webnovel

Nightmare Cinderella

Sebagai anak pungut dari keluarga Rexton, Ellina Aracelia Azzuri tak hanya menggantikan Adik angkatnya dalam pernikahan, tapi juga di dorong hingga dasar jurang. Di hianati keluarganya sendiri hingga mati di bawah hewan peliharaan Suaminya sendiri. Dengan semua kenyataan pahit itu, suaminya sama sekali tak menatapnya hingga mati. Hingga saat matanya terbuka kembali, ia berada di waktu tujuh tahun sebelum semua kejadian itu terjadi. Dia di lahirkan kembali, untuk menebus semua kesalahan dalam hidupnya. Berharap lepas dari takdir suram dan hidup bahagia tanpa beban. "Aku harus lari sejauh mungkin darinya, karena aku tak ingin kematian yang sama." -Ellina Aracelia Azzuri- "Kau hanya akan hidup dalam genggamanku. Tak peduli apapun, meski aku harus menguncimu seperti boneka dalam kaca, merawatmu hingga tua, atau harus membalikkan seluruh dunia. Aku tak akan membiarkanmu meninggalkan aku!" -Kenzie Alexis Reegan- ©Copyright 2019 All story by = Ellina Exsli / Queenbe_exsly DON'T COPY MY STORY!!!

Ellina_Exsli · Urban
Not enough ratings
96 Chs

Kesalahan atau kejutan?

Typo dan kata-kata belum di revisi.

Happy reading.

****

"Ellina. Itu benar dirimu?"

Tubuh Ellina menegang hebat dengan kilatan bayangan masa lalu yang kelam. Kilatan benci dan takut tercampur jelas dengan rasa sakit yang nyata. Ia pikir,  ia telah siap dengan segalanya. Namun rasa takut dari kematian yang lalu terbayang jelas.

Kau kotor dan menjijikkan!

Menjijikkan!

Kotor!

Dan menjijikkan!

Ulangan kata itu terus teringat dengan tatapan matanya yang terpaku pada bibir tipis pria yang masih menggenggam tangannya. Ketampanan dan sorot mata dingin itu menembus jantungnya. Meremukkan setiap ingatan dan kenangan yang menyakitkan.

Lalu kenapa jika aku kotor! Kenapa jika aku menjijikkan?!

"Jangan menyentuhku," tekan Ellina dingin tanpa sadar. Ia menarik tangannya kasar dan menghempaskan tangan Kenzie cepat. Lirikan benci ia lontarkan sebelum tubuhnya merosot memasuki mobil Lykaios yang masih terbuka. "Lykaios,  aku ingin pergi."

Jangan menyentuhku! Kata-kata ketus itu terngiang di telinga Kenzie. Ia hanya mematung menatap tangannya yang di hentakan secara paksa. Kilatan marah dan muak tergambar di wajah gadis cantik di hadapannya. Sebelum akhirnya tubuh itu masuk ke dalam mobil.

"Aku belum selesai," ucapnya menahan rasa kesal yang mulai memuncak. Ia menatap Ellina dengan satu tangan menahan pintu mobil agar tak tertutup. Ia menundukkan kepalanya, memandang wajah Ellina dari dekat. "Satu tahun menghilang dan kembali seakan kau tak pernah melakukan sesuatu."

Tubuh Ellina kembali menegang dengan kepala yang berusaha mundur saat aroma mint yang tercampur pinus dengan sentuhan aroma lembut lain itu menyapa hidungnya. Demi apapun, ia tak akan menyangka jika Kenzie akan menahannya dengan jarak wajah sedekat ini. Mata tenang itu, alis tebal itu dan ekspresi dingin itu. Tak ada yang berubah. Ia bahkan bisa mengingat wajah pria di hadapannya meski kematian datang untuk kesekian kalinya.

Entah karena kehidupan tujuh tahun lalu yang ia habiskan untuk menjadi istri yang baik. Hingga begitu mengidolakan suaminya meski ia tahu semua tak ada yang berubah. Ia sangat mengenali setiap lekuk wajah suaminya. Ekspresi, atau apapun tentang dirinya. Namun satu hal yang tak pernah ia tahu, bahwa dalam kehidupan kali ini, ia bisa menatap wajah suaminya sedekat ini.

"Terpaku?"

Saat suara dingin itu terlontar, mata Ellina menatap bibir tipis yang bergerak pelan dan kembali terkatup. Ia merutuki kebodohannya karena mata dingin itu menghujam pandangannya. Ia tersadar, tak ada yang berubah dari pria di hadapannya. Lalu kenapa ia masih terpaku pada kenangan bodoh yang membelenggu. Bukankah ia harus menjauhi pria ini?  Dalam kehidupan ini, pria yang pernah menjadi suaminya adalah orang yang harus ia jauhi dan tak kenali. Ia tak boleh terjebak dalam takdir yang sama.

"Aku?" refleks,  tawa tipis terukir di bibir Ellina. Ia menutup matanya sesaat sebelum akhirnya menatap nyalang pada wajah di hadapannya. "Apa kau pikir kau begitu mempesona?"

Kenzie terdiam. Matanya menatap lekat bibir tipis yang bergerak mengeluarkan suara ringan. Lalu pada gerakan halus di sekitar mata cantik itu yang membuat mata tersebut tertutup sebelum akhirnya kembali menatapnya. Gadis di depannya,  bukan hanya menolaknya tapi begitu sombong dan memuakkan.

"Aku ingin bicara padamu,"

Ellina mengernyit. "Tak ada yang ingin aku bicarakan,"

Kenzie menahan amarahnya. Ia sudah cukup bersabar dengan kata-kata baik yang bijak. Tapi gadis di depannya benar-benar menguras emosinya. "Aku tak peduli, aku butuh bicara denganmu!"

Lykaios yang sedari tadi hanya menonton kini mulai turun tangan. Ia awalnya ingin melihat dan memperkirakan kata-kata Alvian sebelumnya.  Ia juga sangat tahu Kenzie dengan baik. Hingga ia membiarkan keduanya berbicara dengan cara mereka. Namun saat ia melihat kilatan emosi yang dalam di mata Kenzie, ia tak bisa tinggal diam. Bagaimanapun mereka memiliki pekerjaan yang belum selesai.

"Tunggu, kurasa kalian bisa berbicara nanti,"

Kenzie menoleh,  menatap Lykaios dingin. Itu lebih seperti peringatan agar Lykaios diam di tempat.

Saat melihat itu, Lykaios akhirnya memilih diam. Ia harus berhati-hati agar tak menyinggung Kenzie. Lagi pula, ia merasa keduanya sangat aneh dan memang harus memiliki waktu untuk bicara.

"Ikut aku!" tanpa banyak kata, Kenzie meraih dan menarik tangan Ellina. Hal itu membuat Ellina terkejut dan refleks mengikuti tangannya.

"Tak ada yang ingin kubicarakan padamu. Lepas, tolong--"

Dalam satu hentakan, tubuhnya telah terseret dan merosot memasuki sebuah mobil hitam. Ia tersungkur, baru akan bangkit untuk keluar, namun tubuh tegap di luar mobil diam menatapnya. Tanpa kata, tanpa ekspresi, hanya tatapan tajam yang terus menghujam. Sontak hal itu membuatnya diam. Nyalinya menciut hingga kenangan lama itu muncul.

Orang ini! Adalah orang yang membuatku mati tujuh tahun lalu!

Lalu bagaimana kini akhirnya dia bisa berada dalam mobil pria yang harus ia jauhi? Bagaimana dalam kehidupan ini semua menjadi tak terarah hingga ia tak tahu harus bertindak? Bagaimana dalam kehidupan kali ini, ia masih saja berputar di takdir yang sama? Apakah ini lelucon? Tidak, ia tak boleh berakhir mati dengan cara yang sama!

"Diam atau aku mengikat kakimu,"

Suara nan dingin itu terdengar pelan namun penuh penekanan. Sorot mata tajam yang tak teralihkan dengan ekspresi yang tak berubah. Ketampanan seakan menghilang atau dia memang tercipta dengan ketampanan yang dingin. Lebih dari itu semua, tubuh Ellina menegang kaku dan tak berani bergerak saat perintah itu turun. Ia hanya bisa menurut hingga akhirnya pintu mobil tertutup dengan lambaian tangan Lykaios yang terlihat samar.

Entah perasaannya atau memang mobil mewah itu terasa bagaikan balok es yang ia duduki. Membuatnya mengeluarkan keringat dingin dengan detak jantung yang berpacu cepat. Lagi dan lagi,  bayangan ketakutan dari auman binatang buas itu terdengar nyata. Ia merasa dunia berputar namun saat sebuah tangan asing menyentuh keningnya,  ia menoleh dan dihadapkan dengan wajah pria yang membuatnya mengalami ini semua.

"Kau ketakutan?"

Hening! Ellina tak menjawab selain hanya gerakan ringan dari tubuhnya yang menjauhi tangan Kenzie.

"Aku tak akan memakanmu, jadi kau tak perlu ketakutan!"

Dua mata Ellina berkedip pelan saat mobil itu melaju. Ia bisa melihat Kenzie kembali diam setelah mengeluarkan beberapa kata yang sempat tak ia percaya. Dari itu semua,  ia mulai merasa napasnya tak lagi sesak. Dan rasa waspada yang mulai menurun dengan tubuh yang mulai bersandar rileks.

"Kemana kau selama ini?"

Tubuh Ellina tersentak pelan saat pertanyaan tiba-tiba itu kembali menyapanya. Ia menoleh kaku dan di hadapkan dengan tatapan Kenzie sekilas, sebelum akhirnya  pria itu kembali menatap jalanan.

"Apa aku mengagetkanm?"

Kali ini Ellina terpaku. Ia tak tahu harus berkata apa. Tidak,  ini pertama kalinya ia mendengar Kenzie bertanya atau mengatakan sesuatu yang lebih dari lima kata.

Apakah aku bermimpi? Apakah ini berkah?

"Kini kau bisu?"

Ellina tersadar. Matanya berkedip-kedip pelan sebelum akhirnya menatap wajah pria di sampingnya. Bibirnya terasa kelu,  namun ia mulai bisa merasakan bahwa rasa takutnya telah berkurang.

"A-aku,"

Tak ada kata-kata yang dapat Ellina ucapkan. Selain kata terpatah dan ia bingung harus mengatakan apa. Hal itu membuat Kenzie melirik sesaat sebelum akhirnya mobil mereka terhenti di sebuah tempat yang sepi.

Menyadari deru mobil yang terhenti, Ellina menatap waspada sekelilingnya. Ia terlihat bingung saat menyadari bahwa mereka berhenti di area tepi pantai. Merasa aneh,  ia menoleh dan dihadapkan dengan tatapan Kenzie yang masih saja tajam.

"Ke-kenapa kita berhenti di sini?"

Mendegar itu, Kenzie hanya bisa diam.

"Aku harus pergi," ujar Ellina dengan gerakan tangan cepat mencoba membuka pintu mobil.

Namun tangan Kenzie jauh lebih cepat. Ia menahan tangan Ellina hingga akhirnya tubuh mereka kembali berdekatan. Satu tangan lainnya mengunci pintu mobil hingga Ellina membeku di tempat. Dalam beberapa saat ia bisa melihat wajah Ellina yang begitu dekat dengan wajahnya. Ia bisa melihat lentiknya bulu mata gadis di hadapannya dengan suara detak jantung dan napas yang tak teratur.

Ia takut!

Kenzie masih saja diam dalam posisi yang sama. Di mana tubuh mereka saling berdekatan. Ia bisa melihat dengan jelas. Bagaimana gadis di depannya sangat waspada dan takut padanya. Ia bisa melihat dengan sangat jelas, saat dua bola mata jernih itu tertutup dengan tangan mengepal erat. Ia bisa menyadari,  betapa gadis di depannya sangat berhati-hati dan selalu mencoba menjauhinya.

Kenapa? Kenapa kau seperti ini padaku!

Ellina sama sekali tak bergerak sejak tubuh Kenzie telah condong ke depan tubuhnya. Tanyannya masih memegang ganggang pintu mobil kaku. Tak bergerak dan tak bergeser. Ia bisa merasakan rasa takut dan waspada yang meningkat secara otomatis saat tubuh pria itu mendekat. Namun ini lebih dari lima menit,  dan tak ada yang terjadi. Hingga akhirnya ia membuka matanya secara pelan.

Hal utama yang ia tangkap adalah lengkungan bibir tipis yang mengatup sempurna. Lalu mata tajam yang menatap matanya dengan bingkai alis tebal yang tak beraturan. Ekspresi yang tak berubah dengan hidung menjulang dan garis wajah yang tegas. Ia harusnya adalah pria yang sempurna! Tidak, ralat. Dia memang sempurna. Ketampanan yang sangat sempurna, namun kenapa hal itu membuatnya waspada?

Lebih dari itu semua.

Tatapan mereka bertemu! Saling beradu dengan gerakan napas yang normal. Tak ada yang mencoba bicara.  Hanya saling memandang dan menatap dalam. Satu menit,  lalu berubah menjadi dua menit. Tiga menit lalu beralih ke menit selanjutnya. Tak ada yang coba bicara, tapi dari itu semua. Hal yang tak di sadari adalah tubuh Ellina tak lagi tegang dengan rasa takut yang meningkat.

Kenangan lama itu seakan menghilang. Rasa takut akan kematian itu seakan pudar. Hingga detak jantungnya berdetak normal dengan keringat dingin yang tak lagi keluar. Saat menit ke sepuluh berlalu, mata Ellina berkedip pelan. Hal itu membuat Kenzie terpaku kala bibir tipis di depannya terbuka pelan.

"Ak-u, hmmmmpp--"

Mata Ellina terbelalak lebar saat tiba-tiba mulutnya terbungkam dengan bibir tipis asing yang menempel di atas bibirnya. Terasa dingin, asing dan deru napas yang membuatnya akrab dengan aroma yang sama. Ia tak berani bergerak. Begitu pun pria di hadapannya. Bibir mereka saling menempel tanpa ada salah satu yang mencoba mengakhirinya.

Kenzie merasakan aroma lembut yang terasa asing untuknya. Ia bisa merasakan bagaimana tubuh gadis di bawahnya menegang kaget.  Saat melihat bibir tipis itu terbuka,  nalurinya menuntunnya untuk menutupnya dengan bibirnya. Ia tak menyadari hal yang ia lakukan,  tapi ia pikir itu tak buruk.

Saat ia mulai merasakan tubuh Ellina berusaha menjauh,  tangannya menahan tubuh gadis itu hingga akhirnya ia kembali diam. Ia menahan kepala gadis itu agar tak bergerak saat perlahan ia membuka bibirnya dan mencoba merasakan bibir gadis di hadapannya. Merasa tak mendapat respon dan berakhir pada penolakan, ia akhirnya mengigit bibir gadis itu hingga rasa anyir terasa di lidahnya. Untuk beberapa saat mereka terlibat dalam ciuman dalam namun ringan.

Tiga menit berlalu saat dua bibir itu akhirnya terpisah. Kenzie menatap wajah Ellina yang memerah dengan mata yang terpejam dan detak jantung yang dapat ia dengar. Napas mereka saling memburu,  namun matanya terpaku pada luka di bibir Ellina. Tangannya  bergerak pelan menyentuh bibir itu. Menyentuh luka yang  memerah karena ulahnya.

"Apakah sakit?"

Bagaikan tersambar petir, kesadaran Ellina kembali tiba-tiba. Matanya terbuka cepat dan kembali di hadapkan dengan wajah Kenzie yang masih menatap bibirnya. Ia bisa merasakan tangan pria itu menyentuh bibirnya yang terluka. Namun bukan hal itu yang ia permasalahkan.  Masalahnya adalah ia tak bisa percaya,  bahwa pria di hadapannya baru saja mengkhawatirkan keadaannya. Bertanya dengan nada lembut dan pandangan teduh yang tak pernah ia dengar dan lihat selama ini.

Apakah aku bermimpi?

Masih terpaku,  Ellina sama sekali tak bergerak saat tangan Kenzie mengusap bibirnya lembut. Matanya menatap tak percaya pada mata Kenzie yang melihat wajahnya dengan tatapan lembut yang terasa asing di matanya. Tidak, ini adalah pertama kalinya. Ini adalah pertama kalinya selama ia hidup,  pria di hadapannya bertanya lembut dan bersikap manusia pada umumnya.

"Apakah kita perlu ke rumah sakit?"

Lagi! Pertanyaan lembut itu membuat Ellina terusik. Ia tergagap dan sontak menggeleng cepat. "A-aku baik-baik saja,"

Kenzie terdiam. Ia menatap bibir yang ia sentuh itu bergerak pelan sebelum akhirnya terkatup kembali. Dua sudut bibir Kenzie tertarik ke atas secara pelan. Membuat bibir tipisnya melengkung sempurna dengan senyuman yang membuat wajahnya menjadi bersahabat.

Namun hal itu bagai petaka bagi Ellina. Tidak,  ia tak pernah melihat Kenzie tersenyum sebelumnya. Ini adalah pertama kalinya. Dan demi apapun,  itu menjadi hal yang mengejutkan juga mengerikan!

Apakah baru saja dia tersenyum padaku?

***