webnovel

NAMA DI KAIN KAFAN

Saat ini adalah malam Jum'at Kliwon. Suara tetes air hujan terdengar jelas dari atap rumah Seroja, yang terbuat dari genteng tanah liat. Sebuah sobekan kecil, kain kafan putih tergeletak di atas meja riasnya. Seroja mengambil sebuah silet, yang tergeletak di samping kain kafan tersebut. Sambil menyeringai sinis dan membaca mantra, yang pernah diajarkan oleh Ibunya, Nyai Ayu Rembulan. Kemudian dia mulai menyayat sedikit ujung jari telunjuknya, agar dapat mengeluarkan darah segar. Pada saat darah menetes, Seroja mulai menuliskan tujuh nama laki-laki di atas sobekan kain kafan tersebut. "Besok, aku akan menyelipkan kain kafan ini di jenazah Rembulan. Agar rohnya kelak dapat membantu aku, membalaskan semua dendam!" gumam Seroja sambil menyeringai penuh kebencian.

Ifan_Tiyani · Horror
Not enough ratings
284 Chs

PEREMPUAN BERAMBUT PANJANG

Mereka duduk dengan kompak di sofa berwarna hitam yang memang merupakan tempat mereka biasanya berkumpul. Raut wajah Roy, Tio, Hendri, dan Anwar, terlihat kusut tidak seceria biasanya.

"Kalau enggak salah, semalam Sion sempat WA gue, katanya dia lagi nongkrong bareng kalian di cafe, benar begitu?" tanya Roy sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa, dengan posisi santai.

"Iya, benar!" sahut Tio.

"Bagaimana keadaan dia semalam? Apa ada sesuatu hal yang aneh dilakukan atau dikatakan oleh, Sion?"

"Dia terlihat baik-baik saja, cuma ..." Kalimat Tio menggantung.

"Cuma apa, Tio?" tanya Roy sambil mengerutkan keningnya.

"Cuma ada sikap dia yang aneh sekali, iya 'kan, Hendri?" jawab Tio malah seperti mencari dukungan dari Hendri.

"Sikap bagaimana yang kau maksud aneh, Tio? Jangan malah seperti mencari dukungan, dengan membenarkan kata-katamu ke Hendri!" ujar Roy merasa kesal karena sikap Tio yang terlihat seperti menutupi sesuatu terhadap dirinya.

"Bukan begitu, Roy, aku memerlukan dukungan dari Hendri, sebab dia juga mengetahui mengenai kebersamaan kemarin dengan Sion. Karena aku takutnya kau tidak percaya dengan apa yang aku katakan, jika Hendri tidak ikut serta membenarkan ceritaku itu," tutur Tio menjelaskan.

"Memangnya apa yang terjadi? Peristiwa aneh apa yang kau maksudkan?" ujar Roy mengulang pertanyaannya.

"Semalam, pada saat kami baru akan minum beer, tiba-tiba saja Sion terlihat sangat terkejut sekali, sampai gelas yang dipegangnya terlepas dan jatuh ke lantai. Sion bilang, dia melihat sosok almarhumah Rembulan berdiri di depan pintu masuk! Tetapi pada saat aku dan Hendri melihatnya, tidak ada siapa pun di sana kecuali para tamu cafe yang lewat silih berganti," tutur Tio menceritakan. Raut wajahnya terlihat sangat tegang dan mulai ketakutan.

"Astaga! Hahahaaa! Begitu saja kalian bilang aneh, bahkan kau sampai pucat ketakutan menceritakannya, Tio? Hahahaa ... saat itu, Sion 'kan sedang minum bersama kalian, bisa jadi dia sudah mabok sehingga mengakibatkan penglihatannya bermasalah! Sebuah penjelasan yang sedemikian mudah saja jadi membuat kalian ketakutan! Hahahaa ..." ujar Roy kembali tertawa terbahak-bahak, diikuti oleh Anwar yang duduk di sampingnya.

"Tadinya kami juga berpikir demikian, Roy, tetapi saat itu, Sion belum sempat minum beer sama sekali. Lagi pula sekali pun dia sudah minum, kau 'kan tahu sendiri kekuatan Sion. Dia bisa minum hingga lima botol, baru bisa mabok!" sahut Hendri menjelaskan.

"Benarkah? Atau, mungkin saja dia sudah minum di kosannya sebelum datang ke cafe, tanpa sepengetahuan kalian. Jadi, sebelum dia meminum bir yang dipesan di cafe, Sion sudah dalam keadaan mabuk terlebih dahulu. Sebab rasanya tidak mungkin dia melihat sosok Rembulan berdiri di depan pintu, jika dia tidak dalam keadaan mabuk. Bisa jadi juga dia minum obat-obatan terlarang, yang memang biasa ddikonsumsinya, bukan begitu lebih masuk akal, Bro?" ujar Roy kembali memberikan argumentasinya. Dia berusaha memberikan sebuah alasan masuk akal, atas peristiwa yang dialami oleh Sion semalam.

"Bisa jadi apa yang kau katakan benar, Roy!" seru Tio akhirnya sambil tersenyum lega.

"Nah, tuh, mulai pinter kau, Tio! Memangnya kau pikir apa? Orang yang sudah mati bisa bangkit kembali begitu? Hahahaa... makanya, jangan terlalu banyak nonton film horor, nanti jadi eror, Bro! Hahahaa!" seru Roy sambil kembali tertawa ngakak.

"Kalian berdua ini memang suka aneh kalau berpikir, sok mistis! Hahahaa ..." sahut Anwar ikutan berkomentar sambil tertawa.

"Sudah! Sekarang kita tidak usah membicarakan mengenai hal yang aneh seperti itu lagi, kalau Sion meninggal dunia, ya berarti memang sudah takdirnya. Sekarang aku ingin membicarakan masalah pengiriman serbuk obat terlarang nanti malam, yang akan dilakukan oleh Anwar Apakah kau sudah siap dengan hal itu, Anwar?" tanya Roy sambil menoleh ke arah Anwar.

"Untuk hal itu tenang saja, aku sudah siap kok. Lagi pula pelanggannya 'kan Bang Pandi, pemasok eceran yang sudah menjadi langganan kita, jadi sudah biasalah itu, semuanya akan berjalan aman dan lancar!" jawab Anwar dengan penuh percaya diri.

"Kau yakin mau melakukan transaksi ini sendirian, Anwar? Tidak perlu ditemani oleh Tio atau Hendri?" tanya Roy memastikan.

Entah mengapa saat ini Roy merasa perasaannya sangat tidak enak sekali, dengan transaksi yang akan dilakukan oleh Anwar. Insting Roy sebagai pengembara dan jagoan jalanan sangatlah tajam, dan tidak pernah meleset, makanya dia terpilih menjadi ketua di antara teman-temannya karena kelebihannya tersebut.

"Tidak perlu Roy, seperti yang aku katakan tadi, ini hanya sebuah transaksi rutin, jadi santai saja!" sahut Anwar sambil tersenyum tipis, seraya menepuk pundak Roy beberapa kali.

"Ya sudah, terserah kau saja kalau begitu, tetapi saran aku, bagaimana pun berhati-hatilah, Bro, jangan lengah!" Pesan Roy.

"Siap, Bos!"

"Tio! Tolong kau ambilkan kerdus coklat yang ada di dalam lemari besi milikku, serahkan kepada Anwar. Kemarin aku sudah merapikan pesanan Bang Pandi, jadi tinggal dibawa saja oleh Anwar," perintah Roy sambil menyalakan api rokok di tangannya.

Tanpa menjawab Tio langsung menjalankan perintah Roy. Tidak berapa lama kemudian, dia kembali sambil membawa kerdus coklat yang berukuran sebesar kerdus sepatu. Lalu memberikannya kepada Roy, yang langsung menyerahkannya kepada Anwar.

"Ini, kau bawalah, Anwar! Jangan sampai terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, karena mungkin kerdus coklat ini terlihat kecil, tetapi nominalnya kau tahu sendiri!" ujar Roy kembali berpesan.

"Okey, Bos!"

"Sebelum kalian bubar, sebaiknya sekarang kita pesan makanan secara online, sebab aku merasa lapar sekali!" usul Roy sambil menepuk perutnya berulang kali.

"Baiklah kalau begitu, aku pesan nasi goreng seafood saja bagaimana?" usul Tio dengan penuh semangat.

"Wah, boleh juga tuh, aku setuju! Langsung saja kau pesan sekarang Tio, untuk minumannya tidak usah, karena sudah banyak stok minuman di dalam kulkas!" perintah Roy.

Tio langsung mengambil ponselnya, lalu memesan melalui aplikasi online makanan yang telah mereka sepakati. Hanya kurang lebih selama satu jam menunggu, akhirnya Ojol yang mengantarkan pesanan mereka pun datang. Anwar segera berjalan menuju ke pintu gerbang, untuk mengambil pesanan mereka.

"Mas Tio, ya?" tanya Ojol tersebut memastikan. Karena tadi mereka memesan dengan menggunakan aplikasi milik Tio, maka Ojol tersebut mengira Anwar adalah Tio.

"I-iya benar, Pak, sudah dibayar lunas melalui aplikasi 'kan?" jawab Tio menjawab sekenanya karena malas memberikan penjelasan.

"Iya, sudah Mas, tunggu sebentar difoto dulu, sebagai bukti sudah menerima," pinta Ojol tersebut sambil tersenyum ramah.

Setelah itu Anwar kembali berjalan dengan penuh semangat serayal bersiul kecil, sambil membawa kantong plastik putih berukuran besar menuju ke gudang basecamp mereka. Langkah kaki Anwar berhenti sejenak, saat netranya melihat ke arah jendela samping rumah Roy yang tidak tertutup gorden. Di sana dia melihat seorang perempuan berambut panjang sedang duduk di kursi piano, dan tampak sedang memainkan piano tersebut.