webnovel

Another Side Of Aldo [2]

"Gila, kan?"

"A-Apa, sih gue nggak ngerti!" Hara masih terus berkedip, ekspresi wajahnya seperti orang bodoh yang benar-benar tidak bisa mencerna materi di kelas.

"Gue geli kalau harus ngulang sekali lagi. Yang penting sekarang lo udah tau, kan?"

"T-Tunggu, deh," Hara merubah posisi duduknya, berharap Aldo mau melihat wajahnya. "K-Kalau emang lo sama Rey itu sodaraan, harusnya... kalian nggak gini-Maksud gue, Lo nggak gitu ke Rey. Lo memperlakukan Rey kayak bukan manusia, apalagi sodaraan."

Aldo tertawa getir. "Sampai kapanpun, di mata gue, Reynand nggak akan pernah jadi Manusia. Dia itu setan."

"Gue nggak yakin, kalau kalian saudara beneran." Hara menatap Aldo penuh selidik.

"Dih," Aldo bergidik. "NGGAK!"

"Terus?"

"Dia itu anak selingkuhan bokap gue,"

Terang-terangan Aldo berucap. Seolah tidak ada rem khusus untuk menyeleksi kalimat yang seharusnya tidak di lontarkan ke sembarang orang. Cowok itu blak-blak an soal aib keluarganya. Atau mungkin... ini adalah sisi lain dari Aldo?

Demi apapun, Hara nggak mengenal dekat Aldo. Bahkan mereka baru saling mengenal kurang dari satu bulan. Itu pun diawali hubungan yang kurang baik. "K-Kok bisa?"

Aldo mengangkat bahu. "Manusiawi, kan kalau gue benci sama Rey?"

Hara mengangguk samar. Jujur saja, kalau ia ada di posisi Aldo, mungkin saja Hara bisa melakukan hal yang sama. Membenci orang-orang yang membawa pengaruh buruk untuk keluarganya.

"Dari... kapan?"

"Ketauannya, sih waktu gue masih SD. Gue inget banget, gimana Nyokap kabur gara-gara cewek itu. Karena anaknya laki-laki, Bokap gue mau nerima meskipun beberapa tahun sempet dimasukkin ke Panti-"

"Jadi? Rey itu anak Panti?" Hara memotong kalimatnya, membuat Aldo memutar bola mata kesal.

"Gue belum selesai ngomong," Aldo berdecak. "Pas cewek itu ngebawa Rey ke rumah, sih, dia masih seumuran sama gue. Sama-sama kelas 5 SD. Langsung bokap gue kirim ke Panti Asuhan di Bandung karena keadaan rumah lagi panas-panasnya. Nyokap sama Bokap gue sering banget berantem,"

Hara bertopang dagu, menyimak setiap penuturan tulus dari Aldo. Dalam hati, Hara sempat berpikir, apa ia termasuk orang yang beruntung bisa mendengar curhatan cowok yang di kenal dengan image garang dan biang onar. "Terus, terus?"

"Pas gue mau masuk SMP, Rey balik. Kita satu SMP, dan kayaknya otak Rey udah sengklek semenjak pulang dari Bandung. Dia jadi kayak lekong gitu. Suka karaoke sendiri di kamar, ngedance ala-ala cewek dan Ish! GELI, DEH!" Aldo tak sanggup lagi membicarakannya, dan hal itu membuat Hara tertawa.

Karena melihat perempuan itu tertawa, Aldo melanjutkan. Entah mengapa, untuk pertama kalinya ia merasakan hatinya sedikit menghangat. Hara adalah orang pertama yang mendengarkan ceritanya, tawanya hampir secerah matahari sore ini. "Lanjutin nggak?"

"Lanjut, dong. Gue bener-bener tertarik sama cerita lo. Kadang, sekuat apapun lo nyimpen sesuatu, pada akhirnya lo juga bakal ngungkapin itu semua. Dan gue cukup seneng ngedenger cerita lo," Hara tersenyum. "Gue juga ngerti gimana posisi lo."

Aldo menyilangkan kedua tangannya di bawah dada, punggungnya disandarkan ke kursi agar lebih rileks. "Sampai kapanpun, gue nggak akan pernah anggap Reynand ada. Karena semenjak dia ada, keluarga gue bener-bener hancur. Nyokap yang nggak tau dimana, Bokap yang sibuk dinas keluar kota dan akhirnya, rumah gue yang biasanya rame kayak kandang ayam, sekarang jadi sepi kayak kandang singa."

"Jadi... lo satu rumah dong sama Rey?"

Aldo tergelak. "Anjir, ogah banget!"

"Kok gitu, sih? Berarti rumah lo sepi banget, dong?"

"Dia gue suruh tinggal sendirian. Biar dia ngerasain hidup sendiri. Baru beberapa bulan yang lalu dia pindah ke apartemen punya Bokap gue juga. Gue udah eneg sama dia, Jadi, mending gue yang pergi atau dia yang pergi, dan ternyata Bokap nyuruh Rey pergi," Aldo tertawa kecil. "Rasanya seneng banget! Seenggaknya dia nggak lagi ngerusak pemandangan gue."

"Segitu bencinya lo sama Rey?" Tanya Hara lembut.

"Dia bahkan lebih dari layak buat ngedapetin itu semua."

"Lo yakin nggak akan nyesel?"

"Ngapain harus nyesel? Itu belum seberapa daripada apa yang gue rasain."

"Kalau seandainya satu sekolah tau lo sama Rey itu-"

"Nggak akan ada yang tau kalau lo tutup mulut. Soalnya, cuma lo doang yang tau ini."

Hara mengatupkan mulutnya. Ya ampun, dia benar-benar di bebani oleh satu aib keluarga. Perempuan itu menarik nafas. Menyandarkan punggungnya pada kursi karena mulai merasakan pegal. "Lo nggak takut kalau seandainya ntar Rey balik mukulin lo gitu?"

Mendengar itu, tawa Aldo pecah. Cowok itu sampai memegangi perutnya sendiri saking gelinya mendengar ucapan Hara, matanya berair karena terlalu banyak tertawa. "HAHA, Apa tadi? Mukulin gue?"

Hara mendengus, memukul punggung Aldo keras. "Ih! Serius, gue nggak main-main loh! Segala kemungkinan itu bisa aja terjadi."

"Astaga, kayaknya mustahil banget Rey bisa jadi gentle. Asal lo tau, salah satu alesan gue ngebully Rey juga karena dia itu enak di bully, nggak bakal ngelawan dan lebih milih ngehindarin gue. Yah, sekedar buat jadi bahan pelampiasan mood gue bisa kali, ya?"

Hara memutar bola mata, lalu berdecak. "Lo emang bener-bener tipe orang yang suka ngeremehin orang lain, ya?"

Aldo hanya mengangkat bahu. "Emang kenyataannya gitu, kok."

Setelah beberapa detik, antara Aldo dan Hara sibuk dalam pikiran masing-masing. Sampai Aldo mengangkat pergelangan tangannya untuk melihat jam. "Udah sore, nih. Lo mau pulang?"

Hara mengangguk, menyedot habis isi Bubble Tea yang sudah tidak dingin lagi. Verrel berdiri dari kursi, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. "Gue nggak bisa nganterin lo. Tau sendiri, kan?"

Iya. Hara mengerti. Seharusnya tadi mereka bisa jalan menggunakan mobil. Hanya saja, tanpa bisa dicegah, Ban mobil Aldo mendadak kempes seperti ada seseorang yang iseng melakukannya. Kata Aldo, hal itu sudah biasa. Mengingat, banyak sekali orang yang tidak menyukai keberadaannya di sekolah.

Hara mengangguk. "Hmm, gue naik Bus aja. Di depan ada halte, kok."

"Kenapa nggak naik taksi bareng gue aja? Gue yang bayarin, lah." Tanya Aldo dengan dahi berkerut.

Hara menggeleng. "Nggak, ah. Gue lebih suka naik Bus aja. Lo mau nganter sampe halte atau enggak?"

"Ih, padahal naik taksi lebih aman, loh." Aldo meyakinkan Hara sekali lagi, tapi ia tetap menggeleng. Yah, seandainya Aldo bisa naik Bus juga, kalau bukan karena tidak ada Bus yang melewati daerah tempat tinggalnya. "Ya udah gue anter sampe halte, deh."

Hara hanya tersenyum tipis, lalu berjalan lebih dulu-beberapa langkah-di depan Aldo.

***

"Bye. Take care, ya!"

Hara membalas lambaian tangan Aldo dari luar kaca Bus. Di depan halte dekat taman kota, biasanya banyak sekali yang naik Bus hingga Hara harus buru-buru mencari tempat duduk kalau tidak ingin berdiri sampai bau ketek.

Matanya menyisir pandang kursi penumpang yang rata-rata sudah di tempati sebagian orang. Hara mengulum senyum saat pandangan matanya berhenti di salah satu kursi kosong di barisan kanan.

Begitu Hara duduk, perempuan itu memangku tas-nya di paha, dan mulai mengeluarkan ponsel.

Deg.

Entah ini takdir atau kebetulan, yang pasti Hara tak bisa mengatur degup jantungnya yang terlalu kentara, saat ia menolehkan kepala ke samping.

Dia disini.