webnovel

Ther Muat Be A Fight

Alana tidak mengikuti meeting dengan sangat baik bahkan rasanya tubuhnya sudah tak bisa berkompromi. Kepalanya mendadak sangat sakit membuatnya semakin tidak fokus, terlebih Jefri sudah menegurnya beberapa kali.

Entahlah apa yang sedang terjadi padanya, yang jelas Alana merasakan mual pada perutnya, dia membutuhkan toilet saat itu.

Jangan mengira bahwa Alana sedang mengandung, dia sama sekali tidak 'melakukan itu' dengan Dirga. Dia hanya bergurau perihal jatah, jangan menganggapnya serius. Mungkin Alana sedang masuk angin.

"Alana...?" tegur Jefri sekali lagi, kali ini sangat pelan seperti sebuah bisikan, sepertinya pria itu mulai menyadari kondisi sang mantan.

"Mas... aku butuh toilet." bisik Alana pelan, Alana tidak sadar jika tubuhnya dengan Jefri sangat dekat. Tatapan Dirga di sebrang sana membuat Alana kembali menjaga jarak dari Jefri.

"Harus sekarang? hanya tersisa beberapa menit lagi." ujar Jefri, apa dia ingin Alana memuntahkan isi perutnya di sana?

"Akuuu.. nggak bisa.. huk.. Maaf, saya permisi."

Alana tahu sangat tidak sopan apa yang dia lakukan tadi, tapi dia benar-benar tidak bisa menahannya. Alana juga menghiraukan tatapan dari beberapa pasang mata yang tak menyukai sikapnya barusan.

Sedikit lega karena Alana bisa mengeluarkan semua isi di dalam perutnya. Ia menahan bobot tubuhnya pada wastafel. Kepalanya semakin berputar membuatnya semakin erat memegang pinggiran wastafel.

Rasa mual itu kembali datang. Sebuah pijatan lembut ditengkuknya membuat kedua matanya terpejam. Alana tak percaya jika Dirga akan menyusulnya kemari.

"Mas... Kepalaku sakit." keluhnya mengadu pada Dirga.

Alana memilih melepaskan pegangannya pada wastafel kemudian bersandar perlahan pada tubuh yang ada di belakangnya.

"Kamu sakit?" suara itu, bukan suara Dirga. Lalu siapa? secepat kilat Alana memutar tubuhnya hingga terhuyung ke depan.

"P-Pak Jefri?"

Jefri menahan lengan Alana sangat kuat agar dahi wanita itu tidak terantuk ujung wastafel.

"Alana.. kamu baik-ba..."

"Mas Dirga?" Alana meringis, ia yakin sekali jika detik berikutnya akan terjadi keributan.

Dirga pasti salah paham dengan posisinya dan Jefri, terlihat dengan jelas saat Dirga menepis tangan Jefri kasar hingga membuat Alana kembali terhuyung ke depan.

"Apa yang barusan kamu lakukan? dia sedang sakit."

"Apa peduli anda?"

"Dia anak buah saya, jadi saya berhak peduli dengannya."

Tangan Alana terulur untuk meraih sisi wastafel, sungguh haruskah mereka bertengkar di toilet wanita dan dalam keadaan Alana yang seperti itu?

Alana pun tak bisa melihat dengan jelas wajah mereka. Tubuhnya seakan melayang, dia hanya bisa mendengar Dirga yang menyebut dirinya adalah kekasih dari pria itu tepat saat suara wanita lain memasuki toilet.

•••

Alana sudah siuman dari beberapa menit yang lalu tapi pria yang sedang menatapnya saat ini seakan sedang ingin melahapnya habis-habisan. Alana sedang sakit, tak bisakah pria itu bersikap lebih lembut. Hanya karena masalah yang dia perbesarkan tadi.

"Jawab?"

"Masih mau diam?"

"Masih mau mengintrogasiku di saat kondisiku sedang seperti ini? haruskah aku meminta bantuan kepada atasanku lagi?" tanya Alana santai, sungguh Ia sedang merasakan sakit pada tubuhnya.

"Alana..."

"Mas..."

"Kalau kamu ingin marah bisa ditahan marahnya? kepalaku sakit, dengan kamu marah-marah seperti ini membuat kepalaku semakin berdenyut. Dari pada kamu menguras energi karena memarahiku lebih baik kamu kembali ke kamarmu. Aku butuh istirahat." ungkap Alana pada akhirnya, dia sedang muak dengan tingkah kekanakan-kanakan sang kekasih.

Tak salah jika dirinya cemburu tapi bisakah dia tahu tempat, kondisi Alana saat ini sedang lemah, Alana sedang sakit. Harusnya Dirga bisa memberinya perhatian bukan malah memarahi Alana.

"Kamu mau apa?"

"Aku mau tidur, jadi jangan menggangguku bisa?" Alana sadar kalimatnya terlalu keterlaluan.

"Makan dulu ya? minum obat.." suara Dirga mulai melunak. Dia berkata lembut, tangannya tergerak untuk meraih semangkuk bubur yang ada di nakas.

"Aku cuma butuh tidur mas. Kamu nggak mendengarnya?"

"Alana. Aku minta maaf. Aku terlalu khawatir sayang."

"Mengkhawatirkan karena aku sedang sakit atau karena yang lain? Apa kamu masih berpikir bahwa dia akan merebutku darimu?" tanya Alana penuh penekanan.

"Lupain... Aku suapi." untuk apa dia menyangkal?

Alana semakin tak mengerti dengan sikapnya akhir-akhir ini, wanita itu merasa jika Dirga sedang tidak percaya diri. Jelas-jelas Alana memilihnya, jelas-jelas Alana mencintainya, untuk apa dia berpikiran yang tidak-tidak?

Alana memilih mengikuti kemauannya, membuka mulutnya sedikit. Setidaknya Alana tahu jika Dirga sedang menekan egonya.

"Buka yang lebar sayang."

"Pahit."

"Jangan manja."

"Siapa yang lebih manja dibanding aku kalau lagi sakit? suka nggak sadar diri memang ya manusia satu ini." ucap Alana menyindir.

"Oh, berani kamu ya? bersyukur karena kamu lagi sakit sekarang, kalau aja kamu sehat aku pastiin Elena akan memiliki adik baru lagi dalam waktu dekat"

"Mas. Ucapan kamu, nanti kalau dikabulkan Tuhan bagaimana?"

"Just accept it, bukannya malah bagus. Aku bisa menikahi kamu juga kan?"

"Iya, tapi kamu buat malu keluarga dulu mau? jangan sembarangan bicara. We never know what will happen in the future. Bisa aja kamu dikeluarin dari kartu keluarga, iya kan? Makanya jangan asal bicara."

"I don't care. I was never afraid of what would happen in the future, Alana. I'm just afraid that I'll lose you."

Alana terkekeh pelan, sudah tak pantas lagi rasanya mendengar rayuan seperti itu.

"Aku serius."

"Iya. Iya. di mana obatnya?"

"Belum waktunya, buka mulut kamu lagi."

"nggak mas. Perut aku mual banget."

"Baru dua suap Alana. Apa aku harus pakai cara lain?" Alana merotasikan matanya malas, mengerti dengan maksud Dirga kali ini.

"Cepat, buka mulutmu. Aku nggak main-main dengan ucapanku tadi. Kamu mau aku melakukan hal yang lebih?"

"Mas, jangan menggodaku terus."

"Aku lagi nggak menggoda kamu, aku meminta kamu buat menghabiskan buburmu, sayang."

"Biar aku aja. Tolong buka pintunya mas, sepertinya ada yang mengetuk pintunya." pintanya karena sangat jelas Alana mendengar suara pintu diketuk, mungkin petugas hotel.

"Jangan turun dari atas ranjang." peringatnya.

Iya, mana mungkin Alana berani untuk membantahnya, bisa habis Alana kali ini. Sesuap demi sesuap Alana berhasil memasukan bubur ke dalam mulutnya.

Ini sudah 3 suapan bubur masuk ke dalam perutnya. Tapi Alana tak menemukan Dirga kembali ke dalam kamar, wanita itu memilih untuk menyusul kekasihnya karena mendengar suara hantaman yang begitu memekakkan telinga.

"MAS DIRGA, APA YANG KAMU LAKUIN?!"

Terkejut sudah pasti, Dirga melayangkan pukulannya tepat di perut Jefri saat Alana berhenti berteriak padanya.

"Kalian kenapa harus bertengkar?"

"Mas Dirga, aku nggak suka dengan kekerasan. Apa yang buat kamu berpikir untuk menghajar saudara kamu sendiri?"

"Dia ingin merebutmu dariku."

Apa hanya karena itu alasannya hingga dia membuat wajah Jefri babak belur?

"Kembali ke kamarmu."

"Lalu membiarkan kamu cuma berdua?"

"Bisa tinggalin aku sendiri. Tolong. Aku butuh istirahat. Mas... Kamu juga butuh untuk meredam emosimu itu, pak Jefri saya minta maaf atas perlakuan yang bapak terima karena saya. Saya harap bapak mau memaafkan saya dan pak Dirga."

"Ck. Kamu yakin memilih dia yang seperti ini Al?"

Apa maksudnya? mengapa pria itu justru merendahkan Dirga? Apa dia lupa dengan perlakuannya terhadap Alana dahulu?

"Cukup!" seru Alana menahan pergerakan mereka lagi, kali ini Jefri sudah meraih kerah kemeja Dirga.

"Masih ingin lanjut? silahkan lakukan di luar gedung ini, saya nggak akan mencoba untuk menghalangi kalian lagi. Silahkan lakukan sesuka hati kalian, atau perlu salah satu dari kalian harus dirawat di rumah sakit? butuh apa? pistol? pisau? ayo bilang?"

Mereka terdiam menatap Alana tak percaya. Alana meraih pisau dan meletakkannya di meja.

"Ini, ambil. Gunain ini kalau memang kalian bosan hidup. Aku masih bisa mencari pria lain untuk menjadi ayah sambung Elena. Lakuin, kalau cuma dengan tangan kosong nggak akan ada yang menang kan?"

"Kenapa hanya diam? takut?" jujur saja, Alana tak bermaksud untuk melakukan itu, tapi rasanya akan sangat bosan dengan pertengkaran mereka jika tidak segera dihentikan.

"Sudah sadar sekarang? untuk apa kalian bertengkar cuma karena aku. Nggak ada yang special dari aku, sama sekali nggak ada, aku cuma seorang Alana. Seorang janda yang memiliki seorang anak, Jadi untuk apa kalian melakukan ini? Sekarang, pergi. Aku mohon."

"Sayang, kondisi tubuh kamu lagi nggak baik saat ini."

"Kembali ke kamarmu mas. To..long."

Alana hanya ingin sendiri, tidak ingin diganggu siapapun. Dia benar-benar tak mengerti dengan sikap Dirga dan Jefri. Bagaimana bisa mereka seperti anak kecil?