webnovel

Part 17

Pukul tiga pagi hari, Alana terbangun. Ia ingin pergi ke kamar mandi, tetapi membutuhkan waktu untuk menyingkirkan tangan Ron yang masih melingkar pada tubuhnya. Setelah berhasil lepas dari Ron, Alana masuk ke dalam kamar mandi.

Baru saja ia ingin keluar dari kamar mandi. Langkahnya tertahan karena melihat Ron yang sudah berdiri di pintu dengan senyumannya.

"Kau meninggalkanku?" tanya Ron.

"A-aku hanya ... maaf, Tuan," jawab Alana takut.

Ron berjalan mendekati Alana. Ia menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik wanita itu. Ron mengangkat dagu Alana agar menghadap wajahnya. Ia melumat bibir Alana dengan lembut. Saat Alana ingin melepaskan ciuman itu, justru Ron menekan tengkuknya dan semakin memperdalam ciumannya.

Tangan Ron sudah bergerilya meremas dada Alana. Memijat dan memilin putingnya dengan gerakan lembut. Setelah puas, tangannya turun membelai bagian perut Alana hingga membuat tubuh indah itu bergerak karena geli.

Tangannya kini menggesek area sensitif wanita itu. Dan satu jarinya sudah bersarang di dalam pusat gairah Alana.

"Ehem," desah Alana.

Ron mendorong tubuh Alana hingga menempel pada dinding. Ia menaikkan satu kaki alana untuk melingkar pada pinggulnya. Ron menambahkan satu jari lagi dan memperdalam jarinya hingga menyentuh dinding rahim Alana.

"Ahhh," desah Alana.

"Kau begitu nikmat, jadilah wanitaku untuk memuaskan nafsuku," ujar Ron.

"Tuan, ahhh ... aku tidak bisa," jawab Alana.

"Kalau begitu puaskan aku beberapa hari ini, aku akan memberikan apapun yang kau butuhkan."

"Ahh, Tuan. Yeah, ahhh ... baiklah."

Ron mengaduk liang senggama Alana dengan brutal. Membuat wanita itu terus mendesah dan mengeluarkan cairannya berkali-kali.

Tak sampai disitu, Ron juga memasukkan kejantanannya dan memompa tubuh Alana. Hingga permainan panas itu berlangsung selama tiga puluh menit.

Ron menggendong tubuh Alana yang sudah lemas kembali keatas ranjang. Alana hanya bisa pasrah menerima serangan yang Ron lakukan padanya. Hingga tubuh Ron menegang dan ia kembali mengeluarkan cairan kentalnya di dalam rahim Alana.

"Kau sungguh nikmat, Alana."

Alana hanya tersenyum, mereka memutuskan untuk kembali memejamkan mata dan terlelap.

Paginya Ron terbangun karena suara ponselnya yang terlalu berisik. Ia melihat nama Casie pada layar ponselnya.

"Hemm," ucap Ron.

"Kau di mana? Bukankah hari ini akan ada meeting penting!" omel Casie.

"Iya, nanti siang di kantor. Aku akan datang," ujar Ron.

"Baiklah, jangan sampai terlambat."

Tut.

Ron melihat kesamping, Alana masih memejamkan matanya. Wajahnya sungguh mengingatkannya pada Anne.

"Sedang apa kau sekarang, Anne?" gumam Ron. sembari membelai surai hitam Alana.

Alana sedikit terganggu dengan kegiatan Ron. Ia menbuka matanya lalu tersentum pada lelaki disampingnya itu.

"Bersihkan dirimu, lalu ikut aku!" titah Ron.

***

Ron membeli apartemen mewah untuk Alana. Ia akan mengurung wanita itu di sana hingga merasa bosan.

"Tuan, kenapa aku dibawa kemari?" tanya Alana.

"Tinggal di sini hingga ku izinkan kau pergi."

"Apa? Tidak, aku harus pergi sekarang!" protes Alana.

Ron menarik Alana untuk masuk ke dalam kamar. Ia mengunci pintu kamar itu dan meninggalkan Alana di sana. Alana yang panik terus memanggil nama Ron dan menggebrak pintu kamar berkali-kali.

Sayang, pintu kamar itu tak terbuka. Dan hanya kesunyian yang Alana dapatkan. Ron sudah pergi menuju kantornya untuk meeting bersama colega.

Sampai di kantor, ia sudah rapi dengan setelan jas hitam. Karyawan di sana menyapanya dengan ramah, tentu saja Ron membalas sapaan itu. Ia berjalan menuju ruang kantornya yang berada dilantai lima belas menggunakan lift.

Sampai di lantai yang dituju, Ron masuk ke dalam ruang kantor yng cukup besar. Di sana sudah menunggu sang manager, yaitu Casie. Tak hanya sebagai manager, Casie juga merangkap sebagai sekertaris Ron.

"Semua berkas sudah siap dan sudah kuperiksa. Kau hanya tinggal membaca ulang saja. Dan darimana saja kau?" tanya Casie.dengan tegas.

"Aku hanya sedang bermain, tenanglah."

"Cih," desis Casie.

"Kau perlu mencari sosok lelaki, Casie. Agar kau tak terlalu mengkhawatirkan diriku," goda Ron.

"Dasar!"

"Hahaha."

Ron kembali fokis pada berkas di hadapannya. Ia membaca semua dengan teliti dan mencerna setiap kalimat di sana. Bisnisnya memang sudah berjalan lama, tetapi baru kali ini ia memegang secara langsung.

Tak lama kemudian ia membaca sekilas nama pimpinan Evacska. Annemarie Jeslyn Evacska, nama yang familiar untuk Ron. Nama yang selalu terngiang dikepala Ron. Nama wanita yang sedang mengandung anaknya. Rasa cinta dan menyesal kini muncul dalam diri Ron. Ia tahu jika meeting kali ini tidak akan bertemu dengan Anne. Karena kondisi kehamilan Anne, biasanya Layla sebagai asisten yang menggantikannya.

"Casie, apa kali ini yang datang adalah Layla?" tanya Ron.memastikan.

"Sepertinya, iya. Aku bahkan sangat sulit untuk berhubungan secara langsung dengan Anne."

"Ya, aku tahu itu. Anne tidak akan turun selama ia hamil. Wanita itu sedang menjaga kondisinya," jelas Ron.

Casie mengangguk, ia kini melihat ke arah jam tangannya. Waktunya untuk masuk ke ruang meeting. Casie membawa berkas yang dibutuhkan untuk meeting. Ron beranjak dari tempatnya, berjalan menuju ruang meeting di lantai lima.

"Casie, untuk beberapa hari kedepan aku akan tidur di apartemen baruku," ujar Ron.

"Hah? Kenapa tiba-tiba?"

"Aku membeli apartemen itu untuk membantu seseorang, jika sudah bosan akan ku jual lagi," jelasnya.

"Hemm, baiklah. Apa kau membutuhkan bantuan untuk memindahkan barang?" tanya Casie.menawarkan diri.

"Tidak, di sana sudah ada beberapa pakaianku, kau tak perlu repot."

"Hemm, baiklah."

"Jika kau ingin menemui aku, hubungi aku dulu lewat telepon."

"Kenapa begitu? Memangnya kau tinggal dengan siapa di sana?" tanya Casie.ingin tahu.

"Hemm, sendiri. Aku hanya tak ingin banyak orang tahu tentang apartemen itu. Aku akan menjadikan apartemen itu sebagai tempat istirahat."

"Oke, terserah kau saja."

Pintu lift terbuka, mereka melangkah keluar dari sana dan menuju ruang meeting. Saat masuk ke dalam ruangan itu. Ron melihat Layla, wanita itu datang seorang diri. Ron tersenyum padanya, ia juga ingin menanyakan keadaan Anne. Hanya saja terlalu banyak orang di sana, Ron menahan hal itu.

Meeting berjalan selama dua jam, setelah selesai dan ruangan itu berangsur sepi, Ron melihat Layla masih duduk di tempatnya. Seperti ada yang ingin disampaikan oleh wanita itu pada Ron.

"Kau ingin bicara sesuatu?" tanya Ron.ada Layla.

"Ya," jawabnya singkat.

"Casie, tinggalkan kami berdua."

"Baiklah."

Casie memilih untuk keluar dari ruangan itu. Kini tinggalah Ron dan Layla yang duduk berseberangan.

"Bagaimana keadaan Anne?" tanya Ron.

"Nona baik-baik saja, usia kandungannya sudah memasukin bulan ketujuh."

"Apakah ia sudah tau jenis kelamin anaknya?"

"Nona sengaja tidak ingin tahu, ia akan menerima apapun jenis kelamin anaknya kelak."

"Lalu, apa yang akan kau sampaikan padaku?"

"Nona ingin berbicara padamu, tunggu sebentar lagi."

Tak lama kemudian terdengar dering ponsel Layla. Ia menerima panggilan telepon itu. Lalu ia memberikan ponselnya pada Ron.

"Hi," gumam Ron.

"Ron, apa kabarmu?" tanya Anne diseberang sana.

"Baik, bagaimana denganmu?"

"Aku baik, sepertinya kau sudah menemukan wanita lain."

"Kau masih saja memataiku, Anne."

"Apa kau sudah normal?"

"Aku ... sudahlah."

"Wanita itu memiliki keluarga yang sedang sekarat di rumah sakit, Ron. Dan kemungkinan nyawa saudaranya itu sedang kritis. Kau yakin masih mau mengurung wanita itu?"

"Haahhh ... baiklah, akan kulepaskan wanita itu."

"Bagus, kau tau? Kekasihemu sedang mencari tahu tentang kehidupanmu beberapa hari ini. Berhati-hatilah jika kau tak ingin kehilangan Fabio."

"Ya, terima kasih atas infonya."

"Kenapa?"

"Tidak apa-apa."

"Baiklah, aku sudah selesai. Terima kasih atas waktumu, Tuan Ron."

Tut.

Ron mengembalikan ponsel Layla, ia menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Aku permisi, Tuan,"

Layla beranjak dari tempatnya, wanita itu keluar begitu saj tanpa peduli dengan Ron yang terlihat kesal.

Ron menenggelamkan wajahnya diantara kedua tangan. Ia memikirkan tentang perkataan Anne mengenai Alana. Dan Ron baru saja ingat jika ia meninggalkan Alana dengan pintu kamar yang terkunci.

Lelaki itu berlari menuju lift dan keluar dari kantornya dengan terburu-buru. Ron mengambil mobilnya di basement, lalu melajukannya menuju apartemen.

"Argh! Sial! Sialan! Kenapa kau harus muncul Anne!" teriak Ron di dalam mobil.

Ia mencoba untuk fokus pada jalanan kota. Dan setelah sampai di apartemen, Ron berlari menuju kamarnya di lantai sepuluh.

Ron membuka pintu kamar lalu menemukan Alana tergeletak dilantai. Ron menggendongnya untuk direbahkan diatas ranjang. Lelaki itu melihat wajah pucat Alana, seketika ia tersadar bahwa wanita itu belum makan sejak kemarin. Ron mengumpat dalam hati, ia membodohkan dirinya sendiri.

"Hei, bangun."

"Ehem."

Ron memesan makanan dan memanggil dokter untuk datang ke apartemennya. Selama menunggu, Ron hanya duduk menemani Alana. Tubuh lemah wanita itu membuat Ron takut, ia seperti melihat Anne yang sedang sakit.

"Sadarlah," gumam Ron.

Beberapa saat kemudian, seseorang datang membawa makanan pesanan Ron. Ron membawa makanan itu ke dapur untuk dipindahkan ke atas piring. Lalu ia membawanya kekamar untuk disuapkan ke Alana.

"Hei, bangunlah. Makan dulu," ujar Ron.

Alana mencoba membuka matanya, ia terlihat sangat lemah saat ini. Bahkan untuk bergerak saja tak ada tenaga sedikitpun. Ron membantunya agar bisa duduk bersandar badan ranjang. Perlahan lelaki itu menyuapi Alana agar memiliki tenaga lagi.

"Sebentar lagi dokter akan datang, setelah kondisimu sehat kau bisa pergi," ujar Ron.

Alana mengangguk, ia sedikit terheran pada lelaki di hadapannya itu. Beberapa jam lalu, Ron begitu keras padanya. Namun, saat ini seperti bukan Ron karena sikapnya sungguh berbeda.

Alana tersenyum melihat Ron, sepertinya wanita itu mulai menaruh hati pada lelaki di hadapannya. Ia merasa bahwa Ron memiliki sisi baik yang akan membuatnya bahagia. Saat itu juga Alana memutuskan untuk menurut saja pada Ron.