik dari pemeriksaan terakhir. Semuanya baik.."

Dr. Dira menyerahkan resep obat kepada Anin yang langsung di terima Anin dengan senyumnya.

"InshaAllah, kalau ngga meleset.. sesuai dengan perkiraan semula, mungkin sekitar 2 minggu lagi anda akan melahirkan.. Jadi, tolong persiapkan mulai sekarang ya. Perbanyak latihan pernafasan dan sedikit melakukan gerakan kecil, seperti jalan-jalan di pagi hari. Itu akan sangat membantu sekali dalam proses bersalinnya nanti.."

"Terimakasih, Dok.. Kalau gitu, saya pamit sekarang.. Assalamualaikum.."

"Waalaikumsalam.. Hati-hati.."

Sambil terus tersenyum, dia mengusap perutnya tidak sabar menantikan hari dimana anaknya akan lahir ke dunia. Betapa senangnya dirinya, karena Allah telah mengirim satu anugerah lagi kedalam hidupnya yang menambah kebahagiaan untuk dirinya.

Di saat itu juga, Anin melihat Yusuf sedang terburu mendorong tubuh seseorang dari ruang perawatan menuju ruang ICU. Bisa dia pastikan bahwa orang tersebut adalah Fahira, karena di belakang Yusuf sudah ada Fina yang memang akan selalu ada untuk Fahira. Ntah mengapa rasanya begitu egois jika dia marah untuk sekarang, tapi mau apalagi. Dirinya sudah terlanjur sakit hati lagi untuk kesekian kalinya. Di saat hatinya belum sembuh benar, Yusuf dengan segala resiko menambah rasa sakitnya seolah tidak peduli dengan apa yang pernah dia ucapkan. Dia sendiri yang mengatakan jika dirinya ingin bersama dengan Anin dan Anin sudah memperingatkan Yusuf jika Yusuf masih mempunyai kesempatan untuk mengubah keputusannya tersebut. Namun Yusuf tidak mempedulikannya, dia keras kepala dengan keputusannya sendiri yang justru malah menambah rumit masalah yang ada sekarang.

Segera Anin meninggalkan rumah sakit dengan airmata yang tidak mau berhenti meskipun berulang kali Anin menghapus jejak airmatanya. Di lajukan mobilnya secepat mungkin tidak peduli akan hujan yang sedang turun dengan derasnya seakan mewakili isi hatinya sekarang yang tidak mampu dia gambarkan lagi begitu hancur semua yang ada.

BRAAKKKK...

Terasa mobilnya mendapat tekanan dari belakang yang membuat semuanya tak terkendali. Sekeras mungkin Anin mengendalikan mobilnya, namun usahanya terasa sia-sia karena sekarang dia sedang terbanting sekeras-kerasnya bersama mobilnya. Dirasakannya darah segar mengalir melewati wajahnya. Dia tidak peduli dengan keadaannya, yang dia pikirkan sekarang adalah anak dalam kandungannya. Diusap perutnya tersebut dengan tenaga yang masih tersisa didirinya, berusaha menguatkan anaknya dan juga dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Tenang ya, Nak.. Kamu harus bertahan demi Bunda.. Kamu juga sayang sama Ayahkan??"

Anin masih berusaha mengusap perutnya yang sekarang sudah terasa nyeri hebat dari sana.

"Laa ilaaha illa Allah.."

Ucap Anin lirih sebelum akhirnya kesadarannya hilang.

***