webnovel

Akikahan Riez

"Lah ... kan emang udah selesai."

"Tapi belum kamu ambil dari capil."

"Ya ampun, Geb. Segitunya kamu cemas. Waktu kita belanja emang belum, kan tinggal ngambil. Semua administrasi sudah kelar. Sekarang ya jelas sudah ada sama aku. Apa aku perlu vidcall biar kamu liat. Ada-ada saja kamu ini." Entah mengapa kalimat Gebi yang begitu cemas menular padaku.

Tanpa alasan yang jelas aku menuju lemari pakaian. Membuka loker kecil semacam kotak rahasia. Hanya aku sendiri yang mengetahui password kotak besi berisi surat-surat berharga termasuk akta kelahiran baby Riez. Memutar knop. Aku bernapas lega. Akta Riez ada di dalam sana.

Huh. Gara-gara Gebi aku jadi phobia cemas. Aku sengaja memindahkan panggilan suara ke panggilan video untuk menunjukkan pada Gebi akta itu. Agar ia tidak kawatir lagi.

"Oh. Ya sudah. Aku jadi tenang. Tau gak Nay. Ada sekitar empat belas mayat bayi ditemukan di belakang rumah Mak Jum."

"Hah. Innalilahi ... kok bisa? bukannya Mak Jum membantu orang-orang yang tidak bisa melahirkan karena kendala biaya. Dia juga acap membantu orang-orang yang tidak beruntung soal keturunan." Aku kaget bukan main mendengar penuturan Gebi.

Sambil berbincang, aku kembali menyusun akta itu ke dalam brankas besi. Entah mengapa kali ini aku celingak-celinguk kiri dan kanan takut ada yang mengintip saat aku menekan password. Benar-benar terbawa suasana mencekam dari kekawatiran yang Gebi sampaikan. Bahkan aku memutar arah kamera agar Gebi juga tidak melihat. Astaga segitunya aku.

"Kamu benar. Aku juga mengenal Mak Jum orang baik. Tapi tadi pagi banyak polisi mengeksekusi mayat-mayat bayi di belakang rumahnya. Aku udah lama tetanggaan sama Mak Jum. Dia tukang pijat yang tak pernah meminta biaya persalinan dengan patokan. Kecuali bayi yang mau diadopsi orang, itupun atas persetujuan ibu si bayi. Bukan Mak Jum yang mau jual anak tapi ibu si bayi itu sendiri, makanya aku dan warga di sini kaget banget, kok bisa-bisanya ada banyak mayat bayi-bayi di belakang rumah Mak Jum. Setau aku cia orang baik."

Aku percaya pada Gebi. Mak Jum orang baik. Selama aku ikut terapi pijat di rumahnya tidak ada gelagat Mak Jum jahat. Bahkan sewaktu aku di pijat ada beberapa pasang anak muda yang datang minta aborsi Mak Jum menolak. Rasanya sangat mustahil Mak Jum berani menanam bayi-bayi tak berdosa itu.

Apa motif perempuan gantung diri itu belum diketahui. Aku jadi makin penasaran.

"Gegara kamu ya, Geb. Aku jadi ikutan kena virus kawatir, tau nih si Gegeb. Nyampein berita segitu amat sampai gemetaran."

"Kamu kayak ngak kenal aku. Coba aja kamu di sini. Liatin polisi menggotong mayat-mayat bayi pasti gemetaran juga."

"Ya sudahlah. Biarkan jadi urusan yang berwajib." Aku mode malas berpikir. Sudah terlalu banyak yang harus aku pikirkan. Jangan nambah lagi deh.

Jika Mak Jum tak bersalah pasti hukum akan berpihak padanya. Riez sudah aman. Legalitasnya juga aman.

"Tidak ada yang perlu kita takutkan. Aku justru takut kamu jomblo kelamaan,' ujarku mencoba berkelakar.

"Kamu ya. Awas kalau dekat kutoyor pakai bakso level sembilan."

"Oh ya. Jangan lupa kamu empat puluh jam di rumahku mulai besok, Geb. Hari minggu Riez akikahan."

"Jangankan empat puluh delapan jam, tiap hari juga kita sama-sama. Bedanya kamu sekarang udah istri bos. Lah ... aku? Jomblo karatan." Gebi ngakak. Suara yang tadi sempat ketakutan hilang.

"Nay, kamu gak jadi nyelidikin Fathan? Dua suruhan udah aku boking. Eh Kamunya gak ada kabar." Aku terdiam. Suara Gebi kembali berubah serius.

Mengikuti saran Malik. Akhirnya aku harus menerima dua utusan yang disarankannya. Rubi dan Boni. Aku berpikir tidak mungkin Malik berkhianat. Secara aku banyak membantu istrinya Zahra.

Bahkan biaya persalinan operasi Zahra aku beri cuma-cuma. Waktu itu aku masih gadis. Malik sudah menikah. Rasanya angka persentase khianat juga nol di diri Malik.

Sedangkan Gebi cuma sahabat. Justru ia sering membantuku, dan aku bisa dihitung pakai jari jadwal membantunya. Sangat tidak imbang, sampai aku berpikir Gebi tidak butuh bantuan teman. Hidupnya mulus tanpa kerikil yang berarti.

Jadi, berdasarkan pemikiran dan pertimbangan. Aku memilih mengikuti saran Malik. Walau sedikit ada rasa segan mengabaikan Gebi sebagai teman.

"Untuk saat ini aku sedang melihat situasi dulu. Baru bertindak, Geb. Aku takut salah sasaran." Alasan yang masuk akal. Semoga Gebi tidak tersinggung karena aku mengabaikan orang suruhannya.

"Ya, gak papa. Apapun itu yang penting kamu tenang. Bisa memecahkan semua masalah yang kamu hadapi."

"Makasih ya, Geb. Aku bersyukur punya sahabat kayak kamu."

"Hadeuh. Lebai. Ya dah, aku tutup telpon sampai jumpa besok. Siapin kue dadar kesukaanku."

"Siap. Entar di sini kita ngobrol lagi. Kangen tau."

"Heleh. Kangen katanya. Kalau ngak aku yang nelpon, kamu ngak bakal nelpon sampai lebah punya hari lebaran."

"Kok Lebah sih?"

"Lah, kalau lebah lebaran kan madu bakal banyak, siapa tau makin banyak pelakor."

"Ishh, apa hubungannya, kamu mau nyobain jadi pelakor?" tembakku menyindirnya yang lama melajang.

"Boleh juga kalau yang mau dilakorin sekelas Lee Min Ho." Aku tertawa kecil mendengar jawaban Gebi.

"Nikah noh, sana. Biar ngak ngehalu melulu," cibirkku pasti tidak terlihat oleh Gebi.

"Aman. Aku susah untuk jatuh cinta, Nay. Yang pertama masih terbayang-bayang," jawab Gebi dengan nada lebai. Entah dia serius atau tidak aku menanggap kalimat gagal move on dari Gebi.

Ini juga salah satu yang membuat aku heran. Sebagai teman Gebi jarang sekali curhat mengenai kisah cintanya, maksudku ia tidak pernah secara gamblang mengakui siapa lelaki yang pernah singgah di hatinya.

"Udahan ya, aku mau order makan nih, besok jangan lupa curhat," ujarnya sebelum benar-benar menutup komunikasi.

Gebi benar sih. Setelah masalah ini ada. Aku jarang bercerita apapun dengannya. Aku hanya sedang berada di zona kurang mempercayai orang-orang. Jika suamiku sendiri pengkhianat. Lalu, apa aku harus percaya dengan orang lain.

"Oke, Geb. Sampai ketemu besok."

Aku mengklik gambar telepon merah di layar, menutup komunikasi dengan Gebi. Tapi pikiranku tidak serta merta teralihkan. Kasian sekali perempuan bunuh diri itu. Pasti dia sangat tersiksa. Aku yakin itu perempuan sedang mengandung. Bayi tak berdosa, akhirnya ikut ke akhirat bersama ibunya. Miris.

Beginilah zaman sekarang. Banyak perempuan diuji kesetiaannya karena belum memiliki anak. Tapi yang diberi karunia itu justru banyak menyia-nyiakan.

(Mbak, aku sudah menemukan Irma. Besok aku datang acara akikahan Riez. Kita bahas di sana.)

Pesan dari Malik. Segera mungkin kuhapus takut terbaca Fathan.

*

Hari ini acara akikahan Riez. Mama Desi, ibunya Fathan pagi sekali sudah muncul di rumah. Aku memberi salam pada mertuaku itu. Fathan sedang bersiap baru selesai mandi di kamar. Papa mertua tidak ikut. Tumben. Meskipun baru beberapa kali bersua. Aku tau Papa mertua tidak pernah mau tinggal.

"Papa mana, Ma?" tanyaku penasaran.

"Papa, eh. Nanti saja kita bicara setelah selesai acara Nay. Mama ngak mau ganggu acara ini. Ini acara bahagia kamu, sayang." Seperti biasa mama mertua mengelus kepalaku.

Menyerahkan bungkusan kado berwarna biru. Mama selalu berusaha menyenangkan aku dengan memberi apa yang kusuka. Biru warna kesukaanku.

"Makasih, Ma."

"Itu rajutan hasil karya mama sendiri. Khusus untuk Riez. Semoga Riez bisa menjadi anak yang merajut kasih sayang untuk kalian berdua. Mama tidak mempermasalahkan tentang anak. Cukup kamu dan Fathan rukun sampai menua sudah hadiah terindah buat mama."

Ah, senangnya punya mertua seperti ini. Matanya berkaca-kaca. Memelukku, lalu mencium dua pipiku.

"Kamu yang sabar ya, in sya Allah Riez segera punya adik. Mama selalu doain Fathan juga kamu."

"Aamiin," jawabku tersenyum, membawa mama ke dalam rumah.

"Hei, Des. Jam berapa berangkat dari sana?" Tante Yona keluar dari kamar Riez. Aku memang sengaja menyuruh Tante Yona menginap di sini.

Tante Yona aku belikan baju stelan mirip denganku. Ia juga menyambut kakaknya di depan pintu kamar Riez yang terhubung ke ruang tamu.

Gebi di kamar tamu bersama Bik Onah. Semua makanan kupesan secara catering. biar tidak merepotkan, belum lagi harus menata rumah karena beberapa pegawai dari perusahaan Fathan akan turut hadir. Mak lampir baru itu pasti datang juga. Aku mau liat reaksinya di sini melihat Fathan bermesraan denganku sebagai suami istri.

Namun mataku menangkap tamu tak diundang.