webnovel

Chapter 21 – Masalah Lain yang Rahasia

Tidak ada yang tahu tentang masa depan, manusia selalu mengatakan hal itu. Meskipun memahami demikian, mereka tetap berharap ada makhluk yang dapat melakukan hal itu. Mereka mencari dan mencari, kemudian menemukan fakta bahwa masa depan tetaplah misteri. Tidak ada yang tahu tentang apa yang terjadi di langit. Meskipun Jiwa beberapa kali diizinkan untuk pergi ke sana, mereka tetap tidak memahami bagaimana masa depan dapat bekerja.

Tidak ada yang memahami suatu pun tentang ciptaan di dunia ini. Bahkan para pemimpin, mereka hanya mampu memprediksi tanpa sanggup memberikan kepastian. Honey selalu mendengar bahwa King akan memastikan bahwa masa depan para Jiwa adalah surga. Walaupun tidak mengetahui bagaimana surga itu, King selalu meyakinkan bahwa tempat itu adalah yang ternyaman dari sekian ciptaan Sang Pencipta.

Honey tak pernah mengatakan bahwa ia tak percaya, tetapi sesuatu sering mengganjal di dalam benaknya. Setelah pertemuan dengan pemuda penakut itu, Honey semakin yakin bahwa Jiwa dan manusia mungkin adalah sama. Entah, apa kesamaan dari mereka? Sedangkan mereka, seharusnya, tidak saling berkomunikasi?

Honey semakin yakin setelah Wildy merasa kesakitan ketika nama Lion disebut. Namun, apakah benar Wildy tidak tahu apa-apa? Selama ini, Wildy terlihat paling patuh kepada King. Kecurigaannya menjadi besar ketika Wildy selalu mengajaknya pergi dari tempat di mana King selalu bertapa, atau berusaha bersembunyi agar King tidak melihat mereka.

Honey menatap Wildy dengan pandangan yang penuh selidik. "Wildy, kamu menyembunyikan sesuatu dariku?"

Wildy menggeleng cepat. "Untuk apa? Aku nggak akan melakukan itu. Lihat! Matahari sudah akan tenggelam, lebih baik kita pergi sekarang!"

"Benar? Kamu tidak menyembunyikan sesuatu dariku?" Honey melepas tangan Wildy yang sebelum ini menggandeng tangannya. "Kamu terlihat aneh, sangat aneh."

"Nama itu—" Wildy terdiam sejenak. "Entah mengapa, aku merasakan sesuatu yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Khususnya, selama menjadi Jiwa di sini." Ia memengang dadanya. "Sesuatu seperti—apakah ini disebut dengan tusukan? Atau apapun itu? Tapi, kita bukan makhluk yang berwujud. Kenapa aku harus merasakan sakit yang seperti ini?"

Mereka berdua sama-sama diam. Sesuatu sedang bergelayut di kepala mereka. "Apakah aku dengan—dia—memiliki hubungan? Atau seperti apa?"

Honey memegang pundak kawannya dengan lembut. "Aku pernah merasakan hal itu, tetapi bukan tusukan bahkan dengan seorang manusia. Sesuatu yang bergetar, di sini—" Ia menunjukkan area dada. "Apakah kamu juga merasakan hal yang sama?"

"Bergetar? Aku merasa bukan getaran yang kurasakan. Itu—menyakitkan." Wildy yakin, seyakin-yakinnya. "Apakah kita harus membicarakan semua ini dengan King? dia adalah tetua di hutan Jiwa ini. Mungkin, kita akan mendapatkan penjelasan yang lebih rinci?"

"Aku rasa tidak. Kita tidak perlu bertanya atau mencari tahu, apalagi lewat King. Aku merasakan bahwa dia mungkin menyembunyikan sesuatu."

"Nama itu—" Wildy memejamkan mata. "Aku yakin ada hubungannya dengan diriku."

"Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi, ke mana kita harus mencari tahu?" Honey merasa putus asa untuk masalah ini. "Semuanya terasa buntu. Semua tentang hutan Jiwa ini hanya King yang tahu."

"Kamu benar. Tapi, Lion—" Wildy memegang kepalanya karena kesakitan. "Wild, jangan sebut nama itu dulu!" Honey membantu kawannya itu bertahan.

"Apa yang harus kita lakukan? Apakah sesuatu terjadi dengan kita di masa depan? Terlebih, malaikat maut sudah sering kemari dan menemui King. Mungkinkah aku akan menghilang?"

"Apa? Kamu bilang malaikat maut hanya datang sesekali?" Honey membelalakkan mata.

"Aku tidak tahu. Tapi, aku sering melihat pintu langit terbuka dan malaikat maut keluar dari sana." Wildy menunduk. "Apakah hal itu termasuk menyembunyikan sesuatu darimu?"

**

Rayn enggan untuk keluar kamarnya saat ini. Lebih tepatnya bukan kamar, unit apartemen. Sejak mayat wanita itu ditemukan, banyak orang yang tiba-tiba senang berkunjung ke gedung apartemen pinggiran ini.

Rayn tidak ingin melakukan apapun selain diam. Bahkan, ponselnya sudah sejak semalam kehabisan daya juga tidak diisi ulang. Ia ingin menenangkan diri, tetapi mengapa justru mendapatkan kecemasan?

"Astaga, ini benar-benar menyebalkan!" Rayn ingin beranjak dari tempat tidur, tetapi rasa malas sudah sangat kuat untuk mengikatnya di tempat yang sama. "Aku belum makan pagi, tetapi aku malas sekali untuk pergi."

Ia tidak hanya sedang malas untuk bergerak, tetapi malas untuk memutuskan. Rayn merasa seperti itu karena seiring berjalannya waktu, ia harus mendapatkan fakta-fakta bahwa semua yang berhubungan dengan ayahnya pasti rumit, penuh dengan kerumitan.

"Kenapa ayah suka sekali dengan hal-hal yang berbau rumit seperti ini? tidak bisakah dia berjualan sesuatu saja? menjual kemudian ada yang membeli, beres 'kan? Nggak perlu ada banyak hal yang memusingkan. Nggak perlu pula ada kejadian percobaan pembunuhan." Rayn menghela napas.

Ketukan pintu terdengar dari luar. Rayn tersentak. "Siapa yang siang-siang seperti ini kemari? Ah, menyebalkan!"

Hidup Rayn memang terasa menyebalkan sejak pulang ke Indonesia. Terlebih, sang ayah meninggalkannya dengan banyak hal yang masih penuh tanda tanya. "Haruskah aku membuka pintu? Apa aku lebih baik diam saja dan pura-pura tidak ada orang di rumah?"

Namun, Rayn yang sedang malas itu justru membuka pintu. Ia terkejut melihat orang yang sedikit familiat itu datang menemuinya. "Selamat siang, Rayn Hunter," sapa lelaki itu.

"Ya? Detektif—"

"Rodison Whitwood. Kamu bisa memanggilku Detektif Rod atau apapun yang terasa nyaman."

Rayn sedikit kikuk. "Baik. Detektif Rod. Silakan masuk." Ia mempersilakan Detektif Rod untuk masuk ke dalam unit apartemen ayahnya yang belum dibersihkan sama sekali. Banyak debu yang bertebaran. Mungkin hanya beberapa bagian yang sempat dibersihkan oleh Rayn, selebihnya tidak.

"Silakan duduk. Tenang saja, sofa ini sudah saya bersihkan dengan vacuum. Itu—" Rayn menunjukkan alat yang dimaksud.

"Tidak masalah, Rayn. Ngomong-ngomong, gimana kabarmu? Apakah kamu sehat? Saya ikut berbelasungkawa dengan kematian ayahmu yang terkesan mendadak."

Mendadak?

Rayn merasa pemilihan kata itu kurang tepat. Ia tidak menunjukkan hal itu lewat ekpresinya. Diam adalah kunci, dan itu yang dipegangnya saat ini.

"Katanya, kamu bertemu dengan Dara?"

"Dara?"

"Penjaga kafe yang kamu tuduh sebagai simpanan ayahmu."

Rayn membelalakkan mata. "Bagaimana anda bisa tahu?"

"Dara adalah anakku. Dia memang dianggap sebagai anak oleh David. Aku memang bukan temannya David, aku berteman baik dengan Amelia. Peneliti yang rakus akan ilmu itu." Detektif Rod terdiam. "Bagaimana caramu memandangku hanya akan mengingatkanku kepada Amelia."

Rayn tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh pria paruh baya itu. Entah mengapa, perkataan 'dianggap anak' sepertinya kurang tepat. Namun, lagi-lagi, ia tidak ingin menunjukkan hal itu.

"Oh, ya. Kamu masih ingat wanita yang beberapa hari yang lalu? Yang ada di apartemen sebelah?" Detektif Rod mengakhiri basa-basinya. "Kamu masih ingat, 'kan?"

Rayn mengangguk. "Ya. Apakah ada sesuatu yang berhubungan dengan saya?"

Detektif Rod mengangguk. "Kamu benar. Ada hubungan denganmu. Itulah mengapa aku kemari."

Beberapa yang tidak menyenangkan memang mengesalkan, tetapi jika akhirnya memberikan pelajaran, mengapa harus merasa marah?

geucalyptuscreators' thoughts