webnovel

Nightmare Cinderella

Sebagai anak pungut dari keluarga Rexton, Ellina Aracelia Azzuri tak hanya menggantikan Adik angkatnya dalam pernikahan, tapi juga di dorong hingga dasar jurang. Di hianati keluarganya sendiri hingga mati di bawah hewan peliharaan Suaminya sendiri. Dengan semua kenyataan pahit itu, suaminya sama sekali tak menatapnya hingga mati. Hingga saat matanya terbuka kembali, ia berada di waktu tujuh tahun sebelum semua kejadian itu terjadi. Dia di lahirkan kembali, untuk menebus semua kesalahan dalam hidupnya. Berharap lepas dari takdir suram dan hidup bahagia tanpa beban. "Aku harus lari sejauh mungkin darinya, karena aku tak ingin kematian yang sama." -Ellina Aracelia Azzuri- "Kau hanya akan hidup dalam genggamanku. Tak peduli apapun, meski aku harus menguncimu seperti boneka dalam kaca, merawatmu hingga tua, atau harus membalikkan seluruh dunia. Aku tak akan membiarkanmu meninggalkan aku!" -Kenzie Alexis Reegan- ©Copyright 2019 All story by = Ellina Exsli / Queenbe_exsly DON'T COPY MY STORY!!!

Ellina_Exsli · Urban
Not enough ratings
96 Chs

Biarkan aku menangani untukmu.

Pary belum di revisi.

Typo bertebaran.

Happy reading.

***

Maple Villa tampak hangat malam ini.  Lykaios, Alvian, Nero, Ethan dan Ernest tengah duduk di ruang tengah dengan secangkir teh hangat di tangan masing-masing. Ketukan lantai terdengar saat langkah kaki menuruni tangga. Itu Ellina, dengan pakaian santai yang baru saja mandi lalu turun untuk membicarakan proyek yang akan ia tangani.

Semua mata menoleh untuk melihat asal suara. Senyum Ellina terkembang membuat riak bahagia di wajahnya. Ernest bangkit menuju Ellina. Menaiki beberapa anak tangga lalu mengulurkan tangannya dan Ellina menerima itu langsung.

"Terimakasih,"

"Hati-hati, kau tak perlu berlari."

Mereka berdua turun dari tangga bersama.  Senyum Ernest terkembang.  Tapi itu menjadi terlihat memuakkan untuk empat pria yang duduk di tengah ruang tengah. Mereka berempat menjadi kesal dengan seluruh perlakuan Ernest pada Ellina. Namun mereka tak dapat mengungkapkannya karena Ellina sendiri terlihat nyaman.

Dengan posisi duduk, Nero menarik satu bangku yang paling dekat dengannya. Alvian yang duduk di antara bangku Nero sangat menyetujui itu. Langkah Ellina sampai di ruang tengah dan genggaman Ernest tak juga terlepas. Saat ia hendak duduk di bangku yang Nero siapkan, Ernest mengeratkan genggaman tangannya. Kepalanya menggeleng saat Ellina menatapnya.

"Tidak, aku harus melihat dengan jelas bagiamana kau membuatnya."

Satu langkah lagi Ernest membawa Ellina untuk duduk di bangku yang bersebelahan dengannya. Dan alasan itu kian membuat empat orang lain di sana muak. Alvian, Nero, Lykaios dan Ethan hanya menatap Ernest penuh permusuhan.

Bisa-bisanya dia memonopoli Ellina untuk dirinya sendiri!

Dia sengaja melakukan itu untuk memberi tahu bahwa dia lebih akrab dengan Ellina dari pada diriku, ya?

Oh, sepertinya dia benar-benar memperlakukan Ellina dengan berbeda. Mau bagiamana lagi, lagi pula aku telah mematahkan kartuku.

Aku tak tahu masalah Tuan Muda dengan para Tuan-tuan disini. Tapi kenapa aku merasa itu sedikit menyebalkan?

Ellina duduk dengan patuh. Lalu terpaku saat Ernest mengeluarkan sebuah laptop mode terbaru. Begitupun juga dengan empat pria yang duduk di hadapannya.

"Kupikir itu akan cocok untukmu."

Ellina menoleh, "Ini ...."

"Apakah kau benci warnanya?" tanya Ernest lirih. "kupikir, semua wanita menyukai warna yang lembut." lanjutnya lirih. Lalu dia kembali menatap Ellina dengan tersenyum. "Jika kau tak suka, aku bisa membelikan yang baru. Warna apa yang kau sukai? Zacheo akan mengantarkan langsung."

Ellina menahan tangan Ernest  yang baru saja menggeser laptop di hadapannya. "Tidak," ujarnya menggeleng. "Aku menyukainya." Ia tersenyum lebar, dengan mata menatap Ernest tulus. "Terimakasih."

Ernest terdiam sesaat. "Kau tak harus memaksakan--"

"Ernest, hentikan. Kau tahu aku selalu memakai semua hal yang kau berikan," potong Ellina yakin. "Kau selalu memiliki pilihan yang bagus. Dan aku benar-benar menyukainya."

Ellina membuka laptop dan menghidupkannya. Ia tersenyum tipis lalu tangannya mulai bergerak bebas di atas keyboard. Sedangkan lima pria yang tak jauh darinya, hanya menatapnya tanpa berkedip.

Menyadari tak ada suara, Ellina mendongak untuk kembali menatap. "Mari bekerja,"

Alvian tersenyum tipis. "Hei, tidakkah kau harus menjelaskan ini padaku?"

Kini empat pria yang duduk di sana menatap Alvian tak mengerti.

"Apa?" tanya Ellina juga tak mengerti.

"Kau mengajakku untuk bekerja pada perusahaannya?" Alvian menunjuk wajah Ernest lalu kembali melanjutkan. "Kau ingin aku memghianati keluarga Reegan?"

"Kau bisa keluar jika mau. Aku tak memberatkanmu di sini. Kau disini tak di bayar, oke?"

"Ellina benar," sahut Nero setuju dengan kata-kata Ellina.

Mata Alvian mendelik tak suka. "Hei, Bagiamana kau bisa memperlakukanku seperti ini? Bagaimana juga kau bisa membawa Lykaios?"

Lykaios merasa terpanggil. Ia menepukkan tangannya di atas meja. "Aku tak keberatan. Meski aku memiliki perusahaanku sendiri, aku tak masalah bekerja dengannya." tatapan Lykaios terkunci pada Ellina dan tersenyum.

Wajah Alvian kian kesal. Ia menunjuk Ellina. "Bagaimana kau melakukannya? Apa kau menyihir Lykaios?"

"Pergi sekarang!" seru Ernest tak suka pada Alvian. "Aku tak peduli kau sepupunya atau anggota keluarga Reegan. Aku tak akan menerima orang-orang yang tak menghargai permataku!"

Alvian bangkit lalu menunjuk Ernest suka. Wajahnya terlihat marah dengan mata berapi-api. "Baiklah, kau menang. Aku akan bergabung."

Semua orang menganga saat melihat Alvian kembali duduk lalu membuka laptopnya. Itu, mereka berpikir bahwa akan ada perang. Namun semua selesai karena Alvian terlihat sibuk dengan laptopnya.

"Siapa yang peduli pada perusahaan Reegan. Aku bahkan tak peduli sedikitpun," gerutu Alvian dapat di dengar yang lainnya.

Suasana kembali hening. Mereka semua tampak serius dengan laptop masing-masing. Secara rinci Ellina telah membagikan semua tugas masing-masing. Mereka hanya harus bekerja sesuai permintaan Ellina lalu Ellina akan mengambil sisanya. Dan semua itu,  akan bekerja saat hari mulai gelap. Saat mereka semua usai dari jadwal kuliah dan kesibukan.

Di lain tempat, Lexsi mengeratkan genggaman tangannya. Ia menjerit histeris saat melihat video Ellina itu menyebar luas. Tidak, ia bahkan telah memastikan bahwa gadis itu memang benar-benar Ellina. Ia bahkan tahu bahwa Ellina juga mengunjungi kampus.

"Ini sudah sangat lama. Kenapa dia kembali? Kenapa dia baik-baik saja? Harusnya dia telah berada di neraka!"

Teriakan histeris kembali terdengar di iringi barang-barang yang terlempar. Dia sangat ketakutan sekarang. Tapi juga merasa benci hingga ingin mati. Ia sangat tahu bahwa ia telah mekakukan semua hal untuk memotong jalan Ellina. Tapi sekarang apa?

"Kenapa dia kembali? Bagaimana dia bisa kembali!"

Teriakan itu terdengar kian keras. Bahkan ia tak sadar telah terluka oleh barang-barangnya yang pecah. Untuk sesaat dia lupa siapa dirinya. Dan merasa dunianya runtuh hanya karena kehadiran Ellina.

"Bagaimana bisa! Bagaimana bisa dia memiliki orang kuat yang berpihak padanya. Tidak, dia tak pernah mengatakan itu padaku dulu. Tapi sekarang? Kenapa? Bagaimana dia bisa kembali!"

Dia jelas mengingat wajah Ernest yang melindungi Ellina dengan sangat baik di video pertengkaran itu. Dia juga sangat tahu siapa Ernest sebenarnya. Dia juga tahu banyaknya gadis yang mendekati Ernest dan tak ada yang berhasil satupun. Pria itu terlihat sangat tampan dan ramah. Tapi siapapun juga tahu batasannya. Mereka tak akan melangkah lebih dekat saat melihat senyum Ernest terkembang dan itu mungkin akan berakhir bencana dalam hidup mereka.

Kepalan erat tangannya terlalu kuat hingga membiru. Lexsi sangat berantakan saat melihat sebuah video yang menampilkan kedatangan di kampus. Ia bisa melihat dengan jelas. Bagaimana semua mata menatap Ellina penuh terpesona. Bagiamana kecantikan Ellina terlihat segar dan berbeda.

Ini adalah momen yang paling ia benci. Dimana dia harus menyaksikan bahwa semua mata yang menatap Ellina memandang penuh takjup. Itu seperti dunia hanya bergerak dibawah kakinya. Tak ada pesona lain yang dapat mematahkannya hingga akhirnya ia selalu melakukan itu dari dulu. Membuat Ellina terlihat buruk di depan publik. Agar ia menjadi satu-satunya gadis di keluarga Rexton yang pantas dan mengalihkan perhatian publik.

Tapi sejak malam itu semua berbeda. Ia masih mengingat,  bagaimana Ellina mulai membantah semua hal yang ia lakukan. Biasanya gadis itu akan menurut dengan bodohnya. Ia masih bisa mengingat, bagaimana gadis itu melucuti make-upnya dan membiarkan seluruh dunia tahu akan wajah cantiknya. Lalu akhirnya menjadi pusat perhatian seluruh kalangan. Ia juga masih mengingat,  dimana Kenzie dengan tegas memilih Ellina. Hanya Ellina! Dia tercampakkan meskipun berusaha sekuat tenaga agar lebih baik dari Ellina.

Dan akhirnya cara itu dia lalukan. Untuk mendapatkan semua hal yang ia inginkan. Ia bisa terbang tinggi tanpa batas. Mendapatkan semua hal yang ia inginkan. Bahkan ia akan menikah dengan pria yang ia cintai. Tapi kenapa? Saat semua hal belum berjalan sebagaimana mestinya, gadis itu kembali muncul sekarang? Itu baru hari ini. Baru satu hari,  dan dia telah menjadi bahan utama pencarian di seluruh publik. Bukankah itu sangat menyebalkan?

Ia masih terduduk di lantai, dengan tatapan kosong. Sebelum suara langkah mendekat menyadarkannya akan sesuatu. Itu Vania, ibunya. Yang terlihat sangat khawatir saat melihat lengannya terluka.

"Ya Tuhan! Lexsi, apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?"

Lexsi menatap langkah ibunya yang mendekat.  Mendekap tubuhnya dan menangkup kedua pipinya. Perlahan air matanya mengalir. Ia sangat takut sekarang. Tapi juga sangat membenci hingga ingin membunuh seseorang.

"Dia kembali," ujarnya lirih. Sangat lirih di antara detak jantungnya yang memburu. Ia bahkan tak merasakan sakit di lengannya yang terluka. Ua hanya ingin merasa membunuhdan membawa Ellina hingga ke dasar lautan.

Mata Vania terbuka lebar. Ia menatap putrinya dengan prihatin. "Siapa?"

Mendapati pertanyaan itu, bibir Lexsi bergerak sedikit. Menampilkan senyum tipis yang terlihat seperti senyum putus asa. "Ellina," ujarnya pelan. ".... Ellina Aracelia Azzuri."

Tubuh Vania sama membekunya dengan Lexsi. Ia bahkan butuh beberapa detik untuk mencerna kata-kata putrinya. Urat di seluruh tubuhnya menegang. Ia menatap mata anaknya yang menangis. "Bagaimana bisa? Bukankah kau sudah memastikan? Bahwa dia telah usai,"

Lexsi mengangguk. "Tapi dia kembali, Ma. Dia kembali."

Jeritan pelan terdengar dengan isakan ketakutan. Lexsi memeluk lututnya dan tubuhnya sendiri. "Bagaimana jika dia mengetahui semuanya? Bahwa akulah yang telah melakukan kesalahan padanya? Bagaimana jika Ayah tahu? Tidak, bagiamana jika Kenzie ingin semua dibatalkan?"

Vania menggeleng dan meletakkan satu jari telunjuknya di bibir Lexsi. Lalu memastikan bahwa pintu kamar anaknya terkunci. Ia menatap tubuh Lexsi yang bergetar. "Tidak, itu tak akan terjadi. Itu tak akan terjadi,"

"Bagaimana jika aku harus kehilangan semua yang kumiliki?" tanya Lexsi lirih dan iba.

Vania menggeleng dan memeluk anaknya.  "Tidak. Kita bisa melakukannya lagi. Kita bisa melakukan apapun agar dia berhenti."

Lexsi menggeleng. "Itu tak mungkin, Ma."

Vania menangkup pipi Lexsi penuh kasih sayang. Air matanya ikut menetes merasakan emosi yang bergejolak di tubuh anaknya. "Itu tidak akan terjadi. Percayakan semua pada Mama.  Kau tak perlu khawatir. Kau akan tetap bisa berdiri dengan nyaman."

Ketakutan berkilat di mata Lexsi. "Bagaimana jika dia melaporkanku pada polisi? Karirku, cintaku dan seluruhnya akan tamat. Dia datang pasti untuk membalasku. Tidak, tidak, tidakkk...!"

Plakkk!

Sebuah tamparan melayang di pipi Lexsi. Vania menatap anaknya yang terdiam. Saat ini ia lebih takut dari pada Lexsi. Saat ini ia bahkan merasa bahwa semua akan berakhir. Tapi dia tak bisa menyerah dengan cara seperti ini. Tidak, semua belum berakhir.

"Dengar," ujarnya lirih namun tegas. "Ayahmu tak tahu semua ini. Pastikan kita membuat keadaan semakin buruk untuk Ellina. Dan Kenzie, kalian akan bertunangan minggu depan. Itu akan berakhir dengan kau menjadi Nyonya Muda Reegan. Maka seluruh hal yang kau lakukan tak akan ada yang berani melawan. Kita hanya harus berusaha lebih kuat lagi. Kau mengerti?"

Lexsi mengangguk. Ia memeluk ibunya erat. Benar,  ia hanya harus menyusun rencana dengan baik. Ia tak akan membiarkan Ellina mendekat sedikit saja. Tidak, tidak akan pernah.

***