webnovel

Married With My Arrogant Friend

Gavriel Wijaya, putra pertama kebanggaan keluarga Wijaya pulang setelah sepuluh tahun menyelesaikan pendidikan dan membangun perusahaannya di New York sana. Pulang dengan sifat dan sikap berbeda 180°, Gavriel kembali ingin menggapai cintanya, cinta sahabatnya__Queeneira. Cinta yang belum sempat ia genggam, saat ia harus memikirkan pendidikan dan karirnya. Sedangkan Queeneira, yang terlanjur patah hati ditinggal selama itu sudah tidak ingin untuk berhubungan lagi dengan sahabatnya__Gavriel Wijaya. Lalu, bagaimana cara Gavriel untuk mendapatkan cinta Queeneira kembali, mampukah Gavriel menggengam cintanya, saat Queeneira sendiri sudah tidak ingin dekat dengannya. Ikuti kisah perjalanan dan bagaimana Gavriel mengambil hati sahabatnya kembali.

Haru_lina · Urban
Not enough ratings
737 Chs

Maafkan Aku, Queene.

Selamat membaca

¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶

Gavriel berjalan dengan tergesa seraya membuka kemeja hitam bergaris yang saat ini dipakainya. Hatinya bergemuruh kesal, saat Queeneira berpenampilan kelewat santai di pinggir sana.

Dalam hatinya berpikir, bagaimana bisa Queeneira tidak melihat penampilanya sendiri saat akan keluar rumah. Apakah saat ia perintahkan untuk segera ke bawah Queeneira tanpa pikir panjang langsung turun ke bawah.

"Oh! Apakah karena terlalu semangat ingin menemuiku, dia jadi lupa dengan pakaiannya sendiri," batin Gavriel dengan percaya diri.

Tidak ingin termakan dengan pemikirannya sendiri, ia pun segera menggelengkan kepalanya dan semakin menambah tempo laju langkahnya.

Dari sini ia bisa melihat Queeneira yang menolehkan kepalanya kanan dan kiri, sepertinya sedang mencari keberadaannya.

Tap!

Tanpa basa-basi Gavriel menyampirkan kemejanya di bahu Queeneira, yang segera melihat ke arahnya dan menatapnya dengan kaget.

"Gavriel," panggil Queeneira, dengan Gavriel yang segera menatap tajam Queeneira.

"Hn."

"Kenapa kamu memakaikan aku kemeja milikmu?" tanya Queeneira ketika Gavriel mundur selangkah, berdiri dan menatapnya dengan lurus.

"Kenapa? Tentu saja untuk menutupi tubuhmu dari tatapan pria di sekitarmu saat ini. Apa kamu tidak melihat bagaimana tipisnya baju yang saat ini kamu kenakan?" jawab Gavriel tanpa menutup-nutupi jika saat ini ia sedang kesal, marah dengan apa yang dilihatnya.

Baginya, hanya ia seorang yang boleh melihat apapun di diri Queeneira.

"Bikin kesal saja," batin Gavriel masih menatap tajam Queeneira yang ada di depannya.

"Cih, siapa yang menyuruhku untuk cepat turun dengan ancaman akan memecat seseorang, heh, Gavriel. Kamu ini bisa tidak sih, kalau mengajak ke suatu tempat itu pakai cara baik-baik. Hih, bikin kesal saja," tukas Queeneira sama kesalnya.

Ia tidak takut dengan gerutuan kesal Gavriel, justru ia dengan segera mengirim tatapan tajamnya kepada Gavriel yang hanya melihatnya datar.

"Alasan saja, kamu bisa memakai jaket atau apapun untuk menutupi baju transparanmu itu, Queeneira," timpal Gavriel masih tidak mau kalah.

"Tidak percaya sekali. Lagian apa urusan kamu sih, mau aku pakai baju transparan, mau aku cuma pakai dalaman sambil jalan-jalan di pinggir jalan. Itu semua terserah aku dong, emang kamu siapa marah-marah sama aku?" ujar Queeneira lebih frontal, masa bodo saat Gavriel menatapnya semakin murka.

Melihat Queeneira yang sudah mengeluarkan emosinya juga, Gavriel pun menghela napas dan mencoba untuk sedikit menghilangkan rasa marah akibat masalah sepele ini.

Sejenak membuang pandangan ke arah lainnya, Gavriel akhirnya melihat Queeneira kembali dan menatap Queeneira sedikit lembut.

"Fine, lupakan masalah yang tadi. Sebaiknya kamu ikut aku," putus Gavriel mengalah dan segera membawa tangannya untuk menggenggam tangan Queeniera. Ia membawa Queeneira untuk ikut menyebrangi zebra cross dan membawa Queeneira duduk di kursi yang tadi ia tempati.

Queeneira diam saja dengan hati jengkel luar biasa. Selalu seperti ini, Gavriel selalu melupakan sesuatu yang sudah menjadi sebab kemarahannya, tanpa mau menuntaskan kesalahpahaman dan membahasnya lebih lanjut.

"Menghindar dan terus menghindar, setelah membuat kesal dengan seenaknya mengatakan lupakan. Menyebalkan sekali," batin Queeneira, menatap punggung lebar Gavriel dengan tatapan tajam.

Mungkin jika mata Queene terbuat dari pisau, punggung Gavriel sudah tersayat-sayat saat ini, mungkin loh.

Menekuk wajahnya untuk memperlihatkan emosinya setelah keduanya duduk dengan berhadapan, Gavriel yang melihatnya pun menghembuskan napas sekali lagi kemudian menatap netra Queeneira lurus.

"Aku bukan ingin menghindar. Tapi aku hanya tidak ingin malam santai aku sama kamu berakhir canggung," ujar Gavriel seakan tahu dengan pemikiran Queeneira yang memang benar adanya seperti itu.

"Tap-

"Nanti, kita akan membahasnya di apartemen aku," sela Gavriel saat Queeneira hendak membantahnya.

"Siapa juga yang mau ke apartemenmu!" timpal Queeneira cepat, mendelik dengan bibir mendengkus saat Gavriel asal mengajaknya tanpa bertanya dengannya.

"Kamu mau handphonemu kembali tidak," kata Gavriel santai, menuai anggukan kepala cepat dari Queeneira yang menatapnya berbeda. Perubahan emosi yang cepat, padahal tadi Queeneira masih melotot kesal ke arahnya.

"Mau! Tentu saja mau. Kenapa tidak bilang dari tadi," seloroh Queeneira cepat, menyalahkan Gavriel karena ia salah paham dengan ajakan dari Gavriel tadi.

"Hn, kamu tidak bertanya dan malah menolak dengan cepat, kan," timpal Gavriel tidak mau kalah.

"Ih, kamu tidak menjelaskan dan hanya bilang akan ke apartemen, bagaimana aku tidak segera menolaknya. Tahu sendiri kamu dan kelakuan cabulmu seperti apa, siapa yang tahu kamu punya niat jahat sama aku," seloroh Queeneira menuduh Gavriel dengan pemikiran sesatnya, membuat Gavriel yang mendengarnya terkekeh singkat.

"Mulutmu, love. Belum pernah di sumpal yah," balas Gavriel sama sekali tidak tersinggung.

"Sering, aku sering menyumpalnya dengan makanan. Huh, awas saja sehabis ini kamu tidak memberikan handphoneku," sahut Queeneira tanpa pikir panjang.

Dengan kepala menggeleng pelan, Gavriel pun menyudahi acara gemas dengan Queeneiranya. Ia mengangkat tangannya dan memanggil pelayan yang segera menghampirinya.

Mereka memesan latte dan cokelat panas untuk masing-masing, juga sepiring cumi goreng tepung dan sepiring kentang goring, lalu kemudian setelahnya si pelayan pun meninggalkan keduanya setelah melempar senyum ramahnya.

Sepeninggalnya si pelayan, Queeneira melihat ke arah Gavriel yang saat ini sedang melihat ka arah lainnya, tepatnya ke arah penyanyi jalanan di depan sana.

Seketika ia juga teringat akan kenangan masa lalu mereka, saat mereka bersama-sama bermain musik dengan Ezra dan Selyn turut serta. Senyum di bibirya terulas, membuat Gavriel yang mengalihkan pandangannya ke arah Queeneira, menegikutinya dengan ikut tersenyum meski tipis.

"Jadi ingat dulu, yah. Saat itu kita masih bisa menikmati masa santai dengan bermain musik bersama, bernyanyi bersama dan melakukan hal bersama-sama," ujar Gavriel tiba-tiba, membuat Queeneira yang awalnya fokus ke arah depan mengalihkan segera pandangannya ke arah Gavriel.

"Ya, kamu benar. Tapi sayang sekali waktu sudah tidak bisa di putar, sehingga kini semuanya hanya akan menjadi kenangan, kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan," sahut Queeneira tanpa sadar menatap Gavriel rindu, begitu pun

sebaliknya Gavriel yang memberanikan diri memegang tangan Queeneira.

"Kamu memang tidak boleh menghilangkan kenangan itu, Queeneira. Tapi harus menambah kenangan, dengan aku serta di dalamnya," ujar Gavriel menatap netra Queeneira serius.

Queeneira mengalihkan tatapannya, kemudian melihat tangannya yang saat ini sedang ada dalam genggaman tangan Gavriel.

Dengan perlahan ia menariknya menjauh, lalu menyembunyikannya di bawah meja bertepatan dengan pesanan mereka yang datang.

Apa yang dirasakan Gavriel saat itu?

Kecewa.

Tentu saja, tapi ia mencoba untuk menahan raut wajahnya agar tetap biasa. Karena ia tahu, 10 tahun yang di lakukannya, itu belum sebanding dengan apa yang di lakukan oleh Queeneira.

"Silakan di nikmati," ujar si pelayan sebelum meninggalkan meja.

"Terima kasih," sahut Queeneira, sedangkah Gavriel hanya bergumam singkat.

Mereka menyesap minuman masing-masing dalam diam, dengan netra sama-sama melihat ke arah depan. Kali ini lagu dari Mawar De Jongh—Sedang Sayang-sayangnya menegalun, menemani malam yang semakin ramai, padahal waktu sudah menunjukan waktu sepuluh malam.

Queeneira berusaha untuk menikmati malam berbedanya dengan hati rileks. Menyingkirkan rasa kesalnya ketika mengingat kejadian tadi dan mencoba berdamai dengan hati yang sempat kesal juga marah.

"Gavriel," panggil Queeneira menatap Gavriel yang menunduk di depannya, sehingga Gavriel yang sedang menunduk pun segera mengangkat wajahnya dan menatap Queeneira dengan ekspresi bertanya.

"Hn?"

"Kenapa kamu tiba-tiba mengajakku ke sini, ke pinggir jalan seperti ini?" tanya Queeneira penasaran.

"Sesuatu kegiatan yang tidak pernah dilakukan oleh pengusaha terkenal lainnya. Merakyat," lanjut Queeneira bukan maksud menyindir.

Gavriel tidak langsung menjawab, melainkan melihat sekitar baru kemudian menatap kembali ke arah Queeenira dengan senyum kecilnya.

"Tidak ada alasan. Aku hanya ingin mengganti waktu masa remaja yang tidak bisa aku nikmati bersamamu, seperti ini, duduk santai di pinggir jalan seperti yang lainnya," jawab Gavriel dengan nada tenang.

Ia mengangkat bahunya santai, seakan-akan apa yang di katakannya tidak menyakiti hatinya. Padahal jelas sekali Gavriel sangat memikirkannya, tepatnya mencoba tidak memikirkannya.

"Lagian, pinggir jalan bukannya lebih romantis ya? Lebih antimainstrem ketimbang restoran mewah. Kalau aku mau lebih romantis, aku lebih memilih kapal pesiar untuk kencan kita selanjutnya, Queene," imbuh Gavriel menjelaskan dengan santai, kemudian tersenyum menggoda namun Queeneira malah mendengkus dengan cibirannya.

"Sok mah, cih."

"Gavriel," lanjut Queeneira kembali memanggil Gavriel yang kembali bergumam.

"Hum?" gumam Gavriel masih menatap Queeneira.

"Apa kamu menyesal, sudah menyia-nyiakan waktu remajamu?" tanya Queeneira dengan serius, menatap netra Gavriel ingin menyakinkan jika jawaban nanti dari Gavriel benar adanya.

"Menyesal?" beo Gavriel dengan Queeneira yang mengangguk, mengiyakan.

"Tidak, aku sama sekali tidak menyesal, Queeneira. Karena aku yang putuskan, karena aku yang sudah mengambil jalan ini. Jadi aku hanya perlu mensyukuri semuanya," lanjut Gavriel menjelaskan dengan nada tenang.

Nada suara yang di gunakan Gavriel sama sekali tidak ada emosi yang di dalamnya, membuat Queneira yang melihat mata juga mendengarnya tidak bisa membedakan, apakah saat ini Gavriel sedang menghibur diri atau memang benar adanya seperti itu.

"Gavriel," panggil Queeneira lagi dan Gavriel pun tetap bergumam sabar, merasakan jika Queeneira saat ini hanya sedang ingin banyak bertanya kepadanya.

"Bagaimana kehidupanmu di sana?"

"Eh!"

"Bagaimana kabarmu?"

Dari banyak pertanyaan yang ingin ditanyakan olehnya, sebenarnya pertanyaan ini lah yang ingin sekali Queeneira ucapkan. Mengingat pertemuan pertama mereka terjadi dengan waktu yang terlampau singkat, juga pertemuan-pertemuan selanjutnya yang selalu menguras emosinya.

Maka, baru saat ini lah, ia merasa mendapat kesempatan yang pas untuk berbincang santai dengan Gavriel.

Ia merasa jika moment inilah yang tepat untuk bertanya santai dengan Gavriel, mengingat jika saat ini suasana juga mendukung. Emh … Maksudnya suasana seperti ini aman untuknya, siapa yang tahu tiba-tiba Gavriel berbuat aneh lagi di tengah-tengah obrolan mereka.

"Aku merasa pertanyaan ini terlalu telat untuk di tanyakan," ujar Gavriel menjawab dengan nada geli. Namun, saat melihat ekspersi serius dari raut wajah Queeneira, Gavriel pun menyerah dan berdehem, ikut serius saat ia merasa Queeneira tidak sedang ingin main-main dengannya.

"Ehem .. Oke, maaf. Aku akan menjawabnya dengan benar," ralat Gavriel kemudian menegakan punggungnya.

"Jadi pertanyaan mana dulu yang harus aku jawab? Apakah yang kabar atau kehidupan aku di sana?" tanya Gavriel sebelum memberikan menjawabannya.

"Kabarmu," jawab Queeneira singkat, terkesan tidak ingin berbasa-basi dan Gavriel pun mengangguk dengan senyum kecil dibibirnya.

"Kabar aku tidak sebaik seperti yang kamu pikirkan. Namun, aku cukup bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk bertemu denganmu."

Queeneira tidak begitu mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Gavriel. Tapi, ia tetap diam karena ia merasa jika Gavriel belum selesai dengan jawabannya. Ia tetap menatap Gavriel dengan pandangan lurus, menanti jawaban akan pertanyaan lainnya yang akhirnya kembali dijawab oleh Gavriel.

"Kehidupan aku di sana tidak sebahagia saat bersamamu di sini-

"Aish! Gavriel, jangan gombal disaat sepe-

"Aku tidak menggombal, Queene. Sudah dari dulu aku memikirkannya dan aku sadar memang aku terlalu jahat kepadamu. Queene, maafkan aku."

"....."

Bersambung.