webnovel

Selingkuh?

'Tapi aku pengen nikahnya sama kamu, Do.'

Hanya bisa mengungkapkannya dalam hati. Tak pernah ada rasa keberanian Bella untuk mengungkapkan hal itu dari dulu. Bahkan dirinya juga sadar jika Edo juga pasti telah memiliki kekasih lain yang mungkin juga privasinya pribadi.

Saling membungkam perasaan masing-masing. Tak ada yang tahu hati mana yang memang saling menyimpan rasa. Dan tak akan terkuak jika semuanya tetap mengandalkan keikhlasan.

Tes ...

Air mata Bella tak lama meluncur juga di permukaan pipinya. Sorot mata yang penuh awan mendung, masih memandangi Edo sedari tadi. Pandangannya sungguh sangat sendu. Berharap Edo lebih peka seperti biasanya.

"Hey ... Jangan menangis, Bel. Kalo kamu udah nikah, memang aku tahu kita akan jadi berjarak pada saat itu. But, it's okay!"

"Kamu seneng, Do?" Bella masih kembali mempertanyakan hal itu. Mengapa pertanyaan itu bagi Bella sangat mengganjal. Masih tak bisa dirinya terima jawaban Edo barusan.

Hingga tak sadar, makan mereka berdua pun sampai. Tersaji setiap menu yang sudah memiliki majikan masing-masing.

Mendekatkan setiap piring kepada Bella maupun Edo. Pandangan Bella masih terpusat pada Edo sekarang.

Jarak antara mereka berdua yang semakin terkikis. Edo yang mulai mendekatinya. Menyelipkan anak rambut yang berhasil menghalangi wajah cantik Bella. Senyum Edo sedikit terangkat.

"Aku tahu, kamu enggak bahagia dengan pernikahan ini, Bel."

Tepat di samping telinga kirinya, Edo membisikkan kalimat penjelas itu dengan penuh penekanan. Sangat jelas hingga membuatnya menegang seketika.

Tatapannya yang masih berpusat pada Edo, tak berkedip sedikit pun. Edo mengangguk pelan. Sepertinya dirinya mengetahui segalanya di sini. Hingga ... dirinya yang tak setuju dengan pernikahan ini.

"Kamu ... kamu tahu dari mana?" tanya Bella sangat lirih. Melupakan makanan yang sudah mulai mendingin.

Pikirannya masih berkelana jauh. Menerobos pikiran Edo yang masih belum dirinya mengerti. Entah apa yang sahabatnya ini tahu tentang dirinya. Tapi perkiraan itu selalu tepat sasaran.

"Kamu enggak asal ngarang, kan?"

Terlihat dengan jelas, Edo justru menertawakannya. Kekehan kecil yang sangat khas, jelas terdengar di pendengarannya sekarang. Apakah Edo menertawakannya?

"Kenapa tertawa?"

"Bel ... kita itu udah kenal lama banget. Aku juga udah bisa baca raut wajah kamu. Mana yang kamu bahagia, dan mana yang raut wajahmu enggak bahagia.

Aku udah tahu semuanya. Kamu kepaksa, kan? Karena orang tua?"

Pandangan Bella seketika tertunduk. Memandang jauh entak ke bawah sana. Tak tau hendak mengatakan apa, Edo sudah tahu semuanya.

Tentang dirinya yang tak bahagia, tentang dirinya yang terpaksa. Edo memang selalu peka terhadap hal itu. Tapi tidak peka terhadap hatinya.

Telapak tangan Edo yang mulai sampai pada puncak kepalanya. Mengusap lembut sambil melayangkan senyum manisnya. Bella memanangi dengan tatapan nanar.

"Kamu tinggal dengan orang tuamu juga udah lama. Kamu udah tahu sifat mereka yang memang terkadang memaksakan kehendak.

Sama seperti keputusan-keputusan sebelumnya. Mau gimana lagi kalau enggak menerima? Karena memberontak pun, suatu saat akan ada rasa penyesalan juga di akhir."

"Iya, Do. Aku tahu ... Dan aku pun juga tak ingin menolaknya. Apa pun akan aku lakukan untuk mereka.

Mengingatmu dan semua pelajaran yang aku ambil dari kisahmu, akan aku bahagiakan selalu kedua orang tuaku."

Kembali meraih makanannya. Menyantap dengan perlahan disusul Edo juga yang ikut bergabung. Perbincangan mereka yang sempat terhenti, ternyata tak berlangsung lama.

Mungkin maksud Edo, dia ingin menghibur. Menenangkan diri agar dirinya bisa menerima kenyataan. Persahabatan yang sungguh menguntungkan.

Memang mereka terkadang juga pernah bertengkar, tapi di setiap pertengkaran, Edo lah yang selalu mengalah.

Berpikir begitu beruntungnya kelak perempuan yang akan menjadi pendamping selamanya untuk Edo. Pasti dia adalah perempuan yang paling beruntung.

"Kalo ada masalah, jangan pernah sungkan bercerita. Mungkin aku belum bisa menyelesaikan masalah itu, tapi setidaknya aku bisa menghiburmu agar beristrirahat dari kepenatan," ujar Edo sambil menepuk pundak Bella dengan pelan.

"Kalo aku udah nikah, kamu enggak akan jauhi aku, kan? Kita tetep bisa ketemu, kan?"

Kedua mata Bella membola. Pandangannya yang mulai berkaca-kaca. Tak ingin kehilangan teman terbaik yang pernah ada. Tak ingin kehilangan Edo yang selalu menemaninya dari kesunyian dunia.

Tak ingin Edo menjauhinya karena dirinya yang masih meragukan kesetiaan Radit. Ragu jika Radit bisa menggantikan Edo untuk menjadi teman kesepiannya. Ragu bahwa Radit bisa mengerti keadaannya.

Bahkan Bella masih belum percaya jika Radit memang setulus itu menjalani hubungan dengannya.

"Tentu, Bel. Setiap kamu butuhin aku ... aku akan selalu ada buat kamu.

Walau bagaimanapun kita telah mnejalani perjalanan yang sangat jauh. Tapi mungkin hubungan kita enggak akan bisa sedekat ini lagi."

"Kenapa?"

"Ya karena kamu udah punya suami, lah. Yang ada aku digolok sama suami kamu kalo sering jalan sama kamu." Edo ikut terbawa suasana. Meledakkan tawanya yang menanggapi Bella yang sebegitu polosnya.

Memang ada saat Bella itu menjadi pribadi yang kurang oeka terhadap lingkungan. Merasa dunia serasa milik sendiri, padahal semua sudah ada yang mengatur.

Tapi memang ada masanya, Bella juga menjadi perempuan yang sangat tangguh. Tahan cacian dan makian dari orang-orang sekitar. Selama tujuannya yang memang tak menyalahi aturan, Bella tak pernah getar.

"Tapi kan kita udah temenan lama. Masa Radit enggak bisa ngertiin, sih?" celetuk Bella yang berubah lesu.

Merasa tak terima dengan perkataan Edo barusan. Pikiran dewasa Bella seakan terhambat seketika jika membahas tentang pernikahan. Hubungan mereka itu sudah seperti saudara sendiri. Selalu bersama dan Edo juga sudah Bella anggap seperti kakanya. Apakah kelak Radit tak bisa menerima itu?

"Bel, kamu juga enggak bisa kayak gitu," Edo memberi isyarat Bella untuk lebih mendekat.

"Orang yang sudah berumah tangga itu, juga harus menjaga dirinya dari pandangan buruk orang lain.

Laki-laki mana yang enggak cemburu, saat istrinya sendiri lebih nyaman dengan pria lain dibanding suaminya sendiri? Pasti Radit juga kelak akan merasakan itu.

Jadi kamu juga harus tahu di mana batasan kamu, ya?"

Bella kembali mengembangkan senyumnya. Menarik pancaran wajahnya yang smekain berseri-seri. Meski sedikit hambar atas apayang dirinya dengar, tapi Bella tahu jika memang itu kebenaranyya.

Menjaga diri ... dari pandangan buruk masayarakat. Ah ... terkadang Bella adalah orang yang sangat geram dengan orang-orang yang suka men judge dirinya.

"Boleh peluk, enggak?

Kan belom menikah?"

Tanpa pikir panjang, Bella langsung menhamburkan tubuhnya tepat pada dada bidang Edo. Membekapnya erat. Menikmati aroma parfum sahabatnya yang sudah menjadi candu.

Menikmati setiap detik apa yang Bella rasakan. Ketenangan, kebahagiaan, dan kejernihan pikira. Tak bisa di lupakan, bahwa hatinya pun seperti mendapat pasokan semangat lagi.

Hingga tak sadar dari kejauhan ada seorang pri ayang memenadangi mereka dengan tatapan kesal. Tangannya yang sudah mengepal sedari tadi. Hendak bersiapa membogem pria lain yang sudah merebut wanitanya. Satu seruan pun mampu memisahkan Edo dan Bella.

"Bella! Apa yang kamu lakuakan!

Pulang!"

"R ... Radit?"

*Bersambung ...