webnovel

meera(terlanjur pergi tanpa pamit)

"Tak selamanya hidup itu seimbang, tak ada kesedihan yg bertahan lama, maupun kebahagian terdengar abadi." konsekuensi kehidupan itu hanya dua, antara kesedihan dan kebahagiaan." tulis danu di buku diary, meratapi kehidupan. "Penantian itu panjang, jika hanya bertahan di satu sudut, tanpa melihat sudut yang lain." Pesta pernikahan menjadi awal titik temu antara danu dan meera. Alun-alun pandeglang menjadi awal dalam kisahnya. kampung domba memberi kesan, serta pantai carita yg menjadi saki mereka menari, bernyanyi di atas hamparan pasir. Awal tahun baru menjadi titik balik baginya, ada jarak yg mulai anggang, komunikasi yg mulai putus, serta sikap meera yg kian membisu. dina, seorang sahabat dekat mera, diharapkan oleh danu, agar bisa menyambung komunikasi serta memperdekat dengan meera. justru lain dari harapan bahka memperkeruh suasana, setelah dina jatuh hati pada danu, menjadikan hubungan ketiganya brantakan. Puncak perpisahan terjadi, setelah ibu meera meninggal dunia, dengan emosi meera bersumpah bahwa takan menikah dengan siapapun. Harapan danu kian mati. ia berjalan kemana mata kakinya melangkah. satu tekad yg danu buat, yaitu melupakan meera. danu mulai keluar dari zona nyaman, bertahun-tahun ia berusaha melupakan meera. Mengisi kekosongan dengan bekerja. danu mulai bekerja di salah satu media cetak. ia di tugaskan meliput berita di daerah pandeglang bersama salwa. mereka menjadi seorang patner kerja di bidang jurnalis, setiap harinya mereka selalu bersama, salwa merasa nyaman dengan danu, perlahan prasaannya tumbuh menjadi cinta. Mengingat usia danu yg merangkak dewasa, orang tuanya menginginkan untuk segera menikah, sempat danu rencanakan akan menikahi salwa, dan segera melamarnya. Ujian datang, ketika meera kembali bertemu dengan danu. sontak danu mulai menyepelekan rencana pertunangannya dengan salwa. Malam yg seharusnya lamaran, tapi danu asik bersama meera, semua rencana jadi berantakan, orangtua danu sangat marah. Mengetahui hal itu, meera merasa jadi penyebabnya, kemudian ia putuskan pergi dari kehidupan danu, dan meninggalkan kota pandeglang.

herul_arifin · Realistic
Not enough ratings
13 Chs

garis yang sama

Angin yang tadinya sepoy, berubah riuh bergemuruh. Gumpalan awan hitam terus-menerus menutupi langit biru.

Wajahnya berubah tegang,  berselimut rasa takut. Ia mendekapkan tubuhnya padaku.  tangannya menggenggam dengan erat, bisiknya mengajak "kita pulang yuk!" nada suara lemah, wajahnya kemerah-merahan.

Aku merasa iba, dengan anggukan kepala, tanganku menggandeng pundaknya, memapah meninggalkan tempat itu.

 sampai di tempat pemukiman warga, angin semakin kencang, gerimis pun turun tak beraturan, Langkah kami tambah cepat kian cepat.

Aku dan meera berlari terbirit-birit, takut kehujanan di jalan.

Tak bisa di bendung hujan pun turun sangat deras, kami pun terpaksa berteduh di salah satu rumah.

Kilatan halilintar seakan menyambar begitu mengerikan, di ikuti suara geledek yg menakutkan.

Dengan rasa takut, meera  memeluk tubuhku, matanya terpejam, sekujur badannya menggigil.

Dikala suara petir menyambar, meera menjerit ketakutan.

Ku cium keningnya, sambil ku belai-belai rambutnya.

Ku tenangkan ia, mengajaknya duduk di rumah yg kami teduhi.

Suasana rumah yang terlihat masih tradisional,  beralaskan papan kayu, sedikit tinggi dari permukaan tanah.

ding-dingnya terbuat dari geribik bambu, tiang-tiangnya terbuat dari balok kayu.

Rumah itu terasa hangat, dikala musim penghujan.

Kami yg tengah berteduh, tak lama terdengar suara pintu terbuka, "krreekk." dengan terkejut aku menoleh ke arahnya.

terdengar suara langkah kaki sedang berjalan mendekati "brag brug"  keluarlah seorang nenek-nenek puluhan tahun.

Aku ramah menyapanya, "numpang berteduh nek!"  ijin padanya.

Nenek itu mengangguk, lalu menyuruh, "ka lebet bae yeh!" suruhnya pake bahasa sunda.

Kujawab, "makasih nek, kami di sini sajah!"

Si nenek melirik ke arah meera, yg  tengah murung takut akan suara petir. kemudian meminta kami kembali untuk berteduh di dalam rumahnya saja.

Aku berbisik dan bertanya dengan meera, "bagaimana ra?"

 anggukan kepalanya meng iyahkan.

"Gk ngerepotin nek! jika harus berteduh di dalam?" ucapku pada nenek tadi.

Nenek itu tertawa, sambil berjalan ia menjawab, "hah, anggap saja rumah sendiri!" lalu membuka pintunya lebar-lebar.

Ia menghamparkan tikar untuk kami duduki,

Ia juga menjamu dengan teh hangat dan makanan dari umbi-umbian.  Sungguh baik nenek tersebut.

Keadaan meera mulai kembali tenang. Bersamanya aku duduk menikmati jamuan,  di temani oleh si nenek.

Nenek itu sangat ramah, juga familiar, ia bertanya siapa namaku? Aku menjawab "danu" kemudian bertanya hal yg sama pada meera, iapun memberitahukan namanya.

Aku tengok kesana kesitu, mencari orang lain yg tinggal bersama nenek tua itu, namun tak ku lihat siapapun di dalamnya. 

"Nenek, tinggal sama siapa?" tanyaku penasaran.

"Cuman berdua sama kake!" jawab nenek.  "Si kake mungkin lagi berteduh di saung kali, tadi pagi ke kebun katanya!" tambah nenek itu.

"Anak-anak nenek, pada ke mana?" timpal meera kali ini.

Nenek itu palingkan wajahnya, terdengar tarikan napasnya dalam, "hurpp"  sorot matanya berkaca-kaca.

 ia menceritakan pada kami tentang keberadaan anak-anaknya: "sebenarnya, ada 12 anak nenek!"

 mendengar jumblah yg tak wajar, sontak kami jadi kaget, "wah banyak sekali!" meera menunjukan dua jarinya kepadaku, "12 nu!"

Sambil tertawa nenek itu melanjutkan ceritanya, "iyah ada 12, perempuan 4, laki-laki 8, tapi yg hidup cuman sembilan!"  "dua anak laki-laki meninggal saat lahir, satu lagi anak laki-laki meninggal jatuh dari pohon kelapa."

"Innalillah" potongku. Aku merasa heran, kok anak sebanyak itu gk ada yg tinggal bersama orang tuanya. "Berarti anak nenek yg masih ada tinggal 9!"

"He-em!" anggukan si nenek.

" terus di mana mereka sekarang?" sambung tanyaku.

"Mereka menentukan nasibnya masing-masing!" jawab si nenek dengan pembelaannya.

"ada yg tinggal dengan mertuanya, ada pula yg tinggal di rumahnya sendiri!" lanjut ucapannya.

"Tapi, apakah mereka sering mengunjungi nenek?"

Nenek tak menjawab, melainkan senyum dalam sedihnya. Si nenek mengajak kami nostalgia dalam kenangannya, sewaktu anak-anaknya masih kecil. Katanya "ta'ada yg memberatkan dirinya meskipun terdapat banyak anak, jika yg satu makan, yg lain harus makan, tak ada perbedaan di antara mereka, semua kasih sayangnya di bagi rata." kata-kata si nenek yg paling menyentuhku ialah "bahwa di masa tuanya, yg ia harapkan dari anak-anaknya, bukan hanya sekedar uang ataupun makanan, nenek itu menginginkan kebersamaan, yg ia rindu saat semua anaknya masih satu atap, ada tangis dalam haru, ada tawa dalam suka" kata nenek itu dalam rindunya kepada anak-anaknya.

Aku dibuat diam dalam ceritanya. Meera terlihat bengong dalam suasana.

Tak lama si kakek datang, dengan bajunya yg basah kuyup,  berkata saat melihat kehadiran kami, "eeh ada tamu!"

Aku bangkit dari duduk, lalu menyalami tangannya. 

Si nenek menceritakan asal aku dan meera bisa sampai di rumahnya.

Aku dan meera kemudian di tinggal, kake berganti baju, sementara nenek hendak memasak di dapur.

Aku sangat terbuai dalam ceritanya, takut akan nasib yg sama.

"Kasihan yah nenek dan kake, dimasa tuanya jauh dari anak dan cucunya!" ucap meera dengan acuh.

Ku iyahkan dengan anggukan kepala. Dengan halus ia bertanya bagaimana dengan keluargaku?

Ku jawab, "untuk saat ini, keluargaku masih harmonis."

"Kamu anak ke berapa?" lanjut tanyanya.

"Aku anak pertama, dari tiga bersaudara!"

"Kamu udah kerja?"

"Saat ini masih belum!"

"Kuliah?"

"Tidak."

Mendengar semua jawaban dariku, ia lontarkan sindiran, "mau jadi apa nanti?"

"Kerja tidak, kuliah males!"

Aku jawab dengan definisi sendiri, "aku bukanlah seseorang yg suka ikut-ikutan, biasanya orang akan berpikir buat kerja hanya untuk mendapatkan uang, tapi tidak denganku, mereka akan bersekolah ke jeng-jang lebih tinggi, hanya untuk kedudukan yg lebih baik."

"Aku tak mengerti dengan algoritme yg kamu buat!" potong meera dengan ucapanku.

"Jadi begini" cobaku memperjelas, padahal aku juga bingung dengan apa yg ku bicarakan tadi. "Aku ingin bekerja sesuai dengan keahlianku, bukan di tentukan seseorang harus jadi begitu!"

"Ee-m, apa keahlianmu?" ucap meledek.

"Ke ahlianku, yaitu menyayangimu!"

"Mulai deh gombalnya." "klo ayah kamu kerja di mana?" tanya meera kembali.

"Ayahku seorang buruh pabrik di tanggerang!" "tapi, ia meminta pada anak-anaknya, agar tak berniat kerja di pabrik!"

"Kenapa alasannya?"

"Katanya, akan membunuh jati dirinya sendiri!" "aku juga heran kenapa ayahku melarang kami kerja di pabrik, padahal ia seorang buruh!"

"Ada alasan lain mungkin!"

"Hah, entahlah!"

Hampir satu jam lebih, aku dan meera di rumah itu, menunggu hujan yg gk tau kapan akan reda.

Sebetulnya ada satu jas hujan di dalam bagasi motorku, cuman aku bingung harus di pakai oleh siapa? Jika aku yg pakai, otomatis meera bisa basah kuyup, terus jika meera yg pakai, aku yg akan hujan-hujanan, pasti aku akan jatuh sakit, karna aku paling gk kuat jika terkena air hujan.

Meera kembali bertanya padaku, katanya mengisi waktu menunggu hujan reda. Kali ini ia bertanya tentang om iwan, "kalo om iwan, siapanya kamu?"

"Om iwan adalah anak dari nenekku!"

Ia sedikit bingung dengan jawabanku, "maksudnya om iwan itu adik ayah kamu?" tanyanya memperjelas.

Sengaja ku jawab berbelit-belit, "jadi nenekku punya anak, dan anaknya om iwan!"

Rasanya ia mengangbek, "udahlah susah ngomong sama orang yg ilmunya tinggi!"

"Huh gitu ajah ngambek!" ujar gurauku.

Meera, meminta ijin padaku, katanya mau ikut bantuin si nenek memasak di dapur.

Si kake yg sudah berganti baju, ikut menemaniku menikmati teh hangat.

"Dari mana kamu jang?" tanyanya.

Pertanyaan membuatku dilema, entah ia menanyakan alamat rumahku, atau dari mana aku tadi bermain.

Dengan rasa ragu, tetap ku jawab alamat rumahku, "saya dari menes pak!"

"Wah orok dong!" guyonnya.

Bahasa orok sering di pakai orang-orang di menes, orok itu bukan saja kata buat bai, tapi kata penghubung, misalnya "mau ke mana dia rok?"  lebih ke selogan.

Si kake menambahkan dengan pujian, katanya, "orok menesmah pinter-pinter ngajinya!"

Tak ingin terlihat sombong di depannya, lantas ku jawab, "itu hanya anggapan orang luar, padahal sama jah kek, ada yg bisa banyak pula yg gak bisa!"

"Wanita yg tadi, istri kamu?" tanyanya.

Aku tergugu haru, dalam hati mengaminkan, tapi menjawab "bukan."

Kake itu orangnya santai, humoris dan familiar. Pernah ia menatapku dengan tajam, wajahnya serius, sampai-sampai aku dibuat mindar olehnya.

Aku tak tau apa maksud dan tujuan kake tersebut, ia seolah memberiku sebuah isyarat dengan bahasa siloka, begini tuturnya, "tuhan tidak menjanjikan langit itu selalu biru, bunga selalu mekar, dan mentari selalu bersinar, tapi ketahuilah, bahwa dia selalu memberi pelangi di setiap badai, tawa di setiap air mata, berkah di setiap cobaan, dan jawaban dari setiap do'a!"

Aku dibuat termenung, mencoba memahami apa maksudnya. Tapi itu tak ku hiraukan, dan menganggapnya sebuah gurauan.

Belum sempat ku jawab, kakek tersebut kembali menambahkan, "seberapapun kenal, seberapapun berharap, seberapapun cinta, jika memang bukan orang yg tepat, akan selalu ada cara untuk di jauhkan!"

Suasana mulai tegang, aku mulai berpikir, apakah ucapan kake tersebut adalah sebuah ramalan, atau sekedar peringatan.

Aku, meera, kake dan nenek, makan bersama hari itu, hingga shalat berjamaah kami lakukan. Aku pernah bilang pada mereka, "bagamana cara kami, membalas semua kebaikannya?"

Mereka menjawab, "tak usah kalian balas dengan apapun, cukup anggap mereka sebagai keluarga kami!"

Kemudian meminta kami, jika suatu saat nanti, kami harus main kembali ke rumah itu.

Ku jawab dengan "insya allah!"

Hari sudah petang, tapi hujan tak kunjung reda, meera mulai tak tenang, mondar mandir gk karuan, ia mengajakku untuk memaksakan pulang dengan hujan-hujanan, sempat ku tolak, tapi meera bersikeras memaksaku.

Mau tidak mau, aku yg mengajaknya, jadi harus bertanggung jawab atas semuanya.

Kami berpamitan pada nenek dan kake, mengucapkan terima kasih atas apa yg mereka suguhkan, dan meninggalkan rumah tersebut.

Saat tiba di palkiran, ku buka jok motor dan mengambil sebuah jas hujan, kemudian memberikannya pada meera, "nih pake!" suruhku. Ia sempat menolak, "kamu ajah yg pake!"

Kembali ku suruh untuknya yg memakai, "sudah pakai ajah!" "nanti kamu basah, terus sakit lagi, aku entar yg di salahkan!"

Ia kembali menolak menggelengkan kepala, setelah itu ku paksa dengan memakaikannya.  Dengan sangat terpaksa, akhirnya meera memakai jas hujannya.

Sepanjang perjalanan pulang, air hujan membasahi sekujur tubuhku, rasa dinginnya merasuk sampai ke tulang. Kepalaku mulai pusing, tubuhku kian menggigil. Hatiku selalu berdoa, supaya kuat sampai ke rumah.

Meera merasa bahwa aku mulai kedinginan, ia dekapkan tubuhnya sangat rapat, kedua tangannya melingkar di perutku ia peluk dengan erat, lalu berkata, "gk papa kan, ku peluk dengan erat? Supaya rasa dinginnya hilang"

Sumpah aku bahagia mendengarnya, tapi tubuhku tak bisa di bohongi, namun ku kuat-kuatkan.

Ia tak tahu, bahwa aku fobia dengan air hujan, daya tahan tubuhku lemah dan gampang sakit.