webnovel

Bukan Sembarang Buket

Sophie tertegun kala Laura memberikan bunga yang ia bawa untuknya. Rasanya agak aneh karena sekarang sudah jam sebelas malam dan ada yang memberikannya bunga.

"Ini untukku?" tanya Sophie yang tidak yakin dengan pemberian bunga yang diberikan oleh Laura. Laura mengangguk dengan wajah khawatir.

"Itu sebabnya mengapa aku bertanya padamu, apa yang terjadi? Apa kamu punya masalah? Sampai seseorang mengirimkan bunga untukmu malam-malam begini?" sahut Laura dengan raut wajah cemas.

Sophie masih menatap wajah kakaknya dengan keheranan yang juga menghampirinya. Ia sendiri tidak tahu siapa yang mengirimkan bunga sampai pikirannya lalu menebak jika itu mungkin pria gila bernama Cass. Tanpa menjawab pertanyaan Laura, Sophie mencari kartu atau nama pengirim bunga tersebut.

"Tidak ada nama pengirimnya. Aku bahkan bertanya pada kurir yang mengantar dan dia tidak bersedia menjawab. Orang yang mengantar juga mencurigakan ..." Sophie makin membesarkan matanya dan menatap pada Laura.

"Apa dia pria berambut coklat kepirangan dan wajahnya ... uh ... yang jelas tingginya setinggi ini ..." Sophie mencoba menggambarkan tinggi tubuh yang ia duga adalah Cass dengan ukuran lengannya. Laura sampai mengernyit tidak mengerti tapi kemudian mengedikkan bahunya.

"Entahlah, wajahnya kurang terlihat, tapi jika tinggi badan ya memang setinggi itu.

DEG – Sophie makin membesarkan matanya dan mulai panik. Oke sekarang pria itu sangat nekat dan menakutkan!

"Soph, apa yang terjadi?" Laura mulai curiga dengan sikap adiknya yang agak aneh. Sophie menyengir aneh lalu menggelengkan kepalanya.

"Apa Daddy tahu soal bunga ini?" tanya Sophie agak antisipatif.

"Tidak, untung aku yang menerimanya." Sophie menarik napas lega dan kembali duduk di sisi ranjang. Hal itu makin membuat Laura makin curiga.

"Soph, jangan berbohong lagi padaku. Apa kamu mengenal siapa yang mengirimkan bunga malam-malam begini? Apa ini dari Collin?" Sophie menoleh pada Laura dan menghela napas panjang.

"Tidak Laura, ini bukan dari Collin." Sophie menunduk lagi dan memegang bunga tersebut. Buket bunganya sangat indah namun yang memberikannya adalah orang yang sudah mengancam Sophie.

"Tolong buang saja bunga ini ..."

"Kenapa?" tanya Laura masih bingung dengan apa yang terjadi pada adiknya. Sophie menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak mau menerima bunga, aku tidak menyukainya!"

"Sophie, sikapmu sangat aneh belakangan ini! Apa yang sebenarnya terjadi, katakan padaku!" desak Laura sambil memegang pundak Sophie. Sophie berusaha untuk tersenyum meski rautnya memang terlihat aneh.

"Tidak ada yang terjadi, Laura! Aku baik-baik saja!" ujar Sophie mencoba meyakinkan. Namun Laura tetap menggelengkan kepalanya.

"Jangan mencoba membohongiku, Sophie!!"

"Sumpah aku tidak bohong!" cetus Sophie sambil membesarkan mata tapi kemudian memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia tidak mau tertangkap berbohong oleh kakaknya itu. Laura hanya bisa menghela napas panjang dan mengangguk.

"Baik, aku tidak akan ikut campur kali ini. Tapi aku mohon padamu, Soph. Jika bunga ini dari Collin sebaiknya jangan pernah menerimanya lagi. Tolong jangan berhubungan lagi dengan Collin. Dia sudah menikah dan memiliki keluarganya sendiri." Sophie menarik napas panjang lalu mengangguk pelan. Ia sedang tidak mau berdebat dengan kakaknya. Terlebih waktu juga telah larut.

"Berikan bunganya padaku ..." Sophie tersenyum memberikan buket itu pada Laura. Ia bahkan memeluk pundak sang kakak yang tersenyum.

"Terima kasih, Laura. Kamu adalah yang terbaik!" ujar Sophie lalu mengecup pipi Laura yang tersenyum.

"Sebaiknya kamu tidur lebih cepat malam ini." Sophie mengangguk menurut pada Laura yang memberikannya kecupan serta ucapan selamat malam.

"Good night, Baby!" ucap Laura mencium kening Sophie. Sophie tersenyum saat berbaring menyamping dan menyaksikan Laura keluar dari kamarnya. Setelah Laura pergi, Sophie benar-benar menarik napas panjang dan begitu lega.

"Dasar pria gila! Tapi dari mana dia tahu alamatku?" gumam Sophie agak penasaran. Sungguh rasanya begitu berat untuk tidur dan beristirahat semenjak Cass muncul di kehidupan Sophie. Rasanya seperti akan mengalami hal buruk tapi tidak tahu kapan.

Sementara itu Cass mondar-mandir di ruang tamunya menunggu kabar dari salah satu suruhannya yang ia minta untuk mengantarkan bunga ke kediaman Marigold. Orang suruhan Cass yang merupakan salah satu pengawalnya dari perusahaan ayahnya Daga Nero kembali setelah satu jam.

"Bagaimana?" tanya Cass penasaran.

"Bunganya sudah diterima, Tuan!" Cass mengangguk dengan cengir kemenangan.

"Bagus! Kamu bisa pergi!" pengawal itu pun mengangguk dan pergi dari ruang tamu milik Cass. Cass lalu mengambil ponsel dan menyalakannya. Ia tersenyum lalu dengan tergopoh-gopoh ia masuk ke ruang kerjanya. Ia menyalakan laptop dan menyalakan kamera.

Ternyata bunga yang dikirimkan untuk Sophie berisi kamera pengawas untuk mengintip Sophie di kamar. Dan Cass tidak tahu jika Sophie meminta Laura untuk membuang bunga tersebut.

"Jadi ini kamarnya? Kenapa miring? Ah, dia tidak meletakkan bunga pemberianku di dalam Vas? Dasar perempuan bar-bar!" gumam Cass bahkan memiring-miringkan kepalanya melihat layar laptopnya.

Tiba-tiba bunga itu diangkat dan terlihatlah wajah seseorang yang tidak dikenali oleh Cass tengah melihat bunga tersebut.

"Siapa dia? lho, di mana Sophie Marigold!" tukas Cass kebingungan. Ia tidak bisa memutar kamera tersebut karena memang hanya untuk disembunyikan. Bunga itu lantas dimasukkan ke dalam Vas bunga berisi air.

"Oh, shit! Jangan masukkan ke dalam air!" pekik Cass sambil meremas rambutnya. Lalu semua hilang dan rusak.

"Ahh ... sial!" umpatnya menunduk sambil mengetukkan ujung keningnya ke meja kerja.

"Apa yang kamu lakukan?" sahut James Belgenza dengan panik. Ia tiba-tiba masuk dan menemukan putranya Cass mengantuk-antukkan kepala ke meja. Cass tersentak kaget dan otomatis menegakkan kembali kepalanya dengan wajah melongo bingung.

"Dad? Kapan kamu masuk?"

"Baru saja! Kenapa kamu malah mengantuk-antukkan kepala ke meja? Apa yang terjadi!?" tukas James masih dengan kernyit dan raut wajah keheranan.

"Uhmm ... tidak ada, Dad! Tidak ada ..." Cass tersenyum aneh tapi kemudian menunduk lagi. James menghela napasnya dan mendekati Cass sehingga Cass harus buru-buru menutup laptopnya.

"Aku datang untuk mengunjungimu. Semenjak kamu tinggal sendiri kamu jarang pulang ke rumahku." Cass hanya tersenyum aneh lalu mengangguk dengan sikap agak malu-malu. Memang selama ini, Cass mulai terlalu sibuk ditambah dengan urusan Angelica dan Sophie.

"Maaf, Dad. Ada beberapa hal yang aku kerjakan dan menyita banyak waktu. Tapi aku janji akan datang akhir minggu ini mengunjungimu. Kamu juga bisa datang kemari kapan pun." James tersenyum dan mengangguk.

"Kalau begitu datanglah makan malam besok. Bawa pacarmu!" Senyum Cass langsung berubah jadi kernyit.

"Hah, pacar?" James tersenyum dan mengangguk.

"Jangan bilang jika kamu belum punya pacar!" Cass masih terkekeh aneh lalu diam sesaat.

"Kamu belum punya pacar ya?" James mengulang lagi pertanyaannya.

"Dad, bolehkah aku bertanya?"

"Soal apa?" Cass mendeham lalu menelan ludahnya sekali.

"Uh, aku ingin ... ah bagaimana caranya aku mengatakannya. Aku bertemu dengan Angelica dan kami sepakat untuk ..."

"Apa!!"