webnovel

Terrified

Siang itu pelajaran Sejarah berlangsung tenang. Tidak biasanya, Aldo memperhatikan pelajaran dengan serius seperti biasanya. Cowok itu lebih sering tertidur di kelas atau memilih bolos ke toilet untuk merokok diam-diam. Tangannya dengan serius menggerakkan pulpen diatas buku tulis, fokus mengerjakan soal latihan.

Luka memar di wajahnya masih terlihat meskipun sudah sekitar tiga hari yang lalu. Sesekali cowok itu mengeratkan sweater yang ia pakai dan mengusap ujung hidungnya. Nggak tau alasannya apa, tapi hari ini Tara dan Aldo masuk ke kelas dengan sama-sama mengenakan sweater setelah mendapatkan izin dari guru piket. Keduanya, sama-sama sedang terserang flu ringan.

Hara memiringkan kepalanya, sebelum bertanya. "Lo sama Tara kenapa bisa sakit barengan?"

Aldo mengangkat wajah, mengalihkan fokusnya. Ia kemudian mengulas senyum tipis. "Jadi.. kemarin malem, gue minta anter Tara beli bola basket naik motor. Pas dijalan kehujanan. Ya gitulah... paling kena masuk angin biasa."

Perempuan itu hanya mengangguk, cukup puas dengan jawaban Aldo. Pandangannya tiba-tiba saja berhenti pada bangku pojok belakang. Disana, justru Rey yang sedang tertidur pulas. Ia bisa melihat ekspresi wajahnya yang tenang meskipun dengan jarak beberapa meter dari bangkunya. Tanpa sadar, Hara mengulas senyum tipis.

"Kenapa senyum? Ada yang lucu?"

Hara berkedip, menolehkan kepalanya ke samping dan mendapati Aldo menatapnya. "Bukan. Bukan apa-apa."

Lalu perhatian seisi kelas teralih saat pintu diketuk sekali. Membuat Ibu Giana melangkah keluar kelas untuk menemui seorang guru yang menginterupsi jam pelajarannya. Sekitar tiga menit, kini muncul sosok Ibu Farida, Guru BK yang biasa menangani Aldo dan Rey.

"Maaf, untuk Hara, Aldo dan Rey, hari ini kalian dispen, sekarang bereskan barang-barang kalian dan ikut saya ke kantor."

Hara berkedip. Ia merasa tidak pernah membuat ulah sama sekali minggu ini. Dan tiba-tiba saja tubuhnya menegang karena dibenaknya terlintas sesuatu. Namun Hara buru-buru menggeleng cepat dan membereskan tas-nya bersama dengan Aldo yang juga melakukan kesibukan yang sama.

Ketiganya berhenti menjadi perhatian kelas setelah sosok mereka meninggalkan kelas. Tara yang duduk di depan sempat melakukan kontak mata dengan Aldo, dan ia mengira-ngira apa yang sebenarnya terjadi.

***

"Kita mau kemana, Bu?" Aldo bertanya dengan hati-hati.

Pasalnya koridor menuju kantor BK sudah terlewat dan sekarang Ibu Farida menuntun mereka berjalan menuju... Parkiran?

"Kalian semua nggak usah khawatir, yang penting rileks."

Mendengar itu Rey, Hara dan Aldo hanya mengangguk. Sampai akhirnya mereka berhenti di sebuat mobil yang Rey kira adalah mobil pribadi Ibu Farida. Wanita itu tanpa basa-basi menyuruh mereka masuk.

Saat Hara akan membuka pintu samping bagian depan, Aldo langsung menarik tangannya dan menyuruh Hara untuk duduk bersamanya di jok belakang. Rey sempat melakukan kontak mata dengan Aldo, sebelum akhirnya Rey tersenyum tipis dan memilih untuk masuk mobil tanpa ambil pusing.

Yah, Aldo memang benar-benar kekanakan.

***

Selama di perjalanan, Hara tidak bisa berhenti gelisah. Ia berulang kali menggigit bibir bawahnya dan memandang keluar jendela dengan segala pikiran yang berantakan. Matanya sempat bertemu dengan mata Ibu Farida yang sedang menyetir itu lewat kaca spion.

Hara sekarang mulai takut. Bahkan ia tidak peduli, Aldo terus menatapnya meskipun sebenarnya itu sangat menganggu.

Rey mulai tegang ketika menyadari kalau Ibu Farida mulai mengarahkan mobilnya kesebuah kantor Polda. Setelah mematikan mesin mobil, Ibu Farida melepas seatbelt dan menengok ke arah Hara. "Percaya sama Ibu, semuanya baik-baik aja. Kamu jangan tegang, ya."

Hara hanya mengangguk, keringat dingin mulai turun ke pelipisnya. Begitu mereka turun dari mobil, Hara langsung mendapati Om Prama berdiri di hadapannya, seolah menunggu tepat didepan pintu mobil yang baru saja  memasuki area parkir.

Om Prama langsung menarik kepala anaknya itu ke dalam pelukannya. Dan saat itu pula, Hara menangis di dada Papanya. Kadang semuanya nggak adil, Hara harus bertemu dengan Papa disaat yang nggak tepat.

Rey membulatkan matanya ketika menyadari ada banyak lensa kamera mengarah kearahnya, kearah Hara dan ke arah mereka. Ia bisa melihat bagaimana para wartawan langsung merapat begitu Hara turun dari mobil. Beberapa petugas berseragam langsung menuntun Hara dan Om Prama berjalan duluan, sekaligus untuk menghindari sorotan kamera.

Aldo dapat melihat bagaimana tangan Hara mencengkram kuat kemeja Ayahnya. Om Prama juga berusaha menyembunyikan wajah Hara ke dadanya. Suasana di area parkir kantor langsung memanas dan sesak. Aldo segera membuka sweater yang ia kenakan, lalu mendekat ke arah Hara dan menutupi kepala Hara dengan sweaternya. Om Prama menatap Aldo, lalu mengulas senyum tipis.

Rey yang melihat itu hanya berusaha menundukkan kepala dan mengikuti arahan Ibu Farida. Rupanya, Rey dan Aldo dilibatkan sebagai saksi dalam kasus pelecehan seksual yang kemarin terjadi.

Kasus ini ternyata belum dituntaskan, bahkan setelah Hara, ada anak perempuan lain yang menjadi korban pelecehan. Menurut Informasi, pelaku adalah buronan yang selama ini dikejar polisi. Total korban pelecehan hampir belasan orang dan itu adalah ulah pelaku yang sama.

Pertanyaan Rey terjawab; mengapa sampai ada wartawan yang meliput kasus ini. Karena ternyata, setahun silam kasus ini merupakan kasus yang gencar diperbincangkan oleh masyarakat. Kasus yang sama dan Pelaku yang sama.

Om Prama terbang jauh-jauh dari Bangkok ke Jakarta setelah menerima panggilan dari kepolisian untuk dimintai keterangan. Ia masih terus berusaha menutupi wajah Hara dari sorotan kamera. Ia juga bisa merasakan bagaimana takutnya Hara ketika lensa kamera dan mic mengarah kearahnya. Belum lagi puluhan pertanyaan yang membuat Hara memejamkan mata dan menutup telinga.

Yang mereka cari adalah jawaban. Dan Hara tidak ingin memberikan jawaban yang membuatnya harus mengorek kejadian yang membuatnya mengalami trauma. Benteng pertahanannya runtuh, Hara tidak bisa lagi berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja; ia sudah lelah.

Maafin gue, Har. Rey selalu berharap, bahwa kalimat itu bisa terlontar dari mulutnya.

***

Prama menuangkan cokelat panas kedalam dua cangkir yang tersusun di meja. Lalu membawa keduanya ke arah balkon rumah, dimana Hara berdiri sambil menatap langit sore yang mulai berubah oranye. Pria itu memberikan satu cangkirnya pada Hara, yang hanya dibalas dengan senyum ringan.

"Har?" Prama bersuara, sambil mengangkat cangkir cokelat panasnya dibawah dagu. Aroma cokelat yang menggoda itu menguar karena terbawa oleh angin sore.

Hara menoleh, menampilkan wajahnya yang pucat. Namun masih berusaha menunjukkan senyum terbaiknya. "Kenapa, Pa?"

"Kamu nggak punya keinginan buat ikut Papa ke Bangkok secepatnya? Setelah Papa pikir berulang kali, sebenernya kamu nggak harus nungguin Ujian Semester selesai,"

Hara menggeleng cepat. "Nggak, kok Pa. Lagian, aku nggak mau buru-buru pindah. Kenapa harus terlalu cepet ninggalin tempat yang punya banyak kenangan buat aku? Toh, disini aku juga baik-baik aja. Ada banyak temen-temen yang support—"

"Papa tau kamu," Prama segera menginterupsi. "Karena kamu anak Papa, Papa juga tau gimana pinternya anak Papa bohongin perasaannya sendiri. Sekarang Papa tanya, deh... apa yang bikin kamu masih betah disini?"

Hara tertegun. Bingung harus menjawab apa, karena sampai saat ini ia masih belum menemukan jawaban yang membuatnya masih bertahan sampai sekarang. Padahal, dulu rasanya Hara kehilangan arah, ingin cepat-cepat pergi dari Jakarta dan mengasingkan diri di tempat lain. Selain karena support Tara dan Aldo, Hara merasa memiliki alasan lain kenapa ia masih tetap ingin tinggal barang sejenak.

"Kemping," Hara menyahut. Meskipun ia kurang yakin dengan jawaban konyolnya.

Prama lantas mengerutkan dahi. "Kenapa Kemping?"

"Minggu depan, aku ada kemping sama anak-anak kelas. Aku cuma pengen punya kenangan seru selama sekolah disini,"

"Oke, kalau gitu, setelah kemping kita berangkat ke Bangkok."

Hara menolehkan kepalanya. "Kenapa sekarang jadi Papa yang ngebet' banget pengen aku pindah?"

"Karena makin lama, Jakarta nggak aman buat kamu—"

"Papa takut kalau aku bakal jadi bulan-bulanan sekolah karena kasus ini kebongkar?"

"Iya." Jawab Prama, final. Karena sejak dulu, ini yang ia takutkan.

"Kenapa harus sembunyi dari kenyataan? Kalaupun seandainya aku pergi ke Bangkok, itu artinya mereka semua ngebicarain gosip yang sementara aku sendiri nggak ada disana, Pa. Dan secara nggak langsung, itu artinya aku lari dari kenyataan,"

Prama menghembuskan napas kasar. Hara mulai menunjukkan sikap keras kepala seperti Ibunya. Bertingkah seolah bisa menghadapi semuanya, padahal jauh dalam lubuk hatinya ia benar-benar ingin lari. Prama hanya tidak ingin satu-satunya perempuan yang ia miliki tersakiti lagi. Ia cukup kehilangan Maya, Ibunda Hara karena sakit kanker yang terlambat ditangani. Hara persis seperti Ibunya, pintar menyembunyikan luka dan keras kepala.

"Semuanya, Papa balikin lagi sama kamu. Terserah kamu mau tetep tinggal disini, atau pergi. Yang paling penting kamu harus tau, Papa nggak akan pernah biarin orang yang berani nyakitin kamu."

Hara mengangguk, merangkul pinggang Papa dan menghirup aroma khas yang sangat Hara sukai dari kecil. "You'll awalys be my hero, Dad."

Bersamaan dengan itu, mereka menghabiskan waktu sambil menunggu matahari terbenam. Dengan secangkir cokelat panas, dan candaan kecil yang bisa menyemburkan tawa. Kali ini, Prama berjanji tidak akan lagi meninggalkan Hara.

***

.

.

Minggu selanjutnya,

.

.

.

.

Tenda-tenda disusun rapi, membentuk barisan setengah lingkarang yang menghadap ke arah barat. Menjelang sore, seluruh siswa berkumpul didekat tumpukan kayu kering yang akan membentuk api unggun, sekitar lima belas menit lagi matahari akan turun.

Bola api itu seolah akan jatuh ke laut. Lalu kemudian, cahayanya pudar digantikan dengan warna biru gelap bercampur sedikit palet oranye. Acara kemping angkatan ini memang nggak begitu formal. Hanya ada dua wali kelas sebagai pengawas dan beberapa panitia untuk membantu terlaksanannya acara.

Sekitar pukul sembilan malam, api unggun dinyalakan. Seluruh siswa mengisinya dengan permainan klasik, seperti game ala pramuka, nyanyian-nyanyian yang membawa sensasi riang dan stand up comedy  abal-abal yang menyita tawa garing.

Area kemping tidak begitu jauh dari bibir pantai. Sekitar jarak dua puluh meter-an atau mungkin lebih. Sejak tadi, yang menyita perhatian Hara adalah sebuah batu karang yang menjulang tinggi, sepertinya akan ada sensasi tersendiri ketika meloncat dari sana sebelum berenang ke dalam air laut. Hara ingin mencobanya, nanti.

Batu karangnya besar, tingginya mungkin sekitar dua belas meter. Bagian bawahnya sedikit terkikis karena abrasi dengan air laut. Letaknya pun nggak jauh dari area kemping. Hara mengeratkan jaket bulu yang ia kenakan, Udara sekitar pantai anyer membelai lembut pipinya dan membuat beberapa rambutnya yang digerai menari-nari.

Tiba-tiba, pandangannya bertemu dengan mata elang seorang cowok yang duduk bersebrangan dengannya. Wajahnya kekuningan terkena cahaya dari api unggun.

Rey.

Cowok itu terlihat manis dengan hoodie hitam dan beanie dengan warna yang senada. Pandangannya kosong menatap api unggun dihadapannya. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku hoodie.

Deg. Rey menatapnya.

Membuat Hara mengusap hidung karena salah tingkah. Bahkan setelah Hara mengalihkan pandangannya ke arah lain, Ia masih merasa Rey terus menatapnya.

Hara menyikut Tara yang duduk disebelahnya. Meskipun ragu, karena Hara rasa Tara masih sedikit menjaga jarak dengannya. "Ra, mau anter gue ke toilet deket Villa nggak?"

Tara diam sejenak, sebelum akhirnya menggeleng. "Lo minta anter yang lain, deh. Gue lagi mager."

"Hmm, Ya udah." Hara hanya mengangguk dan bangkit dari duduknya.

Ia perlahan keluar dari lingkaran. Sementara anak-anak lain masih sibuk seru-seruan dalam acara. Hara memilih untuk pergi sendiri, karena teman perempuan yang ia anggap dekat saat ini hanyalah Tara. Namun, sepertinya Tara masih marah, dengan alasan yang nggak begitu jelas.

Hara melangkahkan kakinya ke arah Villa terdekat. Disana, ada beberapa siswa yang memilih tidur di Villa karena merasa kurang enak badan atau memiliki masalah dengan tubuhnya.

Sebelum Hara benar-benar sampai di depan Villa. Ia berhenti ketika mendengar namanya beberapa kali menjadi bahan bisikkan. Matanya mendapati dua orang cewek yang duduk dibelakang tenda dan sibuk dengan ponselnya.

"Lo yakin beneran dia?"

"Yakin, gue yakin banget malah."

"Masa, dia, sih? Beneran Hara?"

"Iya, jelas-jelas kemarin itu namanya ada di—"

"Kenapa?" Hara langsung menembak mereka dengan pertanyaan tepat sasaran.

Dengan penuh percaya diri, ia melangkahkan kakinya mendekati Inez dan Vanya. Dua sejoli ini memang terkenal dengan mulutnya yang ember dan penggosip kantin. Keduanya langsung berdiri dan balik menatap Hara dengan tatapan tajam.

Hara menarik nafas panjang, mengangkat dagunya sedikit arogan. "Kenapa? Lagi ngomongin gue?"

"Dih, songongnya," Inez mencibir.

Vanya kemudian mengeluarkan ponselnya yang jelas-jelas masih menyala dan menampilkan halaman web yang sejak tadi ia analisis. "Nih, liat!"

Hara menyipitkan matanya. Membaca textline yang tercetak tebal disebuah halaman web berita.

Satu lagi, Gadis inisial "H" ini menjadi korban selanjutnya dari tersangka pelecehan seksual.

Hara tercenung untuk beberapa detik dan hal itu membuat kedua gadis penggosip ini langsung menarik senyum iblisnya. "Bener, kan?"

Diam-diam, Hara mengepalkan tangannya. Sebisa mungkin untuk besikap tenang dan santai. Ia menelan ludah, tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. "K-Kenapa kalian bisa ngeklaim i-itu gue? T-tau darimana?"

"Lo pikir gue bego?" Vanya maju selangkah, mendorong bahu Hara dengan jari telunjukknya. Sejak dulu, ia memang menyimpan rasa dengki dengan Hara—cewek sok jagoan, sok cantik dan sok deket sama Aldo.

"Tiga hari yang lalu, artikel ini dirilis lengkap dengan nama asli lo. Bahkan ada nama Aldo sama Rey disini. Satu jam kemudian, artikel ini dihapus," Inez melambaikan ponselnya di udara, tepat didepan wajah Hara. "Dan baru setengah jam yang lalu, halaman web yang sama ngerilis artikel baru, tapi kali ini pake topeng; Gadis inisial H."

"Itu elo, kan?" Tanya Inez, telak.

Hara memundurkan wajahnya. Karena jari telunjuk Vanya tertuju ke arahnya. Seolah akan menusuk matanya kapan saja. "Jawab!"

Sebelum Hara membuka mulutnya, Inez merasa sebuah tangan kekar mecengkram tangannya kuat-kuat. Tangan itu secara tak langsung memaksanya untuk menjatuhkan ponsel yang ia pegang ke tanah. Dan tepat saat benda itu jatuh, cowok yang berdiri di belakangnya tadi langsung menginjaknya hingga membuat layarnya pecah.

"Kenapa harus Hara yang jawab?! Kenapa nggak lo aja yang buktiin berita itu bener atau enggak?!"

"Lo berdua emang sama aja! Sama-sama cewek yang suka percaya sama gosip receh kaya gini!"

.

a/n:{ guess who? hehe.

destia_creators' thoughts