webnovel

My Silly Lady [04]

Daisy dan Jeremi sontak tertawa. Memang benar. Jika ada sesuatu yang lebih membahayakan dan menakutkan dari penyakit mematikan, maka jawabannya adalah Nyonya Hemelton. Bukan karena wanita paruh baya itu galak. Hanya saja, jika wanita itu sudah marah, ia bisa menceramahi mereka bertiga semalaman. Dan itu benar-benar hal yang sangat membosankan.

"Jadi ada apa lagi dengan Mamaku?"

"Ibumu menitahku untuk menjemputmu. Bila perlu aku harus menyeretmu ke rumah. Sebentar lagi putra mahkota Vermouth itu akan mengunjungi rumahmu dan kau harus ada di sana untuk ikut menyambutnya." Henry membuka mata, menatap Daisy sambil memainkan alisnya.

"Yang benar saja. Jadi kau kesini untuk menyeretku pulang?" Daisy baru saja berniat menyingkirkan kepala Henry dari pangkuannya. Namun dengan segera pria itu menahan tangan Daisy dan justru kembali menyamankan posisi tubuhnya.

"Tentu saja tidak. Aku juga rindu ingin berburu dengan kalian. Kesibukanmu di perpustakaan membuat waktu berburu kita menjadi berkurang." Daisy tersenyum mendengar Henry yang merajuk. Namun sesaat kemudian pandangannya mengarah pada Jeremi yang sejak tadi terdiam.

Pria itu tampak menjilat-jilat buah berwarna kuning kemerahan dengan ekspresi yang tak terbaca. Beberapa kali pria itu mengerenyit namun sesaat kemudian kembali menjilat buahnya.

"Bagaimana rasanya? Apakah itu enak?"

Jeremi langsung menghentikan acara jilat menjilatnya dan menatap ke arah Daisy dan Henry yang memandangnya dengan penasaran.

"Hem... aku tak tahu. Tapi paling tidak, rasanya mungkin lebih baik dari keringat tupai dewasa."

*****

Ashley menghela nafas untuk kesekian kalinya. Pemuda itu hanya sesekali tersenyum kaku sebagai balasan dari senyuman cuma-cuma yang sejak tadi dilemparkan ketiga gadis yang tengah duduk manis di depannya kini. Ini adalah rumah kelima yang mereka kunjungi hingga siang ini. Kediaman Richalkson, begitulah kira-kira nama keluarga yang sempat dibisikkan sang ibu kepadanya sesaat tadi.

"Silahkan diminum, maaf karena kami hanya bisa memberikan jamuan sederhana ini untukmu." Nyonya Richalkson meletakkan secangkir teh ke hadapan Ash, lengkap dengan senyuman manis pemikat calon menantu yang seolah mengembang dari telinga kiri hingga telinga kanannya.

Ashley tersenyum dengan jengah. Berusaha menyamarkan ekspresi jengkel yang sejak tadi tersembunyi di balik lengkungan senyumannya. Tentu saja pemuda itu benar-benar jengah. Tidak, muak mungkin lebih tepat untuk menggambarkan suasana hati pria itu kini. Bagaimana tidak? Tersenyum seharian dengan perasaan yang jelas-jelas tak iklas, bukanlah hal yang menyenangkan untuk dilakukan.

Ash merasa mungkin giginya akan kering sebentar lagi. Ditambah ia merasa tak nyaman dengan ketiga putri keluarga Richalkson yang sejak tadi menatapnya dengan tatapan seolah ia adalah hewan langka yang harus segera dibudidayakan. Mereka terus saja menatapnya sambil berkasak-kusuk dan berbisik tak jelas. Seolah sikap itu belum terlihat memalukan, mereka juga tak merasa sungkan untuk mengerling nakal sambil terkikik ke arahnya. Demi Tuhan, apakah para gadis di desa ini modelnya memang seperti itu?

Ash menghirup tehnya sekedar untuk mengalihkan perhatian dari pemandangan yang benar-benar membuatnya jengah. Namun hidungnya langsung mengerenyit ketika mencium aroma melati yang begitu menyengat. Mungkin minuman berwarna kecokelatan di depannya ini jauh lebih cocok disebut jus melati daripada teh melati.

"Jadi bagaimana, Ashley? Selama seharian berjalan-jalan, apakah ada seseorang yang sanggup menarik perhatianmu sejauh ini?" Ashley kembali mengalihkan pandangannya ke arah nyonya Richalkson yang masih memandangnya sambil tersenyum antusias.

Ashley kembali berusaha menarik sudut-sudut bibirnya yang bertujuan untuk mengulas senyuman. Pria itu sama sekali tak ingin tahu bagaimana wajahnya terlihat kini. Seorang pria yang kelelahan, merasa jengah dan bahkan muak, memaksakan diri untuk tersenyum tentunya bukanlah pandangan yang menyenangkan untuk dilihat.

"Ashley pastilah memiliki selera yang tinggi. Tidak sembarang gadis yang bisa menarik perhatiannya tentu saja." Gracia Forester menjawab santai setelah menyeruput tehnya dengan gaya elegan.

Pagi tadi, sejak Ashley mengunjungi kediaman Forester sebagai tujuan pertama dalam kunjungannya bersama Velisya, gadis itu langsung menempel begitu saja. Tak cukup sampai di sana, Gracia juga tanpa malu menawarkan diri untuk menemani Ashley berjalan-jalan mengelilingi desa. Ikut serta berkunjung ke rumah-rumah yang dikunjungi pasangan ibu dan anak itu.

Gadis itu tak segan mengkritik dan mengomentari keadaan rumah ataupun sikap sang tuan rumah. Seolah Gracia adalah sang tamu penting yang kedatangannya lebih diinginkan dibanding kedatangan Ashley sendiri. Seperti saat ini misalnya, nyonya Richalkson jelas-jelas tidak sedang berbicara padanya, tapi gadis itu langsung mengemukakan pendapatnya begitu saja.

"Butuh lebih dari sekedar wajah yang cantik ataupun otak yang pintar untuk menarik perhatian Ashley. Bukankah begitu Ash?" Gracia meletakkan cangkir tehnya nyaris tanpa suara. Mencondongkan sedikit tubuhnya ke arah Ashley sambil tersenyum meyakinkan.

Ashley hanya menarik sudut-sudut bibirnya sedikit tanpa berniat menjawab ucapan Gracia tadi. Gracia mungkin memang gadis yang paling mendekati sebagai kriteria calon istri ideal. Cantik, seksi, pintar dan sebagai bonus tambahan, ia berasal dari keluarga yang cukup terpandang. Apalagi yang kurang? Ah... ada satu kekurangan gadis itu yang paling fatal. Dia kurang memiliki rasa malu dalam dirinya. Itu saja.

Velisya berdehem kecil menanggapi kecanggungan yang tercipta karena Gracia. Wanita paruh baya itu tersenyum kepada nyonya Richalkson sambil menepuk punggung Ashley pelan. "Hati anakku ini memang cukup bebal terhadap pesona wanita, tapi aku yakin gadis-gadis di desa ini pasti akan mampu menarik perhatiannya. Terlebih ketiga putrimu sangat cantik dan anggun. Mungkin saja salah satu dari mereka yang kelak akan dipersunting olehnya."

Andai saja Ashley tak mengingat sopan santun yang selalu diajarkan kedua orang tuanya selama ini, ingin sekali pria itu tertawa mencemooh ucapan ibunya tadi. Cantik dan anggun ibunya bilang? Cantik mungkin ia, tapi anggun? Bagian mananya?

"Ibu, bukankah masih ada banyak rumah yang harus kita kunjungi?" ujar pria itu kemudian sebagai isyarat bahwa ia benar-benar muak dengan suasana di rumah ini. Kalau mereka tidak segera beranjak, Ashley kawatir jika tiba-tiba saja ia secara tidak sengaja mencolok mata ketiga putri Richalkson yang terus menatap dengan lapar kepada dirinya.

"Ah, kau benar." Velisya merapikan gaunnya yang agak kusut kemudian bangkit berdiri dengan gaya elegant. "Kami permisi dulu kalau begitu. Aku harap kalian tidak keberatan jika lain waktu kami kembali berkunjung ke kediaman kalian ini."

"Tentu saja tidak, kami justru akan sangat menantikan kunjungan kalian." Nyonya Richalkson langsung berdiri dan memberi isyarat kepada ketiga putrinya agar mengantar kepergian Ashley dan Velisya dari kediaman mereka.

"Apakah kami boleh menemanimu berkunjung ke rumah-rumah berikutnya?" tanya salah satu putri Richalkson yang Ashley sendiri lupa siapa namanya.

"Apa kau berpikir dirimu pantas untuk melakukan itu?" kalimat sadis itu bukanlah kalimat yang berasal dari bibir Ashley, melainkan dari Gracia yang sekali lagi telah menempel di sisi Ashley, mendekap lengan pria itu dengan erat.

"Kau sendiri bagaimana? Kenapa kau pantas sedangkan kami tidak?" salah satu putri Richalkson yang lain menatap Gracia dengan pandangan iri.

"Tentu saja karena aku istimewa," Gracia tersenyum culas kemudian menarik Ashley agar mengikuti langkahnya. "Ayo Ash!"

Meski muak dan ingin sekali menendang gadis yang terus bergelendot manja di lengannya, Ashley tampaknya harus bersyukur juga dengan kehadiran gadis itu. Karena setidaknya, tingkah memuakkan gadis itu mampu menyingkirkan tiga sosok yang jauh lebih memuakkan darinya.

"Jadi selanjutnya kita ke kediaman siapa Ma?" Ashley bertanya tanpa mengindahkan tangan Gracia yang terulur ingin menyuapi sebutir buah anggur ke bibirnya. Membuat gadis itu mencebik sebelum menyuapkan buah itu ke mulutnya sendiri dengan ganas.

"Kediaman Hemelton, Sayang." Ujar Velisya santai tanpa menyadari pandangan Gracia yang berubah horror.

"Kediaman Hemelton?" Gracia membayangkan keluarga dengan enam orang putri yang sangat berisik dan kerap membuat kekacauan itu. "Sebaiknya kita tidak usah kesana, atau harimu akan berubah menjadi hari yang paling buruk seumur hidupmu Ash."

"Memangnya ada apa dengan keluarga itu?" kali ini Velisya memberikan perhatian penuhnya kepada Gracia.

"Karena, oh ya Tuhan, apa Bibi lupa bagaimana mereka mengacaukan pesta keluarga Bennet beberapa bulan yang lalu? Putri keluarga Hemelton semuanya sangat berisik dan sama sekali tak terlihat beradab." Gracia berujar berapi-api. Sebenarnya bukan hanya itu yang membuat Gracia merasa pantang untuk berkunjung ke rumah itu.

Ada satu alasan lagi yang benar-benar membuat Gracia kesal. Pria incarannya selama ini, sebut saja Lucas. Sama sekali tak menanggapi perasaannya, namun justru jatuh cinta kepada Emily, putri sulung keluarga Hemelton. Memang apa bagusnya gadis itu dibanding dirinya?

"Begitukah? Namun aku merasa keluarga itu cukup menarik. Mereka terlihat... eksentrik?" Velisya justru terlihat tak sabar mengunjungi kediaman Hemelton. "Tapi ini tentu saja tergantung Ashley, bagaimana Sayang? Kau ingin mengunjungi kediaman mereka?"

Ashley hanya mengangguk. Seharian ini ia sudah mengunjungi lima kediaman yang penghuninya rata-rata bersikap aneh. Sudah kepalang basah, kenapa tidak sekalian mandi saja? Menghadapi satu lagi keluarga eksentrik tentu tidak akan membuatnya mati detik ini juga bukan? Ditambah pria itu merasa cukup familiar dengan nama Hemelton. Bekas luka di keningnya yang sudah sembuh sejak belasan tahun yang lalu juga terasa berdenyut aneh ketika memikirkan nama itu.

"Kalian mungkin akan menyesal," ujar Gracia lemas ketika melihat gerbang kediaman keluarga Hemelton terlihat semakin jelas dari kejauhan.