webnovel

My Silly Lady [05]

"Mereka sudah datang!" Nyonya Hemelton berlari tergopoh dari depan jendela tempatnya mengintip sejak tadi. "Ingat, kalian harus bersikap baik. Jangan meludah sembarangan, jangan banyak bicara kecuali saat ditanya, jangan bicara dengan nada tinggi, jangan cekikikan, jaga mata kalian agar tak terlihat begitu menginginkan pria Vermouth itu. Kalian mengerti?!"

"Iya Ma," kelima putri Hemelton menjawab serentak meski terdengar malas-malasan.

"Bagus," nyonya Hemelton terlihat berusaha menenangkan diri. Semoga kelima putrinya minus Daisy yang saat ini entah berada di mana, bisa mengendalikan sikap barbar mereka masing-masing. Setidaknya untuk hari ini saja. Nyonya Hemelton memohon dalam hati.

Tuan Hemelton yang melihat kepanikan istrinya hanya duduk tenang sambil membalik lembaran surat kabar terbitan bulan lalu yang sudah ia baca puluhan kali. Terlihat acuh tak acuh meski dalam hati pria itu merasa tak sabar untuk melihat tingkah eksentrik kelima putrinya. Entah tingkah ajaib apalagi yang akan disuguhkan semua putrinya itu. Meski sedikit kecewa karena putrinya yang paling ajaib telah menghilang entah kemana.

Terdengar suara pintu depan yang diketuk pelan membuat nyonya Hemelton semakin panik dan kembali mewanti-wanti kelima putrinya. "Ingat, jaga sikap kalian... jaga sikap kalian!" gumam wanita tua itu sambil berjalan ke arah pintu depan.

Kelima putri Hemelton beserta sang ayah serta merta memperbaiki posisi duduk mereka, kemudian langsung berdiri ketika melihat sepasang ibu dan anak Vermouth ditambah seorang gadis yang menatap mereka dengan pandangan sinis berdiri di depan pintu kediaman mereka. Mereka kemudian membungkuk hormat sebagai ucapan selamat datang.

"Selamat datang di kediaman kami yang sangat sederhana," Nyonya Hemelton mempersilahkan ketiga tamu mereka memasuki ruangan, kemudian mempersilahkan mereka duduk di kursi yang sudah disiapkan.

"Wah, anda memiliki lima orang putri yang sangat cantik, Nyonya." Velisya menatap kelima putri Hemelton dengan pandangan tertarik. Kelima gadis itu tampak tersipu menerima pujian darinya. Ini sangat berbeda dari yang diucapkan Gracia beberapa saat yang lalu. Kelima gadis yang duduk di depannya kini tampak begitu anggun layaknya seorang Lady dari keluarga terpandang.

"Sebenarnya ada satu lagi Nyonya, hanya saja dia saat ini sedang di luar. Namanya Daisy. Maaf karena anak itu tidak dapat menyambut kedatangan Anda dengan baik." Ujar nyonya Hemelton dengan sopan.

Daisy. Entah mengapa satu nama itu membuat bekas luka di kening Ashley berkedut tak menyenangkan. Sebuah nama yang seolah baru saja menekan tombol aneh yang membunyikan alarm peringatan berbahaya di otaknya.

"Tidak masalah, pasti ada saatnya Daisy berkenalan dengan kami. Sekarang aku justru tertarik untuk mengenal kelima gadis manis yang duduk di depanku ini," ujar Velisya dengan senyum keibuan.

"Ah, anda benar. Aku sampai lupa mengenalkan mereka. Yang di sebelahku ini namanya Emily, putri sulung keluarga Hemelton. Di sebelahnya Erika, putri kedua. Yang keempat adalah Emma. Lalu yang terakhir si kembar Anna dan anny Hemelton. Daisy adalah putri ketiga kami." Jelas nyonya Hemelton panjang lebar. Sedangkan yang diperkenalkan hanya mengangguk sambil tersenyum lembut.

Mereka berbincang cukup lama, tuan Hemelton sempat berbincang ringan dengan Ashley. Rupanya mereka memiliki hobby yang sama. Memancing. Lain waktu mungkin mereka bisa pergi memancing bersama.

Velisya juga semakin merasa kagum dengan keluarga ini. Sikap mereka benar-benar sopan dan menyenangkan. Mungkin kekacauan yang terjadi saat pesta kediaman Bennet beberapa bulan yang lalu hanyalah kesalahpahaman belaka.

Hingga tiba-tiba saja Ashley merasa sangat gelisah. Entah kenapa keringat dingin keluar begitu saja dari pori-pori kulitnya. Bekas luka dikeningnya semakin berdenyut tak masuk akal. Hingga tiba-tiba saja pintu depan menjeblak terbuka dengan suara berdebam keras.

"Ma, aku membawa makan malam yang..." suara Daisy menggema memenuhi ruangan. Gadis yang baru menyadari ada tamu di dalam ruangan langsung tersenyum salah tingkah. "A-ah... ada tamu rupanya." Daisy tertawa sumbang, salah tingkah lebih tepatnya.

Penampilan gadis itu benar-benar berantakan. Wajah dan pakaiannya kotor oleh noda lumpur, rambutnya mencuat ke segala arah lengkap dengan dedaunan kering sebagai hiasannya. Di pundak gadis itu terlihat sebuah kayu ukuran sedang yang ia pikul bersama Jeremi. Di kayu itu terikat seekor anak kijang yang sudah mati. Hasil buruan mereka yang siap dijadikan menu makan malam.

Jeremi yang masih di belakangnya menahan nafas resah. Dia sudah berkali-kali menyarankan Daisy agar masuk melalui pintu belakang saja, namun gadis itu menolak dengan alasan pintu belakang letaknya lebih jauh dari pintu depan.

Henry yang baru memasuki ruangan dengan seekor kelinci di tangannya langsung melepaskan kelinci itu karena kaget dengan suasana hening di depannya. Membuat kelinci yang sebenarnya masih hidup itu berlari kesana kemari mengitari ruangan.

Gracia menyeringai, berharap dengan pemandangan super memalukan ini membuat pikiran Velisya ataupun Ashley terbuka dan langsung memutuskan untuk pergi dari rumah ini sekarang juga.

Velisya terpana melihat penampilan Daisy dan apa yang gadis itu pikul di pundaknya. Sedangkan nyonya Hemelton, wanita tua malang itu memijit keningnya dengan frustasi. Sia-sia sudah usaha mereka dua jam terakhir ini. Kelima putri Hemelton yang lain serentak menutup mulut mereka, menahan segala cekikikan dan tawa tak sopan yang sejak tadi mereka tahan agar tak sampai menyembur ke permukaan.

Tuan Hemelton? Lelaki paruh baya itu dengan santai membalik lembaran surat kabarnya seolah tak pernah terjadi apa-apa. Padahal siapapun yang melihat ekspresi pria itu kini, pasti langsung mendapati bibirnya yang terangkat hampir menyerupai seringaian. Putri ajaibnya memang tak akan pernah mengecewakan.

Sedangkan Ashley, tak ada seorangpun yang menyadari bagaimana pandangan terpana pria itu saat menatap Daisy sejak gadis itu menjejakkan kakinya di ruangan ini. Rambut pirang kecokelatan gadis itu, matanya yang berwarna biru kehijauan, serta lesung pipit gadis itu yang mengintip dari kedua pipinya ketika gadis itu tersenyum salah tingkah tadi. Semua itu mengingatkannya kepada seorang gadis kecil yang ia temui belasan tahun yang lalu.

Tangan pria itu tanpa sadar meraba keningnya yang kembali berdenyut tak nyaman. Sedikit rasa lega terbersit dibenak pria itu kini. Setidaknya waktu belasan tahun yang telah ia lalui, tak cukup mampu untuk membuatnya lupa akan perasaannya belasan tahun silam.

Gadis itu masih terlihat sama. Mata yang sama dan senyuman yang sama. Meski tak semungil dulu. Cengiran jahil itu ternyata masih sama menyebalkannya.

"Daisy, masuk ke kamarmu sekarang!" hancur sudah image ibu-ibu anggun yang mati-matian diciptakan Sarah Hemelton selama dua jam ke belakang. Karena detik ini pula, wanita itu telah memilih untuk mengeluarkan tanduknya. Daisy memang tak bisa dibiarkan, jika ia tidak mengambil sikap tegas, putrinya itu pasti akan semakin melenceng dari peradaban.

Daisy memejamkan mata sambil menyumpah dalam hati. Sial, kupingnya pasti akan terasa panas mendengar omelan ibunya yang akan segera terhidang secara cuma-cuma untuknya sesaat lagi.