webnovel

Part 37

Anne sudah siap untuk kembali ke Mansion Evacska. Ia mengepak pakaiannya dan beberapa barnag lainnya. Sia juga merapikan semua barangnya, mereka akan berpisah dan memilih jalan masing-masing.

"Kau yakin tidak ingin kembali ke Mansion bersamaku?" tanya Anne.

"Tidak, Anne. Sudah waktunya kau bahagia dengan keluarga kecilmu," ujar Sia.

"Apa yang harus aku katakan pada mereka?" tanya Anne.

"Katakan apa yang terjadi sebenarnya, aku yakin mereka akan mengerti," ujar Sia lagi.

"Baiklah. Terima kasih karena sudah menemani aku selama satu tahun di sini," ucap Anne.

"Hubungi aku sesering mungkin, aku akan merindukan dirimu dan Cio."

"Tentu saja, Sia. Cio juga anakmu," ucap Anne.

Mereka saling berpelukan, lalu sebuah mobil berwarna hitam datang untuk menjemput Anne. Sementara Sia menggunakan mobil miliknya untuk pergi ke bandara.

Anne duduk di bangku penumpang dan mobil itu akhirnya melaju menjauhi rumah yang sudah ia tempati selama satu tahun ini.

***

Mobil Range Rover berwarna hitam memasuki halaman Mansion. Granger yang sedang berada di samping Mansion membuang putung rokoknya, lalu mendekati mobil yang kini berhenti di depan pintu masuk. Granger membulatkan matanya saat melihat wanita yang keluar dari dalam sana.

"Nona Anne," ucap Granger lirih.

"Granger, aku kembali ... apa kabar?" tanya Anne.

"Nona, senang melihat kau kembali. Aku? Aku baik-baik saja," jawab Granger dengan bersemangat.

Granger membuka pintu utama Mansion, lalu mengikuti langkah Anne untuk masuk ke dalam Mansion. Anne langsung masuk ke dalam kamarnya dan meletakkan barangnya di sana. Ia melihat sekelilingnya, kamar itu masih sama dan tidak berubah sama sekali.

"Granger, di mana Abercio?" tanya Anne.

"Tuan Muda sedang keluar bersama Tuan Ron," jelas Granger.

"Baiklah, kau bisa kembali ke kegiatanmu tadi, aku ingin tidur sebentar."

"Baik, Nona."

Granger berjalan keluar dengan perasaan bahagia, lelaki itu sangat menantikan hari ini, hari di mana Anne kembali dan tinggal bersama lagi di dalam Mansion. Hanya saja, Granger tidak begitu menyukai keberadaan Ron. Hingga saat ini, ia masih saja menaruh rasa benci pada lelaki yang sangat dicintai oleh Anne dan Sia.

Beberapa jam berlalu, akhirnya Cio dan Ron tiba di Mansion. Mereka melangkah masuk ke dalam Mansion dengan perasaan senang karena bisa menghabiskan waktu bersama hari ini.

"Hai, Granger," gumam Ron.

"Tuan, Nona sudah kembali," ujar Granger.

Ron membulatkan matanya mendengar ucapan Granger, lelaki itu langsung berlari menuju kamar untuk menemui wanita yang selama ini ia cari.

Sampai di kamar, Ron melihat seorang wanita sedang tidur di atas ranjang. Perlahan lelaki itu naik ke atas ranjang, lalu memeluk tubuh wanita itu dari belakang. Ron juga mencium kepala bagian belakang wanita itu, hingga turun ke lehernya.

"Ehem, Ron ..," gumam wanita itu.

Mendengar suaranya membuat Ron sedikit kebingungan, tidak mungkin orang mati dapat hidup kembali. Ron membalikkan tubuh wanita itu perlahan, lalu melihat wajahnya dengan penuh ketelitian. Mata Ron membulat melihat Anne berada di hadapannya.

"Be-Anne?"

"Kau langsung mengenali aku, Ron? Aku senang sekali karena kau menyebut namaku," ujar Anne.

Ron melepaskan tangannya dari tubuh Anne, ia sedikit mengambil jarak dari wanita itu. Anne yang melihat reaksi Ron sedikit kecewa, Anne memberikan senyuman pada Ron. Lalu perlahan tangannya meraih tangan Ron.

"Ron, maafkan aku," ujar Anne.

"Ini tidak lucu, Anne! Kau mempermainkan kami," ujar Ron kecewa.

Anne terlihat mengerti dengan sikap Ron yang kecewa.

"Maaf karena Sia mengumumkan kematianku padamu. Sia hanya ingin melindungi aku," jelas Anne.

"Kau tahu betapa hancurnya diriku?"

"Aku tahu, aku minta maaf, Ron. Aku mohon jangan marah sebelum mendengarkan penjelasanku," ujar Anne.

Ron mencoba menenangkan dirinya. Ia turun dari atas ranjang, lalu duduk di sofa. Anne juga mengikuti Ron untuk duduk di sofa, dengan wajah yang penuh dengan penyesalan. Anne meraih wajah Ron dan menatap matanya dalam-dalam.

"Ron, aku mencintaimu. Aku kembali karena ingin membangun keluarga dengan dirimu," jelas Anne.

"Entahlah, Anne. Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu. Bagaimana bisa kau meninggalkan anakmu selama ini?"

"Ron, dengarkan penjelasanku terlebih dahulu."

"Untuk apa? Agar kau bisa mengarang bebas?"

"Ron, kau sungguh tidak ingin kita kembali bersama?"

"Entahlah, Anne. Selama kau tidak ada hanya Sia yang mengisi hari-hariku, maafkan aku. Sepertinya aku mencintai Sia, bukan dirimu."

Hati Anne terasa disayat. Tanpa sadar airmatanya keluar dengan deras. Anne tidak menyangka jika dampak dari kepergiannya akan sehebat itu. Harapannya untuk dapat kembali dengan Ron, kini menjadi sirna.

"Sia tidak akan kembali kemari," ujar Anne sesegukan.

"Ke mana Sia pergi?" tanya Ron.

"Ia menggantikan posisi Papa di Paris," jelas Anne.

"Kau pasti bisa menghubunginya saat ini, aku ingin kau melakukannya sekarang juga!"

Anne meraih ponselnya yang berada di atas nakas. Ia menekan nomor telepon Sia, lalu menghubungkan panggilan itu.

"Ada apa Anne?" tanya Sia dari seberang.

Anne memberikan ponselnya pada Ron, agar lelaki itu dapat berbicara dengan Sia.

"Sia," panggil Ron.

"Ron."

"Aku mencintaimu, kenapa kau pergi?"

"Bodoh! Yang kau cintai adalah Anne, bukan aku!" bantah Sia.

"Tidak, Sia. Aku mencintaimu, kedekatan kita selama beberapa tahun ini membuat kepalaku selalu memikirkan dirimu," ujar Ron.

"Tidak, Ron. Aku akan segera menikah dengan lelaki lain di sini. Berbahagialah bersama Anne," ujar Sia.

Sambungan telepon itu terputus, Ron menjatuhkan ponselnya lalu terduduk di atas lantai. Anne melihat semua itu, hatinya terasa sangat sakit saat ini. Anne tetaplah wanita kuat yang penuh dengan ambisi dan keegoisan. Wanita itu tidak akan menyerah begitu saja untuk mendapatkan hati Ron kembali,

"Ron, aku akan memulai semuanya dari awal lagi," ucap Anne.

"Terserah," jawab Ron.singkat.

Lelaki itu beranjak dari tempatnya lalu keluar dari kamar. Ron berjalan menuju pintu keluar dan akhirnya ia pergi entah ke mana.

Sementara Anne yang kini hanya terdiam di kamar memilih untuk kembali naik ke atas ranjang dan memejamkan matanya.

Pintu kamar itu terketuk perlahan, Anne yang mendengar suara itu mengizinkan orang yang mengetuk pintu untuk masuk.

"Mama ... Mama Anna," panggil Cio.

"Abercio ... anakku," ucap Anne.

Anak itu berjalan dengan perlahan mendekati Anne. Sementara Anne dengan tersenyum dan merentangkan kedua tangannya menyambut anaknya. Keduanya saling berpelukan, meluapkan rasa rindu yang sudah tertahan beberapa tahun.

"Apa kabar, sayang?" tanya Anne.

"Baik, Mama."

"Selama ini Mama hanya bisa melihatmu dari layar ponsel, tetapi kini Mama bisa memelukmu secara langsung," ujar Anne.

"Mama, akhirnya kau kembali," ucap Cio.

"Ya, Mama akan terus berada di sisimu, sayang."

"Mama, aku harap kau tidak akan pergi lagi seperti sebelumnya," ujar Cio.

"Tidak akan, sayang. Mama akan selalu ada di sampingmu."

Anne melepaskan pelukannya, lalu mencium seluruh wajah Cio. Ia juga tidak percaya jika anaknya sudah sangat bedar saat ini. Benar saja, usia Cio menginjak delapan tahun. Dan selama itu, Cio mengetahui kondisi Anne melalui ponselnya.

"Papa ke mana?" tanya Cio.

"Entahlah ... Papa sangat marah pada Mama," ujar Anne.

"Jangan khawatir, Papa sangat mencintai Mama."

"Benarkah?"

"Tentu saja, Papa selalu memimpikan Mama setiap hari," ujar Cio sekali lagi.

Senyum Anne mengembang kala mendengar penuturan anaknya. Ia tidak menyangka jika hal itu akan mengembalikan perasaan khawatirnya. Anne mendengarkan cerita Cio tentang kehidupan mereka sehari-hari. Hingga jam makan malam datang.