webnovel

Wanita Yang Gantung Diri

Namun mataku menangkap tamu tak diundang. Eh, mana mungkin tidak diundang datang ke sini. Lebih tepatnya bukan aku yang mengundang.

"Bambang!" sebutan nama itu mengalir dari bibirku tanpa sadar. Bambang menoleh, sorot matanya masih seperti dahulu. Sendu penuh cinta. Bullshit. Cinta darimana? seenaknya menampilkan kemesraan di depan kekasih sendiri, itu namanya bukan cinta. Pantas saja dia tidak pernah berniat membawaku ke pelaminan, meskipun seluruh keluarga Hartono menyetujui hubungan kami.

Papa Denis lagi di luar kota. Hanya Mama Nesa yang akan datang. Apa mereka datang bersamaan. Maksudku Bambang dan mama? di mana mama?

"Nay," panggil seseorang dari arah berlwanan. Aku menoleh ke sumber suara.

"Mama," teriakku kecil. Mama Nesa berdiri tak jauh dariku. Tersenyum ia merentangkan tangan. Aku sedikit berlari kecil memeluknya.

"Mama ih. kangen!" celutukku spontan. Jujur sih aku memang beneran kangen sama Mama Nesa.

"Kangen sama mama apa sama mantan tu?" goda mama melirik ke arah Bambang. Mama Nesa memang tidak tahu menahu apa penyebab kandasnya hubungan kami berdua. , Keluarga Hartono sangat menghargai privasi. Begitu juga baginya. Aku tidak pernah mengatakan apapun pada mama, pun begitu ia tak pernah bertanya. Sangat wajar saat ini ia menggodaku seperti itu.

"Mama ah, Nay kan udah punya Fathan." Aku menjawil pinggang mama. Merindukan kemesraan dan kehangatan yang dulu diberikan keluarga Hartono padaku.

"Punya apaan, dari masuk tadi mama liat mata kamu ngak lepas tu dari si mantan," ucap wanita cantik itu lagi. Mengelus pucuk kepalaku.

"Mama mulai deh, lagian dia kan udah punya si Karin," rajukku berekspresi manyun.

"Rindu itu hal biasa, yang penting kamu tetap jadi istri sholeha buat Fathan. Menjalankan peran yang baik sebagai ibu rumah tangga. Mama bahagia ... banget pas tau kalau kamu itu ambil baby. Moga kepancing yang dari sini." Mama mengelus bagian perutku.

"Aamiin." tanpa sadar aku mengaminkan doa mama. Semenit kemudian aku menyesali kata amin itu, Ah, siapa tau aku beneran bisa hamil. Ngak papa toh aku memang menginginkan anak lahir dari rahim ini. Meski bukan dari Fathan, aku yakin suatu hari akan ada lelaki baik lebih dari Fathan maupun Bambang.

Tunggu saja, misi penyelidikan ini selesai.

"Oh iya, sejak putus sama kamu Bambang tidak pernah membawa teman perempuannya ke rumah. Si Karin-karin itu juga gak tau di mana keberadaannya."

"Papa Denis mana, Ma?" tanyaku basa-basi, mengalihkan topik yang sangat membuatku tidak nyaman, padahal aku sudah diberitahu Fathan papa sedang ditugaskan oleh perusahaan berangkat ke Sidoarjo.

"Pasti kangen makan kepiting bareng papa. Tapi, ngak usah risau, mama bawain kamu satu kuali besar kepiting dengan rasa resto berkelas." Topik basi itu akhirnya teralihkan.

"Mama serius?" tanyaku takjub. Sudah hampir dua tahun aku tidak lagi pernah makan kepiting bareng papa Denis. Kepiting makanan kesukaan kami berdua. Mama, Bambang bahkan seluruh keluarga Hartono tidak menyukai masakan laut. padahal mereka orang-orang berkelas.

Bambang alergi kepiting, udang dan sejenisnya. Mungkin juga Tuan Hartono serta keluarga lainnya. Mereka tak tampak datang. Bisa jadi punya kesibukan bisnis. Aku tak bertanya.

"Mana sejak nikah kamu ngak pernah main ke rumah. Segitu sibuk sampai lupa sama rumah sendiri. Hayooo takut ketemu mantan ya," goda mama Nesa lagi. Masih seperti dahulu. Mengelus-elus kepalaku.

Ya, sedari kecil Bambang memang sangat dekat dengan Mama Nesa daripada Bu Verna--ibu kandungnya. Yang tak lain istri dari Hartono. Sangat lumrah memang kedekatan antara keponakan dengan bibinya daripada ibu sendiri.

"Eh ngomong-ngomong mana Riez? mama mau gendong." Atensiku teralihkan. Ini saatnya melihat ekspresi mama Nesa ketemu Riez. Apa yang ada di pikiranku saat ini sama, jika dugaan firasat ini benar. Artinya lelaki misterius yang memberikan aku kalung liontin itu adalah ayah kandung Riez.

"Sama tante Yona tadi, Ma, Riez udah mulai lengket sama tante Yona." aku berpaling menuju kamar, mata ini menyusuri semua sisi. Tante Yona tampak sedang menukar diapers Riez dengan telaten di atas ranjang.

"Nih Riez udah siap. Kamu gendong biar nanti ustadz nyukur rambutnya sekalian. Orang-orang juga bisa langsung liat Riez. Jangan lupa Nay. Meskipun kita tinggal di komplek orang-orang modren tapi kamu bisa menahan hiburan untuk band anak muda dan kibot itu setelah zuhur saja," pesan Tante Yona. Aku mengangguk, mengiyakan.

Tentu saja aku kabulkan. Hiburan seni dan para undangan band ternama kota ini sudah hadir sejak pagi. Tapi hiburan yang sengaja didatangkan oleh Fathan itu belum mulai menghibur tamu. Karena, pagi hingga menjelang siang, ustadz dan khataman memegang acara. Lagian kami baru menginjak dua tahun tinggal di perkomplekan ini. Harus pandai-pandai berbaur. Hal berbau religius seperti ini membuat aku kadang goyah. Sukar percaya apakah Fathan memang sejahat yang aku prediksikan?

Fathan sangat suka hidup berbau agamis. Bahkan ia menyuruhku untuk berjilbab secara syari. Jilbab lebar. Seperti tante Yona.

Aku membawa Riez ke depan. Tante Yona memang baik banget, apa ya tanggapannya kalau mereka tahu Fathan tidak sebaik yang mereka duga? Tapi ... ah, aku dilanda ragu kali ini. Apa benar Fathan itu ... ?

Bukti-bukti itu. Ya Allah, kepalaku mendadak mumet.

Ngapain juga aku pikirin. Biarin, ntar juga semua bakal ketahuan.

Kulihat sekilas Bambang dan Fathan asik berbincang. 'Dasar satu server' Aku lebih mempercayai bukti nyata. Bisa saja kan, sikap Fathan sok alim hanya sekadar kepura-puraan. Bukti kalimat tentang kesepakatan Bambang dan Fathan adalah kunci yang harus aku temukan.

Kurang ajar banget mereka berdua. Fix Fathan yang mengundang Bambang. Tunggu saja. Ada masa kedok keduanya terbongkar.

"Wah, cucu oma, sini oma gendong!" mama Nesa meraih Riez. Sedetik kemudian ia terdiam lama. Lama sekali, matanya mulai berkabut. Aku menangkap setitik bening di sudut matanya.

"Dia ganteng ya, Nay," ucapnya menyembunyikan kesedihan.

"Mama merasa kalau Riez mirip seseorang?" tanyaku penasaran dengan ekspresi sedih itu. Apa selama aku tinggal di keluarga Hartono banyak hal yang tidak aku ketahui. Bagaiamana bisa aku mengetahui hal rahasia, selama berbaur dengan mereka aku hanya fokus kuliah.

"Ya, dia mirip Papa Denis," ucap mama pelan. Tapi aku menangkap raut lain dari wajah itu. Riez memang mirip Papa Denis tapi mengapa wajah mama berkabut mengucapkannya.

"Bukannya dulu orang-orang juga bilang Nay mirip papa," pancingku agar Mama Nesa lebih banyak bicara. Ya, aku ingat. Bukan cuma mirip papa, bahkan warga sekantor menyatakan aku pasti berjodoh dengan Bambang karena ada sedikit kemiripan pada wajah kami.

"Iya juga sih. Padahal kamu lahir dan besar di panti. Mama juga heran kok bisa ya mirip sama papa. Ya udah. Anggap saja ini anugerah dari Allah, kamu ditakdirkan bagian dari diri mama sama papa. Walau tak berjodoh dengan Bambang, padahal mama dan Om Hartono sangat menginginkan kamu jadi menantunya. Malah waktu itu kabarnya Om Hartono bakal ngelanjutin kuliah esdua kamu. Eh malah kawin sama si Fathan, kan kaget sekeluarga."

"Ya ampun, Nay. Aku cariin ke dapur malah di sini rupanya." Gebi berdiri dengan sepiring kepiting. Dia juga penggemar berat seafood.

"Ya ngak mungkin aku di dapur, Geb. Ntar tamu pada nyariin."

"Ada berita penting. Nay," ucap Gebi seakan berbisik.

Aku dan juga Mama Nesa menanti penasaran dengan apa yang akan ia ucapkan.

"Berita apaan sih, Geb. Sampai kamu gemetaran gitu."

"Liat koran hari ini, portal media online juga ada." Gebi memberi ponselnya untuk kulihat.

"Perempuan yang gantung diri di rumah Mak Jum namanya Karin. Bukannya kamu kenal dengan Karin, Nay?"

"Apa Karin!" teriakku spontan

Bukan cuma seisi ruangan, Bambang dan Fathan ikut menoleh ke arahku.