webnovel

Mana Mama?

"Assalamualaikum." Salam Fiona, ia baru saja kembali ke rumahnya, karena ia kuliah di luar kota.

Tidak ada yang menjawab ucapan salamnya, lalu ia mencari keberadaan sang mama.

"Mama!" Panggil Fiona sambil melihat ke dapur, tempat yang biasanya Mama Iren berada, tapi ternyata tidak ada.

"Mama!" Fiona melihat ke dalam kamarnya, namun Mama Iren tak juga ada.

'Kemana Mama?' Batin Fiona.

"Pa, Papa!" Fiona memanggil Papa Febri.

"Fio, kamu pulang?" Sapa Papa Febri yang terlihat terkejut melihat kedatangan sang putri. Papa Febri baru saja turun dari lantai dua dengan memegang sapu.

"Papa habis nyapu di lantai atas?" Tanya Fiona.

"Iya."

"Memangnya Mama kemana?"

Papa Febri tidak langsung menjawab pertanyaan Fiona, ia berlalu ke belakang, ia meletakkan sapu pada tempatnya. Fiona terheran pada Papanya yang tidak menjawab pertanyaannya itu.

"Pa, Mama kemana?" Fiona bertanya lagi.

Papa Febri menyuruh Fiona untuk duduk di ruang tengah, karena ia ingin menyampaikan sesuatu padanya. Fiona pun menuruti perkataan Papanya itu.

"Ada apa sih, Pa? Sepertinya serius banget."

"Fio, sekarang, Mama dan Papa sudah berpisah." Ungkap sang papa yang duduk di sebelah Fiona.

Pernyataan yang membuat hati Fiona bertanya-tanya. "Pisah? Maksud Papa?"

"Mama dan Papa akan bercerai." Ungkap Papa Febri seraya menahan air matanya yang hampir menetes.

Fiona berharap apa yang diucapkan sang papa hanya sebuah candaan saja, bukan sebuah kenyataan.

"Papa sedang bercanda kan?" Ucap Fiona sambil tertawa.

Papa Febri menggelengkan kepalanya, "apakah kamu melihat raut wajah yang tidak serius pada wajah Papa? Tanya sang papa.

Fiona menggelengkan kepalanya, "tidak!"

"Itu artinya, Papa serius. Papa tidak sedang bercanda!"

Hati Fiona bagaikan tersambar petir, ia masih tidak percaya dengan apa yang Papa Febri ucapkan. Karena selama ini kedua orang tuanya selalu terlihat baik-baik saja, tidak pernah sekalipun Fiona melihat orang tuanya bertengkar hebat. Namun mengapa mereka memutuskan untuk berpisah?

"Kenapa Papa dan Mama bercerai?" Tanya Fiona dengan bibir bergetar.

"Mamamu memilih pergi bersama laki-laki lain."

Lagi-lagi, hati Fiona bagai dicambuk, sakit sekali rasanya mendengar jawaban sang papa.

"Siapa laki-laki itu? Mengapa Mama bisa pergi bersamanya?" Cecar Fiona dengan wajahnya yang menahan amarah.

"Laki-laki itu mantan pacar Mamamu waktu SMA. Mereka dipertemukan kembali diacara reuni pada waktu itu." Lirih Papa Febri.

Fiona menangkap ungkapan Papanya yang masih terluka dalam karena ditinggal sang istri.

"Lalu?"

"Dari acara reuni tersebut, Mama jadi sering chat dengan laki-laki itu dan akhirnya mereka berdua berselingkuh. Padahal laki-laki itu juga sudah beristri dan mempunyai anak yang juga sudah besar."

"Astaghfirullah ... " Ucap Fiona sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. Ia tidak menyangka kalau sang mama berbuat seperti itu.

Wanita yang selama ini ia banggakan, wanita yang selama ini menjadi pelindungnya namun sekarang sudah tak berada di dekatnya lagi.

"Lalu, Papa diam aja? Papa nggak berbuat apa-apa saat tau bahwa Mama berselingkuh?"

"Papa sudah berusaha menasehati Mamamu, Papa sudah marah dengan Mamamu, tapi ia tak juga berubah, karena cinta pada masa lalunya itu telah membutakan segalanya, sampai akhirnya Mamamu melayangkan surat gugatan cerai pada Papa."

"Sejak kapan Mama berselingkuh dengan laki-laki itu?"

"Papa nggak tau tepatnya kapan, tapi tiga bulan yang lalu, Papa melihat isi chat Mamamu dan laki-laki itu. Dari situ, Papa baru mengetahui kalau Mamamu selingkuh. Kami berdua pun sering bertengkar.

"Lalu, Papa nggak melabrak laki-laki itu?"

"Mamamu sudah mempertemukan Papa dengan laki-laki itu, tapi Papa nggak mungkin berbuat macam-macam terhadap laki-laki itu."

Fiona benar-benar baru mengetahui hal ini, karena ia sedang kuliah di luar kota, pulangnya hanya pada saat ia libur kuliah saja.

"Papa kenapa bisa sekuat itu bertemu dengan laki-laki yang Mama cintai tapi nggak mengepankan emosi?"

"Sebenarnya sulit, tapi kalau Papa sampai emosi dan berlaku kasar, nanti urusannya akan panjang. Papa tidak ingin berurusan dengan laki-laki seperti itu."

"Apa Papa nggak mikir gimana perasaan aku saat ini?" Ucap Fiona sambil menahan air mata yang sudah menggenang di ujung pelupuk matanya.

"Kamu harusnya protes sama Mama, jangan sama Papa. Papa sudah berusaha untuk mempertahankan rumah tangga ini, tapi cinta Mama terhadap laki-laki itu sudah membutakan semuanya. Mamamu tetap akan menikah dengan laki-laki itu."

"Ya Allah ... " Ucap Fiona sambil meneteskan air mata. Berat bagi Fiona untuk menerima semua ini.

"Kamu yang tabah ya, kamu dan Devan harus bisa jadi anak yang membanggakan untuk Papa. Walau kalian tidak lagi mempunyai keluarga yang utuh."

Air mata yang keluar semakin deras saat Fiona mendengar ucapan yang keluar dari mulut Papa Febri.

"Aku nggak bisa seperti ini Pa, aku nggak bisa tanpa Mama!" Ujar Fiona sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.

"Kamu masih bisa bertemu dengan Mama, kamu masih bisa menghubunginya, karena hubungan antara seorang ibu dan anak nggak akan pernah terpisahkan."

Fiona tahu, hubungannya dengan Mama Iren tidak dapat terpisahkan walau sang mama sudah menikah lagi dengan laki-laki lain, tapi yang Fiona inginkan adalah keberadaan Mama Iren di rumah, juga keutuhan keluarga seperti dulu.

"Aku maunya Mama dan Papa masih berjalan bersama, tidak berpisah seperti ini." Lirih Fiona.

"Tapi takdir sudah memisahkan Papa dan Mama."

"Apakah ini termasuk takdir? Bukannya ini adalah sebuah pilihan?" Tanya Fiona.

"Ini pilihan bagi Mamamu, tapi menjadi takdir untuk kita, karena kita nggak bisa menentukan pilihan manusia." Jelas Papa Febri.

Fiona mengerti bagaimana perasaan sang papa pada saat itu. Namun Papa Febri tidak bisa memilih, jadi ia harus menerima segala takdir untuknya, walaupun itu buruk.

Fiona melihat ketabahan Papa Febri, sang papa terlihat berlapang dada menerima semua takdir yang buruk ini. Sebenarnya tidak mudah bagi Papa Febri menerima semua ini, ia pun terpuruk, tapi masih ada yang lebih ia pikirkan, yaitu masa depan kedua anaknya, Papa Febri harus berjuang untuk Fiona dan Devan agar mereka berdua tetap bersemangat meraih cita-citanya.

"Sudah berapa lama Mama meninggalkan rumah ini?" Tanya Fiona lagi.

"Sudah satu bulan."

Berati sudah satu bulan Papa Febri menyiapkan kebutuhannya sendiri, juga Devan yang harus mengurus dirinya sendiri, pekerjaan rumah pun Papa Febri dan Devan yang bahu membahu mengerjakannya.

"Devan nggak berupaya untuk melarang Mama, ketika Mama ingin pergi?"

"Sudah, tapi tetap Mama memaksa untuk pergi. Makanya, Devan pun sudah tidak bisa melarangnya." Jelas Papa Febri.

Saat berada di luar kota, Fiona sering chat ataupun menelepon sang mama. Namun Mama Iren tidak pernah bercerita pada putri sulungnya itu perihal perpisahannya dengan Papa Febri, makanya tak heran jika Fiona sangat kaget mendengar penjelasan sang papa mengenai hal ini.