webnovel

Pilihan Baru

James langsung memotong perkataan Cass saat ia mengaku bertemu dengan Angelica Silvester. Cass pun berhenti bicara dan menatap ayahnya. Menurut Cass, ayahnya adalah salah satu yang termakan omongan Rei soal Angelica.

"Dad, aku hanya ingin kamu mengerti."

"Soal apa?" potong James cepat dengan raut yang sama. Cass menghela napas panjang dan mulai kesal.

"Kenapa aku tidak boleh bersama Angelica?" sahut Cass dengan nada yang agak tinggi. James menaikkan kedua alisnya bersamaan mendapatkan pertanyaan seperti itu. Ia tahu seperti apa Angelica. Meskipun James tidak ingin mengenalnya secara pribadi dan langsung tapi cerita yang diberikan Jewel dan Rei lebih dari cukup.

"Kenapa kamu harus bersamanya? Bukankah dia sudah menikah?" balas James membuat Cass terdiam. James makin menaikkan intensitas bicaranya pada Cass jika sudah bicara soal Angelica.

"Cass, berhubungan dengan wanita yang sudah menikah adalah sebuah kesalahan besar. Itu namanya perselingkuhan!" tambah James memperingatkan Cass sekali lagi.

"Bagaimana jika dia bercerai?" Cass makin membuat kernyit di kening ayahnya bertambah.

"Kamu punya banyak pilihan, Nak. Ribuan bahkan ratusan ribu wanita di kota ini untuk kamu pilih, kenapa kamu harus bersama dia?" James sampai merentangkan tangan ke arah pintu seolah menggambarkan pada Cass bahwa di luar sana banyak pilihan untuknya.

"Aku mencintai dia, Dad!"

"Tidak, dia membuatmu tidak bisa berpikir lurus saat ini, Cass" bantah James memotong dengan cepat. Cass langsung mendengus dan menundukkan kepalanya. Ia benar-benar kesal terus dihalangi oleh semua orang untuk bisa bersama Angelica.

"Tidak adakah orang yang bisa mengerti aku? Aku juga ingin menikah, hidup bahagia dengan orang yang aku cintai!" tukas Cass masih melawan ayahnya. James diam memandang tajam pada Cass dengan raut begitu serius. Cass hanya bisa menggelengkan kepalanya dan membuang pandangannya ke arah lain.

"Posisimu sekarang adalah pewaris Belgenza, Cass! Jangan sampai wanita seperti Angelica memanfaatkan cintamu untuk kepentingannya. Cass, kamu adalah pria yang sempurna, dan Angelica tidak pantas mendapatkan itu!" ujar James mencoba membuat Cass mengerti dengan posisinya.

"Lalu siapa yang pantas?" sahut Cass berniat menyindir dengan rasa kesal.

"Bukalah hatimu untuk wanita lain. Kamu akan menemukannya!"

"Dad, kamu bahkan hanya membuka hatimu untuk Mommy!" bantah Cass makin membuat James mengernyit sekaligus mendengus pelan.

"Cass, Ibumu dan Angelica adalah perbandingan yang bertolak belakang. Jangan menyamakan mereka, aku serius!" tunjuk James memperingatkan putranya. Cass hanya bisa diam dan membuang mukanya ke arah lain. James menggelengkan kepalanya dan mendekat lagi.

"Besok malam adalah ulang tahun Erikkson. Kami berencana membuat makan malam kejutan dan berkumpul, kita semua. Jadi jika kamu tidak punya pasangan, datang sendiri juga tidak apa. Semua akan datang, kamu juga!" ujar James memberitahukan perihal undangan ulang tahun salah satu paman Cass yaitu Erikkson Thomas.

"Iya, Dad!" Cass mengangguk dan James pun tersenyum. Ia menepuk pipi Cass dengan lembut sebelum beranjak pergi dari ruang kerja putranya itu. Cass hanya bisa menghela napas panjang dan memejamkan matanya. Jalannya begitu sulit untuk bisa bersama Angelica. Yang bisa dilakukan oleh Cass saat ini adalah memastikan jika Angelica tidak lagi menderita karena ulah orang ketiga dalam pernikahannya.

Cass tidak menyerah sama sekali. Ia harus menemukan cara untuk membuat Sophie Marigold mau menurut dan melakukan yang ia inginkan. Masalahnya Sophie belum mau menyalakan ponselnya. Sementara untuk 'menyerang' langsung dengan mengunjungi rumahnya bukanlah tindakan yang tepat saat ini.

Kesempatan itu datang saat Cass sedang mencari bunga dan kue. Ia sudah mendapatkan referensi toko kue yang cocok. Sangat cocok karena ternyata pemiliknya adalah Laura Marigold, kakak kandung Sophie. Cass meminta sekretarisnya Cindy untuk menghubungi toko kue itu dan memesan. Kue akan dikirimkan nanti malam ke alamat yang diberikan oleh Cass.

"Kue ulang tahunnya akan dikirimkan nanti malam, Pak," lapor Cindy pada Cass yang cuek saja bekerja di mejanya. Cass hanya mengangguk saja. Ia bahkan tidak melihat ke arah Cindy sama sekali.

"Beritahukan pemiliknya jika aku ingin dia yang mengantarkannya langsung, aku akan membayar berapa pun!" ucap Cass tanpa menaikkan wajahnya pada Cindy. Cass masih sibuk dengan analisis rancangan mesin yang tengah ia periksa.

"Uhm, maksudnya, Pak ..."

"Apa perintahku belum jelas? Apa sulit bagimu menterjemahkan pesan dariku?" hardik Cass dengan sikap ketus seperti biasanya. Cindy masih tersenyum meski getir.

"Tidak, Pak. Aku mengerti." Cass hanya menatap dengan sikap ketus dan kembali bekerja.

"Kamu boleh keluar!" Cass memerintahkan Cindy untuk pergi tanpa sikap baik sama sekali. Cass sempat menyeringai sesaat lalu kembali meneruskan pekerjaannya kembali.

"Jika kamu tidak mau mengangkat teleponku, aku yang akan datang menghampirimu!" gumam Cass dengan cengir jahatnya.

Sementara itu, Sophie kembali mencoba mengerjakan pekerjaannya di perusahaan ayahnya. Ia memiliki posisi sebagai manajer design karena latar belakang pendidikannya. Sebagai manajer, Sophie harus bisa membuat analisa dan laporan untuk dilaporkan pada atasannya yang nantinya juga akan meneruskan pada Jonathan Marigold.

Meskipun perusahaan retail dan supermarket milik Jonathan kebanyakan menjual produk pihak ketiga tetapi ia memiliki divisi yang juga memproduksi produknya sendiri. Di sanalah Sophie bekerja.

Sophie mulai uring-uringan dan malas bekerja semenjak beberapa hari ini. Ia lebih memilih bolos dengan pergi ke toko bunga sahabatnya yaitu Madison sebelum jam kerja berakhir.

"Jika Ayahmu tahu, aku menampungmu, dia bisa membakar toko bungaku!" gerutu Maddy pada Sophie yang sudah duduk di dalam tokonya selama satu jam lebih.

"Tsk ... kamu hanya memikirkan diri sendiri, egois!" sahut Sophie kesal. Maddy hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

"Kamu benar-benar keras kepala!" sungut Maddy memarahi Sophie dengan suara rendah.

"Soal apa?"

"Apa lagi, Collin!" Sophie terdiam dan membuang muka. Kedua tangannya terlipat di atas meja dan ia terdiam.

"Apa dia masih mengejarmu?" tanya Maddy lagi penasaran. Sophie mengedikkan bahunya acuh tak acuh.

"Soph, dia sudah menikah. Untuk apa kamu masih mengejarnya?"

"Aku tidak melakukan apa pun, Maddy! Masalahku sekarang bukan itu!" tukas Sophie berusaha menjelaskan pada Madison.

"Lalu apa?"

"Ada laki-laki yang ..." CRIINGG – terdengar bunyi bel di pintu depan toko bunga Madison. Sophie langsung berhenti bicara dan menarik napas panjang.

"Tunggu sebentar ya, aku lihat dulu. Ada pelanggan yang datang!" Sophie mengangguk pada Madison yang bangun dari posisinya hendak melihat pelanggannya yang datang.