webnovel

Part 48 - End -

Sebuah peti berada di bawah patung salib, dengan perpaduan warna putih dan emas. Di dalamnya sudah ada yang menempati, wanita dengan gaun pengantin berwarna putih. Riasan di wajahnya menunjukkan jika ia pergi dengan perasaan bahagia. Tidak ada lagi wajah pucat yang terlihat di sana, bahkan aroma tubuh yang khas kini tercium oleh orang-orang yang datang dan mendekat untuk mengucapkan salam perpisahan.

Ron duduk di samping peti itu, tangannya tetap ingin menggenggam tangan yang sudah dingin itu. Dengan penerbangan jet pribadi, Abercio datang setelah mendengar kabar dari Granger. Sementara kini di belakangnya, Abercio berdiri dengan memegang bahu sang Ayah. Berharap lelaki itu dapat segera melepaskan kepergian sang Istri.

Sementara di bangku yang sudah berjajar rapi, ada seorang gadis yang baru saja berhenti menangis. Wajah sembab terlihat jelas, ia sudah menangis seharian ini. Granger duduk di samping Theresia dengan memeluk tubuh gadis itu dari samping.

"Papa, ayo kita duduk di sana. Biarkan pendeta mendoakan Mama terlebih dahulu," ucap Abercio lirih.

Ron menatap wajah Anne untuk sekali lagi, sebelum peti itu benar-benar tertutup rapat selamanya. Kali ini ... kepergian itu sangat nyata, cukup nyata hingga lelaki itu masih tidak bisa menerima.

"Aku tau hal itu, Tuan Ronald. Kita lihat saja setelah ini. Apa kau masih bisa menolak aku atau justru kau akan jatuh dalam pelukanku!"

"Baiklah, aku sudah selesai ... aku pergi dulu! Aku harap nanti malam kau mau mencobanya lagi!"

Potongan kenangan tentang beberapa ucapan Anne kini kembali berputar pada memori otak lelaki itu. Perlahan, tanpa ia sadari ... airmata itu kembali keluar dan membasahi pipi Ron.

"Aku mencintaimu, Ron. Kau akan menjadi milikku!"

***

Peti itu perlahan bergerak turun ke dalam liang lahat. Hanya ada beberapa orang saja yang dapat menyaksikan pemakaman itu karena Ron menutup Mansion untuk orang lain. Setelah acara itu selesai, Casie dan Layla masih berada di dalam Mansion untuk menenangkan Theresia.

Kau yang mengejar cinta itu dan kini kau juga yang melepaskannya. Aku yang saat ini belum bisa melepaskan cinta itu, bisakah kau membawa jiwa ini bersamamu. Tidak ada lagi yang perlu aku pertahankan, mereka akan tumbuh dengan peninggalan ini. Dengan atau tapa izin darimu, sayang. Biarkan aku ikut tidur berbaring di sisimu.

Isi kepala Ron yang mulai kacau saat itu, membuat Abercio mengambil keputusan berat. Ia mengurung sang Ayah di dalam kamar karena percobaan bunuh diri. Sang Dokter yang datang ke Mansion saat itu, harus memberikan suntikan obat bius agar Ron bisa beristirahat untuk beberapa waktu. Selang infus juga sudah tertancap pada tangan Ron untuk menjaga tubuhnya tetap stabil.

"Cio, bagaimana kondisi Papa?" tanya Casie.

"Tante, aku terpaksa memberikan obat bius pada Papa."

"Tidak apa-apa, sayang. Jika ia seperti itu terus, sebaiknya kau mencoba menghubungi Mama Sia," cetus Casie.

"Mama Sia ... ia memang sudah sangat lama tidak kemari, aku tidak yakin jika Mama akan datang hanya untuk melihat kondisi Papa," ujar Cio dengan wajah murung.

"Kau harus tetap sadar dan berusaha untuk menjaga Papa dan adikmu."

"Baik, Tante. Aku akan berusaha sekuat tenaga. Tetapi jika aku tidak bisa menahan semua ini, bantu aku untuk bangkit, Tanta."

"Tentu saja."

Cetherine memeluk tubuh Cio, memberikan aura hangat agar ia bisa tenang. Sementara Theresia masih diam termenung di kamar bersama Layla.

"Nona kecil, apa kau tidak ingin makan sesuatu?" tanya Layla.

"Aku tidak ingin apa-apa, Tante. Aku ingin meminta maaf pada Mama."

"Minta maaflah dalam doa. Mama pasti mendengarkan semua permintaan maaf itu," ujar Layla.

"Benarkah? Mama akan mendengarkan aku?"

"Ya tentu saja."

Theresia menyatukan tangannya, lalu ia memejamkan mata dan mulai mengucapkan Doa.

"Mama, maaf jika aku masih belum bisa menjadi anak yang baik. Maaf jika aku pernah marah pada Mama, Maaf karena aku masih menangis di pemakaman Mama. Aku akan mulai meminta maaf selama mengucapkan doa untuk, Mama. Aku harap Mama akan berada di sini saat doa itu aku ucapkan. Mama, semoga kau akan mendapatkan tempat terindah di sana, memiliki Mansion yang besar seperti di sini. Mendapatkan pelayan yang tampan, tetapi jangan memberitahu Papa, nanti bisa marah. Aku akan selalu berdoa untuk kehidupan Mama di sana," ujar Theresia.

"Kau memang anak yang manis, Theresia. Mama pasti akan sangat bangga pada dirimu," ucap Layla sembari meraih tubuh anak itu dan memeluknya.

Kepergian seseorang memang tidak bisa kita atur. Hanya sang pencipta saja yang bisa mengatur semuanya tanpa kita tahu waktunya.

***

Tiga bulan berlalu, setelah pemakaman itu ..

Ron mulai terbiasa dengan kehidupannya tanpa sang istri. Setiap hari lelaki itu berkunjung ke pemakaman Anne dan mengganti bunga yang ada di sana dengan yang baru.

"Aku datang, sayang. Bagaimana hari ini? Apa sesuatu terjadi di sana? Aku harap kau ada di sini dan berbincang denganku untuk beberapa detik. Sayang sekali semua itu hanya mimpiku saja. Hari ini aku memenangkan tender bersama Layla. Kami bekerja sama dengan sangat baik, jika saja aku tahu bagaimana ekspresimu, pasti aku akan langsung memeluk tubuhemu."

Ron mengusap pipinya, sebuah airmata jatuh tanpa sengaja.

"Maaf, airmata ini selalu saja terjatuh saat aku mengunjungimu. Baiklah, aku harap kau akan datang di dalam mimpiku malam ini, aku harus kembali karena Theresia akan mengomel jika aku terlambat untuk hadir makan malam. Anak itu sangat cerewet, sama seperti kau, hahaha. Sampai bertemu lagi besok, sayang."

Setelah meletakkan buket bunga untuk Anne. Ron beranjak dari sana dan masuk ke dalam Mansion. Di dalam Mansion, Theresia sudah meletakkan tangannya di pinggang. Anak gadis itu bersiap mengoceh di depan sang Ayah yang terlambat lima menit.

"Papa! Sudah berkali-kali aku katakan untuk tidak datang terlambat! Papa membuat makanan menjadi dingin," omel Theresia.

"Baiklah, Papa minta maaf. Mama menahan Papa untuk kembali tadi," ucap Ron.

"Oke, nanti aku akan marah ke Mama."

"Hahaha."

Ron mengacak rambut Theresia, dan membuat anak itu kesal. Akhirnya mereka memulai acara makan malam bersama. Hanya berdua saja karena Abercio sudah kembali ke Harvard untuk melanjutkan kuliahnya di sana.

"Papa, kapan kakak akan pulang?" tanya Theresia.

"Entahlah, sepertinya ajaran baru membuat kakakmu sibuk dengan beberapa tugas."

"Baiklah, aku akan setia menunggu, Kakak. Papa, kapan aku menikah?"

"Uhuk ... uhuk ... apa?"

"Apa aku bisa menikah dengan Kakak?" tanya Theresia sekali lagi.

Ron membulatkan matanya mendengar pertanyaan anak itu. Sangat mudah untuk anak seusia Theresia menanyakan hal seperti itu pada orang tuanya.

"Sayang, kalian bersaudara. Tentu saja tidak bisa menikah, kau akan menikah dengan lelaki lain yang akan kau temui saat sudah dewasa nanti," jelas Ron.

"Kapan aku dewasa? Aku sudah tidak sabar."

"Hahaha, dasar kau ini! Beberapa tahun lagi kau akan dewasa, jadi bersabarlah."

Theresia terdiam dan menunjukkan wajah tidak sabarnya. Sembari menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulutnya. Theresia juga bergumam tentang suatu hal.

"Sayang, telan dulu makananmu, jangan berbicara saat makan."

"Baik, Papa.