webnovel

Married With My Arrogant Friend

Gavriel Wijaya, putra pertama kebanggaan keluarga Wijaya pulang setelah sepuluh tahun menyelesaikan pendidikan dan membangun perusahaannya di New York sana. Pulang dengan sifat dan sikap berbeda 180°, Gavriel kembali ingin menggapai cintanya, cinta sahabatnya__Queeneira. Cinta yang belum sempat ia genggam, saat ia harus memikirkan pendidikan dan karirnya. Sedangkan Queeneira, yang terlanjur patah hati ditinggal selama itu sudah tidak ingin untuk berhubungan lagi dengan sahabatnya__Gavriel Wijaya. Lalu, bagaimana cara Gavriel untuk mendapatkan cinta Queeneira kembali, mampukah Gavriel menggengam cintanya, saat Queeneira sendiri sudah tidak ingin dekat dengannya. Ikuti kisah perjalanan dan bagaimana Gavriel mengambil hati sahabatnya kembali.

Haru_lina · Urban
Not enough ratings
737 Chs

Jangan Kangen Yah

Selamat membaca

¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶

Keesokan harinya sesuai dengan yang di ucapkan oleh Gavriel, jika hari ini ia ada perjalanan bisnis ke luar kota.

Gavriel yang sudah siap dengan kemeja putih juga jas hitamnya berjalan seraya menghubungi asistennya, Aksa. Rencananya ia dan Aksa akan bermalam beberapa hari, lalu pulang kemudian menghadiri meeting untuk mendapatkan tender dengan nilai kerjasama besar. Tender yang juga membuat sang Daddy khawatir, tentang keselamatannya setelah pengumuman kemenangan.

"Hn, sudah siap pesawatnya?" tanya Gavriel tanpa berbasa-basi, saat panggilannya di terima.

[Sudah, Bos. Hanya menunggu kedatangan Bos.]

"Hn, aku berangkat," sahut Gavriel kemudian memasuki mobil, yang pintunya di bukakan oleh seorang sopir seraya memutuskan sambungannya.

Brakh!

Brumm!

Mobil pun meluncur dengan kecepatan sedang, meninggalkan pelataran parkir apartemen mewah yang di huni oleh kaum kalangan jetset seperti Gavriel.

Di mobil Gavriel tidak hanya duduk tampan dengan aura wibawanya. Tapi ia juga memainkan handphonenya, berniat menggangu pagi hari wanita yang dicintainya, Queeneira. Tentu saja, siapa lagi.

Ia yakin sekali, jika saat ini Queeneira masih tertidur mengingat jika waktu masih terlalu pagi tepatnya pukul 4 subuh. Waktu enak-enaknya untuk tidur cantik, di tambah cuaca yang sedikit dingin.

"Hum," gumam Gavriel saat nada sambung terdengar, namun si empunya handphone belum juga menerima panggilannya.

"Ck, apakah dia masih tertidur," lanjutnya setelah berdecak sebal.

Tut! Tut! Tu-

Klik!

[Hum … Haloo.]

Dari seberang sana ia bisa mendengar sahutan dengan suara serak khas orang bangun tidur, membuat senyumnya terulas senang saat bisa menggangu pagi hari dari wanita yang tadi malam menemani waktu istirahatnya.

"Kucing pemalas, lihat, waktu sudah menunjukan pukul berapa ini," ujar Gavriel menjaga nada bicaranya agar tidak terdengar bersemangat.

[Ukh, siapa ini. Jangan mengangguku.]

Pfftt …

Ia hampir saja menyemburkan tawanya, saat suara kesal selanjutnya menjawab perkataan usilnya.

Ah! Seketika ia bepikir, jika akan sangat menyenangkan kalau ia bisa melihat langsung wajah bantal Queeneira di sana.

"Hum, tebak, siapa mahluk Tuhan paling tampan yang berani mengganggumu pagi-pagi seperti ini," balas Gavriel tanpa menyebutkan namanya.

Ia ingin membuat Queeneira kaget dan terbukti dengan keterdiaman sesaat, namun

berubah menjadi gaduh saat ia rasa Queeneira tahu siapa yang saat ini menghubunginya.

[Huwaa!!]

"Ha-ha-ha!"

Gavriel pun tak kuasa menahan gelak tawanya, sehingga kini mobil yang awalnya sunyi itu di penuhi gelak tawa dari Gavriel yang gemas dengan reaksi dari Queeneira di seberang sana.

Gelak tawa dari Gavriel tentu saja membuat sopir pribadinya ikut tersenyum, karena jujur saja. Ia baru ini melihat Tuannya yang tertawa lepas, saat biasanya selalu memperlihatkan wajah datar seperti Tuan besar Wijaya.

"Apa ini karena wanita yang tadi malam," batin si sopir penasaran.

[Gavriel, jangan mengangguku. Ini bahkan baru pukul 4 subuh, kalau kamu tidak bisa membedakan jarum jam.]

Gavriel menghentikan gelak tawa dengan deheman singkatnya, ketika suara kesal terdengar panjang lebar membalasnya. Kemudian menegakkan punggung seraya menahan senyum yang masih tersisa akibat gelak tawanya.

"Hn, aku tahu. Kata siapa ini sudah pukul 12 siang, heum?" sahut Gavriel dengan nada cuek, ia melihat arloji yang melingkar apik di pergelangan tangan kanannya, kemudian meminta sang sopir untuk menambah laju kendaraannya.

"Bisa di percepat, waktu landing sudah hampir tiba," kata Gavriel setelah menjauhkan handphonenya sesaat.

"Baik, Tuan," jawab si sopir dengan segera mengikuti perintah Tuannya.

[Kamu sedang di mana, Gavriel?]

Gavriel kembali fokus pada panggilannya, tepatnya saat ia mendengar pertanyaan dari Queeneira di sambungannya.

"Hn, aku sedang ada di perjalanan menuju bandara," balas Gavriel menjelaskan.

[Kamu jadi ke luar kota?]

"Hn, beberapa hari aku menginap. Jangan kangen yah," jawab Gavriel mengiyakan, kemudian seperti biasa menggoda Queeneira yang segera menampiknya dengan cibiran, terdengar saat Queeneira membalas perkataannya.

[Mimpi kamu, Gav. Aku justru akan sangat bersyukur dengan kepergianmu.]

"Yakin? Apa kamu tidak menyesal, kalau di luar kota nanti aku bertemu wanita lain?" tanya Gavriel dengan alis sebelah terangkat. Ia menunggu dengan tidak sabar balasan apa yang akan di terimanya dari bibir yang pernah dikecupnya itu seperti apa.

[Hih, kenapa aku harus menyesal. Emangnya kita ada hubungan apa?]

"Wanita keras kepala," batin Gavriel kesal, kemudian merilekskan dirinya agar tidak termakan jawaban reseh Queeneira.

"Tidak ada hubungan sih. Tapi, apa kamu yakin tidak akan menyesal, saat nanti aku bermain dengan wanita lain di sana, heum?" balas Gavriel, kemudian bertanya dengan memanas-manasi Queeneira.

[Cih, dasar kamunya saja yang gatal ingin bermain dengan wanita liar di luar sana. Sudah jangan mengangguku, jangan pamer juga kalau kamu sudah bertemu dengan wanita di sana.]

Nada sewot yang di keluarkan oleh Queeneira membuat Gavriel yakin, jika saat ini Queeneira di kamarnya sedang sibuk menyumpah serapahinya.

Ia pun menggelengkan kepalanya, saat melihat ke luar jendela dan menemukan pelataran parkir bandara di luar sana.

"Hum, tenang saja, love. Aku di sana bukan untuk bermain dengan wanita, tapi untuk bekerja. Baiklah, aku sudah sampai di bandara, sebaiknya kamu bersiap untuk bekerja. Ingat, jangan pernah abaikan panggilan dariku," ujar Gavriel panjang lebar.

Ia turun dari mobil setelah sopirnya membukakan pintu, lalu berdiri tegak seraya membenahi jasnya yang sedikit berantakan.

Di depannya juga sudah terlihat Aksa yang memang sudah sampai lebih awal. Ia berjalan menghampiri tangan kanannya itu, dengan Aksa yang segera menunjukan jalan pintas menuju lapangan landas, di mana pesawat pribadinya sudah menunggu.

[Kamu sudah sampai? Kalau begitu hati-hati di luar kota nanti. Lalu, soal menerima panggilan aku tidak jamin. Aku banyak meeting hari ini.]

"Tidak mau tahu," jawab Gavriel cepat, dengan kepala mengangguk saat melihat awak kabin pesawat pribadinya berjejer tapih dengan kepala menunduk menyambutnya.

"Selamat pagi, Tuan Gavriel!" seru semuanya kompak.

"Hn, pagi," sahut Gavriel seraya menaiki satu persatu anak tangga, kemudian memasuki ruang pesawat dengan sofa dan meja. Terlihat mewah dengan televisi, juga sofa santai di depannya.

[Jahat sekali, Gavriel.]

[Hum, aku memang jahat. Jadi, aku tidak mau tahu. Pokoknya, saat aku menelponmu nanti, kamu harus menerima," sahut Gavriel mutlak, sama sekali tidak ingin dibantah.

Ia duduk nyaman di sofa empuk berwarna putih, kemudian menolehkan wajahnya untuk melihat ke arah luar sana, di mana lapangan landas juga beberapa pesawat komersil berada.

[Ck, kamu selalu memaksaku, Gavriel. Tidak adil.]

"Hn, sudah sifatku," kata Gavriel tidak perduli.

Ia mengangkat tangannya, saat pilot dan Aksa berdiri untuk menanyakan keberangkatan, menuai anggukan kepala singkat dari mereka yang mengerti maksud Tuannya apa.

[Ck, oke. Sudah, sampai sini dulu, sekali lagi hati-hati.]

Senyumnya terulas saat mendengar pernyataan jika Queeneira menyerah dengan apa maunya.

"That's my girl. See you on next call, love, (Itu baru wanitaku. Sampai jumpa di panggilan selanjutnya, sayang)" sahut Gavriel dengan nada penuh kemenangan.

[Sejak kapan aku menjadi wanitamu, heh, wahai Tuan Gavriel yang terhormat. Jangan sembarangan.]

"Secepatnya. Sudah, cepat kamu tutup sambungannya. Kalau tidak, pesawatku tidak akan lepas landas," balas Gavriel cepat.

[Iya, aku tutup ya.]

"Hn," gumam Gavriel kemudian menunggu hingga Queeneira memutuskan panggilannya.

Tut!

Setelah memastikan jika panggilan benar-benar terputus, Gavriel mengangkat wajahnya dan menghilangkan senyum yang sempat terlukis di wajahnya. Ia menatap Aksa dan Kapten pilot di depannya dengan datar, kemudian mengangguk singkat sebagai kode jika ia siap.

"Anda bisa menerbangkan pesawat sekarang, Kapten Lionel," kata Gavriel dengan nada datar, menuai anggukan kepala mengerti dari sang kapten, dengan kewarganegaraan Amerika ini.

"Yes, Sir."

"Aksa," panggil Gavriel seraya mengaktifkan mode pesawat pada handphonenya.

"Ya, Bos?"

"Menurutmu, toko kue di kota S yang enak, toko kue mana?" tanya Gavriel menatap Aksa dengan ekpsresi bertanya serius.

"Eh! Toko kue?" beo Aksa bertanya. Ia kaget, saat Bosnya bertanya toko kue, alih-alih pekerjaan seperti biasanya.

"Hn, apakah kamu tidak tahu," sahut Gavriel kemudian memastikan.

"Kalau menurut Mama, toko kue Tara's Bakery enak," jawab Aksa, menjelaskan apa yang diingatnya menurut pengakuan sang Mama.

"Tara's Bakery?"

"Iya, Bos. Mama bilang punya istri unkel Ronald, mereka membuka bisnis kue," jelas Aksa dengan Gavriel yang mengangguk mengerti.

"Segere hubungi dan pesankan kue best seller di sana. Lalu kirim ke rumah, juga ke kantor Queeneira dan Selyn. Paham?" ujar Gavriel memerintah.

Aksa mengangguk, kemudian segera menghubungi toko sesuai perintah.

"Paham, Bos."

Akhirnya pesawat pribadi yang membawa Gavriel pun lepas landas, menuju kota dengan jarak beratus-ratus kilometer.

Bersambung