webnovel

Perasaan Tersembunyi

"Kamu tetap menikah kok, Sayang," ujar Bram lembut.

Bella mengangguk. Menarik senyumnya mesti sudah tak memiliki energi sama sekali sekarang. Meski bukan ini yang dirinya harapkan. Meski kenyataan tetap memutar balikkan keinginannya. Bella harus menerimanya.

Tau situasi dan kondisinya sekarang. Mengingat mereka yang sedari tadi hendak sarapan. Bella harus berpikir lebih dewasa.

Menghapus segala pikiran buruk, ketidak sukaannya, kesedihannya, dan mulai kembali menarik senyum yang lebih lebar lagi. Bella harus lebih bangkit lagi.

"Makasih, Yah. Aku enggak papa kok.

Kita lanjut sarapan aja, yuk. Aku enggak mau kalihan malah kelaparan karena lupa sarapan. Aku siapin ya?"

Kembali mendudukkan kedua orang tuanya di tempat masing-masing. Saat ini Bella lah yang mengambil alih menyiapkan sarapan. Jika biasanya sang bunda yang menyiapkannya, untuk sekarang biarkan dirinya.

Kembali mencoba mencairkan suasana. Merogoh kembali senyuman yang sempat tertimbun oleh kabar buruk barusan. Bella adalah anak tunggal di sini. Jika bukan dirinya yang memberi kehangatan kedua orang tua, terus siapa lagi?

***

Bella memutuskan untuk keluar menyegarkan pikirannya. Sungguh, berpura-pura bahagia di hadapan orang yang disayang memang terkadang melelahkan.

Berjalan dengan langkah santai, menikmati segarnya udara luar yang masih belum tercemar. Pemandangan kota yang masih belum ramai dan indah dipandang. Hanya dengan ini saja, Bella sudah merasa lebih senang.

"Bel! Tumben jalan-jalan di sekitar. Ada masalah, ya?" tanya seorang pria tampan dengan suara bass nya.

"Ya ... kamu kan tahu sendiri sama kebiasaan aku. Kalo jalan-jalan kayak gini berarti lagi ada apa."

"Duduk dulu. Makan es krim mau, enggak? pikiran kamu biar seger."

Bella hanya melirik sekilas pria itu. Memang sudah beberapa hari mereka berdua tak saling bertemu. Jarak rumah mereka yang tergolong dekat, tempat kerja mereka saja juga bersandingan. Tapi karena kesibukan masing-masing, mereka jadi jarang bertemu.

Mengernyitkan kening sambil sedikit memperkikis jarak. Bella merasa ada yang aneh di sini.

"Kamu mau ke mana? Mau kencan?" tanya Bella yang merasa tak biasa orang di sampingnya ini sangat rapi.

"Enggak kok. Cuma tadi habis meeting sama client. Jadi rapi gini."

"Kamu udah makan belum, Do? Mau makan bareng di tempat biasa?" tanya Bella antusias.

Entah mengapa tiba-tiba pikirannya langsung teralihkan. Ingin makan bersama seperti dirinya kecil dulu. Mengingat momen-momen kebersamaan dirinya dengan Edo yang memang sudah sangat erat.

Edo adalah teman kecilnya sekaligus sudah Bella anggap sebagai saudaranya sendiri. Edo dan Bella sama-sama anak tunggal di dalam kisah hidup mereka. Sudah biasa bukan jika mereka pasti merasa kesepian jika ada di rumah.

Itulah mengapa membuat mereka menjadi sangat dekat dulu untuk saling menemani satu sama lain. Di tambah rumah mereka yang dekat juga membuat mereka sangat mudah untuk bertemu. Bahkan hingga saat ini pun mereka masih berhubungan sangat dekat.

"Kamu emangnya tadi enggak sarapan?" tanya Edo sambil mengacak pelan puncak rambut Bella.

"Ehm ... sarapan, sih. Cuma aku sarapannya cuma sedikit tadi. Enggak terlalu berselera. Tapi ketemu kamu jadi makin laper aja. Makan, ya?"

Bella sudah seperti anak kecil yang merengek meminta mainan di sini. Menarik-narik ujung baju Edo untuk membujuk sahabatnya ini. Ingin makan di tempat yang memang sangat mereka berdua favoritkan, nafsu makan Bella memuncak seketika.

Karena Edo yang juga paling tak bisa menolak semua permintaan Bella begitu saja. Apapun yang gadis ini minta maka itu juga bagaikan keharusan baginya. Edo pun menyetujui dan membawa Bella ke tempat yang mereka maksud.

Hanya berjalan kaki mereka menempuh perjalanan. Rumah makan yang mereka tuju telah sampai tanpa terlalu memakan banyak waktu.

Kedua mata Bella membola sempurna. Sudah cukup lama dirinya tak makan di sini. Bahkan terakhir kali makan di sini saja Bella sudah lupa. Tapi yang pasti hanya dengan Edo dirinya bisa ke sini.

"Gimana? Seneng?"

"Seneng banget, Do. Ya ampun aku kangen banget makan di sini.

Kamu tahu, bahkan masakan aku aja di usaha catering jauh kalah cita rasanya sama makanan di sini. Pokoknya ini tempat ter the best lah."

"Padahal masakan kamu udah enak banget lho, Bel. Masih kalah jauh?" tanya Edo mengikuti gaya Bella yang antusias.

"Hehehe .. iya ... bangeeet."

Mereka pun saling tertawa saat menyadari ekspresi masing-masing yang sama-sama melebih-lebihkan. Seperti anak kecil yang suka meniru gaya seseorang. Bella dan Edo memang sangat banyak memiliki kesamaan.

Edo bangkit dari duduknya untuk memesan makanan. Dirinya sudah hapal dengan makanan favorit Bella di sini. Tinggal menunggu sampai makanan siap disantap. Mereka saling berbincang santai sekarang.

"Bell, kayaknya akhir-akhir ini kamu sibuk banget, ya? Aku sering mampir ke tempat kamu, tapi Abel bilang kamu lagi keluar ada urusan. Lagi persiapan nikah, ya?"

UHUKK UHUKK

Tanpa sadar mendeengar perkataan Edo barusan, Bella langsung tersedak seketika. Pastinya dirinya tak menyangka jika Edo bisa menebaknya dengan sangat tepat.

Bagaimana bisa dia tahu? Jika Bella saja tak pernah membahas tentang hubungannya dengan Radit yang memang sudah mulai serius. Tapi Edo bahkan seperti sudah mengerti semuanya dengan sangat mudah.

"Kamu kok ngomongnya gitu, Do? Mana ada aku sibuk begituan," sahut Bella mencoba mengelak dari dugaan Edo. Tatapan sahabatnya ini yang sudah tak bisa diartikan, Edo bahkan hanya tertawa kecil.

"Bel ... Mau sampek kapan kamu diam tentang ini sama aku? Enggak usah bohong, deh. Aku tuh udah tahu dari pertama pertemuan kalian."

"Tap ... tapi kan—"

Edo terkekeh kecil melihat Bella yang sudah mati gaya. Tak bisa berkutik lagi selain diam di tempatnya sekarang. Tangannya yang mulai meraih air minum sambil menggesernya pada Bella. Ingat, Bella sempat tersedak tadi.

Hanya menerima apapun yang Edo berikan padanya, Bella sudah bingung hendak memberi alasan apa lagi setelah ini.

Meski Edo memang bukan tipe orang yang gampang marah karena sesuatu yang disembunyikan. Tapi Bella juga sangat menjaga perasaan Edo, apalagi tentang perasaannya yang sempat ada rasa dengan Edo sendiri.

"Kamu mau ngabarin aku waktu panggung pelaminanmu udah jadi? Terus kamu tiba-tiba ke rumah buat ngundang aku buat hadir?

Ya ampun Bella ... Nanti aku enggak bisa temenin kamu waktu detik-detik pelepasan gelar dong. Enggak ah ... Kita harus adain pesta kalau kayak gini."

"Ya enggak gitu juga, Do. Kan aku juga lagi nyari waktu yang tepat juga buat cerita sama kamu. Tapi kayaknya kamu semangat banget aku mau nikah," gumam Bella yang memang benar meihat aura kebahagiaan sangat terpancar pada diri Edo pribadi.

"Kalo kamu seneng ... Ya aku pasti ikut seneng, lah."

Bella tersenyum getir. Memandang sekilas Edo hingga kemudian membuang pandangannya ke segala arah. Menatap langit-langit mempertahankan air matanya yang hendak jatuh. Mengapa Bella merasa se sesak ini mendengar perkataan Edo.

Miris memang jika dirinya harus memendam perasaannya yang bertepuk sebelah tangan. Merelakan cintanya yang bahkan belum mendapatkan pengakuan, tapi sudah dirinya kubur hidup-hidup itu telah lama.

Senyum Edo bagaikan belati tajam yang telah menggores hatinya. Sangat tajam dan dalam. Bahkan kebahagiaan orang tuanya saja tak lebih menyakitkan dibanding senyuman Edo sendiri.

'Tapi aku pengen nikahnya sama kamu, Do.'

*Bersambung ...