webnovel

meera(terlanjur pergi tanpa pamit)

"Tak selamanya hidup itu seimbang, tak ada kesedihan yg bertahan lama, maupun kebahagian terdengar abadi." konsekuensi kehidupan itu hanya dua, antara kesedihan dan kebahagiaan." tulis danu di buku diary, meratapi kehidupan. "Penantian itu panjang, jika hanya bertahan di satu sudut, tanpa melihat sudut yang lain." Pesta pernikahan menjadi awal titik temu antara danu dan meera. Alun-alun pandeglang menjadi awal dalam kisahnya. kampung domba memberi kesan, serta pantai carita yg menjadi saki mereka menari, bernyanyi di atas hamparan pasir. Awal tahun baru menjadi titik balik baginya, ada jarak yg mulai anggang, komunikasi yg mulai putus, serta sikap meera yg kian membisu. dina, seorang sahabat dekat mera, diharapkan oleh danu, agar bisa menyambung komunikasi serta memperdekat dengan meera. justru lain dari harapan bahka memperkeruh suasana, setelah dina jatuh hati pada danu, menjadikan hubungan ketiganya brantakan. Puncak perpisahan terjadi, setelah ibu meera meninggal dunia, dengan emosi meera bersumpah bahwa takan menikah dengan siapapun. Harapan danu kian mati. ia berjalan kemana mata kakinya melangkah. satu tekad yg danu buat, yaitu melupakan meera. danu mulai keluar dari zona nyaman, bertahun-tahun ia berusaha melupakan meera. Mengisi kekosongan dengan bekerja. danu mulai bekerja di salah satu media cetak. ia di tugaskan meliput berita di daerah pandeglang bersama salwa. mereka menjadi seorang patner kerja di bidang jurnalis, setiap harinya mereka selalu bersama, salwa merasa nyaman dengan danu, perlahan prasaannya tumbuh menjadi cinta. Mengingat usia danu yg merangkak dewasa, orang tuanya menginginkan untuk segera menikah, sempat danu rencanakan akan menikahi salwa, dan segera melamarnya. Ujian datang, ketika meera kembali bertemu dengan danu. sontak danu mulai menyepelekan rencana pertunangannya dengan salwa. Malam yg seharusnya lamaran, tapi danu asik bersama meera, semua rencana jadi berantakan, orangtua danu sangat marah. Mengetahui hal itu, meera merasa jadi penyebabnya, kemudian ia putuskan pergi dari kehidupan danu, dan meninggalkan kota pandeglang.

herul_arifin · Realistic
Not enough ratings
13 Chs

bergaris bawah

Jika ingat dengan hari itu, seakan tak percaya dengan kenyataan yang terjadi hari ini.

Hari itu telah tertulis di  buku 11:11 for meera,  hingga aku garis bawahi, sebagai tanda kenangan yang takan pernah di lupakan.

Lihatlah kenangan hari itu, tampak hidup, namun membisu. Aku selalu mengingatnya, tapi tidak dengannya.

---ooo---

Selepas dari rumah om iwan,  melanjutkan perjalanan, ke kampung domba, letaknya di kaki gunung karang.

Biarpun langit mendung, namun tak membuat suasana murung.

rasa canggung yg meliputinya, kini lenyap seiring waktu berjalan bersamaku,  ia mampuh memelukku di atas boncengan.  Menjadikan senyumku begitu lepas, andai tangannya ia letakan di atas dadaku, akan terasa detakan jantung yg begitu dahsyat.

Tubuhnya bersandar di punggungku, dagunya tertumpang di pundakku,  bertanyanya dengan mesra: "apa, yg menjadi alasanmu,  mengajakku jalan-jalan?"

Dengan tenang pertanyaan itu ku jawab: "karna kamu istimewa!"

Ia menapikan alasannya, tawa kecilnya keluar, "hehehe." "Apa itu istimewa?"  ucapnya meledek.

"Istimewa bukanlah suatu istilah,!"

"Em-mm." "lantas?" 

"Istimewa itu sebuah perilaku yg tak wajar di lakukan oleh seseorang!"

Meera berpikir sejenak.

aku mencoba merobah tata letak kaca spion, menggulirnya sedikit, supaya wajahnya bisa terlihat di balik cermin.

Meera kembali melanjutkan pertanyaan:"apa keistimewaan dariku?"

"Jika aku menjawab dengan lisan, tentu lisan itu akan berbohong! Tapi, jika hati yg menjawab, itu murni!"

"Bagaimana aku bertanya pada hatimu?" katanya memungkiri.

"Biarkan hatimu yg bertanya, nanti hatiku menjawab!"

"Waww, mulai main-main hati nih!" ucap guyonnya.

"Hati bukan untuk di permainkan, karna hati sensitif!."

Perjalanan yg di isi dengan kata, membuat jarak terasa dekat, tak terasa motor membawa kami sampai di ujung jalan.  Tiba di kampung ci nyurup, sebuah kampung di kaki gunung karang, sekaligus ujung jalan bagi kendaraan.

Sebetulnya cinyurup itu sebuah kampung

Yg di jadikan lahan peternakan domba oleh pemda pandeglang. Jadi nama cinyurup sudah di nobatkan sebagai kampung domba.

Orang-orang akan menyebutnya sebagai kampung domba.

Tujuanku mengajak meera ke tempat itu, bukan hanya sekedar melihat seekor domba-domba, tapi ada keindahan alam, yang harus ku tunjukan padanya.

Aku dan meera kemudian turun dari atas motor. Sesaat berdiri, sambil menggeserkan tas di punggung, meera langsung bertanya: "mana tempatnya?" rasa penasarannya

Terlihat serius.   "yah ini!" jawabku.

ia merasa aku telah membohonginya, kerap menggeleng-gelengkan kepala. "yg kamu bilang pemandangannya indah, di sinih?" ucap ragunya, karena pemandangan masih terlihat biasa-biasa saja.

"aku selalu melihat pemandangan yg indah, setiap kali menatap wajahmu!"

"Ii-ih." ia mengelak,  telapak tangannya memukul bokongku.

ku tunjuk ke arah bukit. "kamu akan temukan syurga di atas sanah!" ia mengikuti telunjukku.

"mesti jalan kaki tah?" tanya tak percaya.

ku tertawakan dirinya: "hihihi" "jika ingin sampai kepada surga, kita harus berjalan melewati rintangan, jalan yg berbatu, tinggi menanjak dan cukup melelahkan, harus sabar dan tabah!" sebutku.

ia yang merasa heran dengan ucapan tak biasa dariku, lantas mengadu: "Perasaan, gaya bicara kamu hari ini, sangatlah berbeda!"

Ku pandangi wajahnya dalam-dalam: "Itu karna kamu, tahu!"

Ia menyangkal: "la-h ko nyalahin aku?" bola matanya seakan keluar.

"Kamu telah merubah kepribadianku!" tutur pujian dariku.

Langkah demi langkah kami lalui, meera  masih santai dan menikmati.

Semakin jauh kami melangkah, semakin menanjak jalan yg di lalui, napas yg tadinya tenang, kini berubah ngos-ngosan.

Aku  berjalan di depannya, sesering mungkin menengok ia di belakang.

setengah perjalanan sudah kami lalui, ku lihat keluar cucuran keringat membasahi wajahnya, rona pucat pias meliputi wajahnya. Ia meminta untuk berhenti sejenak. "Hah hah haa."  napasnya yg naik turun, satu tangannya menekan di dada.

Dalam hatiku menertawakannya.

Guna melepas lelahnya, ia terduduk beralaskan bebatuan. "Capek banget nu!" tuturnya dengan napas dag dig dug.

Ku ikut menemaninya duduk, dan memberikan sebotol minuman. Andai aku membawa sapu tangan, akan ku usapkan keringat yg mengalir di wajahnya.

"Ketahuan, begini nih klo orang jarang olah raga!" sindirku terhadapnya. Ia mendorongkan bahunya ke bahuku, sadar merasa tersindir.

"Masih jauh gk sih?" tanyanya.

"Tuh, sedikit lagi nyampe!"

"Gendong nu!" kata manjanya.

Ia membuatku terkejut mendengarnya. "Sesuatu yg di lalui dengan jerih payahnya sendiri, akan terasa nikmat jika sudah sampai pada keberhasilannya!"

"Ha-ah, gk usah berargumentasi, bilang ajah gk mau!"

Ia bangkit kembali, memasang gaya so jago,  mengajaku melanjutkan perjalanan: "ayo nu berangkat!"

Di tanggung sama rata, di pikul sama berat, aku menjulurkan satu tangan, ia pun meraihnya. Pegangan tangan itu sangat erat, ketika ia lemah aku menguatkan, saat ia terpeleset aku menahannya, ketika ia terjatuh aku memeluknya. Tidak ada yg bisa di katakan sulit, jika saling bahu membahu, tidak ada kata susah jika saling tolong-menolong.

Lihatlah hasilnya, ia begitu tercengang melihat indahnya panorama kampung domba. "Is amazing" kata spontannya terucap. 

Tanpa sadar mulutnya terbuka , bola matanya menyorot tak berkedip. Ia berjalan beberapa langkah tak menghiraukanku. Tengok ke kanan, hamparan sawah terbentang, tengok ke kiri, segitiga gunung menjulang ke langit. Tangannya meraba-raba, melambai padaku, bisiknya terdengar laun: "nu nu-u" menyebut namaku.

Aku mendekat, menemaninya berdiri. 

"Satu kata dari tempat ini?" tanyaku.

"Menakjubkan!" jawabnya.

Saat itu, kampung domba masih sangat sepi, lengkap dengan ke asrianya, belum banyak orang yg tahu, apalagi bagi para  pedagang.

Ku ajak ia berkeliling, memperlihatkan pemandangan yang eksotik.

ketika ia menengok ke arah gunung,  bertanyanya: "kamu tahu, itu gunung apa?" tunjukan tangannya mengarah.

"E-mm" aku sedikit mengira-ngira. "Kayaknya, itu gunung pulosari deh!"

Ia memandangku. "Yakin kamu?" "emang posisi barat di mana?"

Ku palingkan wajah ke samping dan menunjuk: "ituh" ke arah barat.

Terlihat garukan tangan di jidatnya:"terus itu gunung apa?" tunjuk dengan gunung satu lagi.

"Kalo itu gunung pulosari, maka yg itu gunung asepan!" "karna tanah kita di kelilingi tiga gunung!"

"Yeey, tanah kamu kali! Kalo tanahku kan dua!" kata candanya.

Aku terbahak mendengarnya, tak tahu apa yg ia maksudkan.

"Liat sawah yg luas itu!" ucapku.

"He-em." "kenapa?"

"Itu milik bapa!"

Kaget ia mendengarnya,  bertanya dengan rasa heran: "bapa siapa?"

"Bapa anaknya!" "wak wak wak." tandas jawabanku.

Tak ingin kalah, meera membalasnya. "Gunung itu juga punya kake!"

Aku tahu akan jawabannya, sambil mesem, manggut kepala. "Pasti kake cucunya yah!"

Sambil tawa riang, ia memukul pundakku.

ia temukan sebuah pohon rindang berukuran lumayan besar, akarnya sangat lebar, benaknya berasa, "jika duduk di situ akan terasa sejuk!"

Ia menarik tanganku, mengajak duduk di bawahnya.

Punggungku bersandar di sampingnya, begitu juga dengan meera. Pandangan kami menatap jauh angkasa.

"Nanti kita ceritakan momen ini pada anak-anak, pasti mereka sangat terharu!"

Meera termangu menatapku "hemm" "anak siapa?" tanyanya berpikir.

"Anak-anak kita!"

"Berimajinasi jangan terlalu jauh, nanti tersesat gk tahu arah pulang!" katanya meledek.

"Itu bukan suatu imajinasi, melainkan sebuah harapan!"

"Apa bedanya!"

aku ingin mengenalnya lebih dekat, apa kesukaannya, apa yg biasa ia lakukan. "Di sekolah, kamu mengajarkan hal apa?"

Jawabnya begitu merendah: "aku bukan mengajar, melainkan belajar bersama, karna aku masih butuh pengajaran." satu hal yg aku kagumi darinya.

"Bagian apa?" tanyaku memperdalam.

"Bahasa inggris!"

Ku tatap cakrawala, terlihat samar. Aku berkaca-kaca, teringat masa SMA dahulu.

"Waktu sekolah, pelajaran bahasa inggris, adalah pelajaran yg sulit di pahami!" ucapku mengenang bangku sekolah.

"Kenapa?" tanya meera bengong.

"Kata yg di tulis, akan berbeda saat di ucapkan!"

"Hahaha" ia menertawakanku. "Otakmu yg gak sampai!"

"Menurutku, bahasa inggris itu gk penting!"

Ia membantah. "Aku gk setuju!" "klo bisa semua bahasa kita kuasai!" "bahasa inggris adalah bahasa rujukan dunia, jadi kita mesti bisa, coba gimana klo ada turis nanya sama kamu?" ucapnya dengan nyerocos.

"Akan ku jawab dengan bahasa indonesia!"

"Kalo dia gk ngerti?"

"Ya- salah dia, diakan datang ke indonesia, jadi harus mengerti dengan bahasanya!"

"Ha-h, susah yah ngomong sama orang yg pinternya kelewat batas?"

Aku suka gaya bicaranya, meskipun sering bertolak belakang, tapi nyambung, ia akan berhenti berkata, jika argumentasinya terpatahkan.

"Tapi asal kamu tahu! Biarpun aku gk suka pelajaran bahasa inggris,  guru bahasa inggris sayang padaku!"

"Mungkin karna kamu sering merayunya kali!" ujar celaannya.

"Oouw, aku gk pernah merayunya!"

"E-em, apa karna kamu ganteng?"

Kata itu membuatku ge'er, ingin sekali menyombongkan diri. "Itu bukan karna lagi, tapi emang ganteng!"

Meera palingkan wajah dengan menutup mulut yg tertawa.

"Jangan so muna, akui sajah bahwa aku tuh memang ganteng!" ucap sombongku.

Ia tetap menafikan, tak mau mengakui ke gantenganku.

Ku sambung kata, dengan guru bahasa inggris yg sayang padaku tadi. "Beneran deh, guru bahasa inggris ku itu sangat sayang!" "sayang sekali, aku sangat bodoh dalam pelajarannya!" tutur alasanku.

Lagi-lagi ia memukulku, "ahh, kamu ngeyel mulu!"

Ia mendengus, kedua tangannya melingkar di atas lipatan lutut, wajahnya datar sesaat terdiam.

Ujung jemari kakiku, samarata dengan paha, tanganku merogoh dalam tas, mengambil bungkus roko dengan koreknya, lalu ku cabut sebatang, di taro di mulut dan menghidupkan korek untuk membakarnya.

Dengan gesit meera mencabut roko di mulutku, kemudian ia simpan dan mencelaku: "di depan orang cantik, dilarang merokok." kata yang singkat, padat, transparan.

"Jangan membenci orang yg merokok, karna mereka penyumbang terbesar untuk negara!"

"Gk usah berasumsi akan hal itu!" tandasnya.

Sikapnya seperti itu, membuatku gk sampai mengisap sebatang roko.

"Menurut kamu, kamu lebih suka suasana seperti apa? Pegunungan, pantai, mall, atau tempat yg lainnya?" tanyaku sambil menghitung dengan jemari tangan.

Dengan serius ia menjawab: "aku lebih suka, suasana pantai!"

"Kenapa alasannya?"

"Di pantai ada samudra, ada angin yg tenang, ombak yg setia, ada pasir pula!" "Hihihi"

"Kenapa kamu gk memilih pegunungan? Pegunungan kan sejuk, indah dan tentram!"

"Satu yg tak di miliki gunung!"  ujarnya.

Aku yg penasaran dengan jawabannya, lantas menanyakan: "apa?"

"Ia ituh banana boot!" "hahahaha"

"Waruh" aku menggelengkan kepala, merasa di bodohi. "Pinter ngeles sekarang kamu yah!"

"Kamu gurunya!"