webnovel

Tawaran Praktik Kawin

“Bye, Dira!”

“Makasih untuk traktirannya, Kak Liam!” sambung Naomi menyeringai puas, melambai pada Indira dan Liam yang berada di dalam mobil.

Liam mengangguk dengan senyum hangatnya. Sedangkan Indira tidak mengubah ekspresi lebih baik setelah akhirnya ia tahu harus pasrah, membiarkan Liam mengantarkan Naomi pulang duluan.

Padahal, jika ditelisik dengan rute, rumah Indira memakan waktu lima belas lebih cepat. Ini sudah salah dan tidak wajar mengantarkan Naomi.

“Kenapa dari tadi diam aja? Bibir kamu nggak ada bedanya sama bebek. Monyong gitu.”

Indira mendelik kesal, lalu menurunkan kedua lipatan tangan yang sejak tadi berada di dadanya. “Lo sengaja antar Naomi pulang duluan, kan? Biar gue makin eneg satu mobil sama lo?”

Liam mendengkus geli. “Lebih tepatnya, biar aku ada waktu untuk lebih dekat dengan calon istriku.”

“Nggak mau gue jadi calon istri Lo! Ngerti nggak sih?”

“Usia kita cukup jauh dan gue belum lulus sekolah! Apa lo nggak malu, ketika memperkenalkan calon istri lo masih anak kecil? Kebanyakan pria dewasa lebih suka sama seumurannya, terlebih sikap mereka yang menunjang.”

“Gue itu anak manja di rumah. Ini itu masih minta sama Mama Papa. Gue paling suka merengek sama mereka. Sampai sini lo paham maksud gue, kan?”

Liam yang sedang asyik mengemudikan mobil dengan mengambil rute ke rumah Indira, mengangguk pelan. “Itu kan dari pandangan kamu sendiri,” balasnya dan menoleh sekilas, memberikan tatapan mesum.

“Kalau yang sebenarnya terjadi dipikiranku, lebih banyak aku bisa mengajarkan hal yang kusuka sama kamu. Termasuk ... Belajar gimana caranya puasin pria dewasa seperti aku.”

“Mama ... Dira diculik Om mesum! Mata keranjang! Mama ... Dira nggak sanggup kalau harus dinikahin sama Om-om yang suka liar sama bagian tubuh perempuan!”

Liam sukses tertawa ketika mendengar sahutan histeris Indira, termasuk bagaimana perempuan itu mengusap kasar wajahnya dan menatap ketakutan pada Liam.

“Kamu tuh sebenarnya pura-pura naif aja, kan? Nggak mungkin perempuan seusia kamu nggak pernah paham gimana pacarannya orang sekarang?”

“Bahkan, kamu udah berani masuk klub,” tambahnya tanpa ingin menyudutkan Indira dan mengembalikan ingatannya pada kejadian perempuan itu bersama Gio.

Liam sudah tahu jika pria itu adalah siswa di sekolah Indira. Tidak ada satu informasi pun yang berkaitan dengan Indira yang tidak diketahui Liam. Termasuk ukuran baju dan dalamannya. Alasannya? Siapa tahu bisa membujuk Indira dengan perhatiannya dan mau membuka diri padanya.

Urusan perempuan itu ilfeel dan semakin tidak suka, itu risiko di belakang.

Perempuan itu menatap sinis Liam dan berkata, “Ya! Gue bukan perempuan polos yang nggak tau apa pun. Tapi, bukan berarti gue bisa melakukan banyak hal yang bakal merusak harga diri dan masa depan gue.”

“Aku suka sama jawaban kamu!” serunya sekilas memberikan pandangan berseri pada Indira.

“Makanya, aku mau nikah sama kamu. Karena kamu perempuan yang baik menurutku,” lanjutnya sesaat memberikan debaran dan respons sedikit rasa hangat pada dirinya.

Kalimat Liam sangat berpengaruh pada detak jantungnya. Tapi, menutupi hal yang akan membuat Liam besar kepala, Indira langsung berdecak kesal dan kembali melipat kedua tangan di dada.

Ia mendongak angkuh ke arah jalan raya, tanpa menatap pria tampan keturunan Jepang - Indonesia.

“Terlalu manis ucapan lo sampai gue berkali lipa eneg. Mungkin, kalau kita beneran nikah dan berjalan beberapa bulan, lo baru sadar kalau udah nyesal nikah sama gue.”

“Bisa jadi sih.”

“Tuh, kan!”

Liam hanya terkekeh pelan, tanpa menanggapi lebih lanjut.

Indira mencebik kesal.

“Gue rasa, lo pilih gue jadi calon istri lo karena terpaksa, udah berusia di akhir tiga puluh tahun, kan? Lo jomlo akut, kan?” cecarnya bertubi-tubi.

Tatapan Liam berubah sendu dan mengangguk. “Iya, aku jomlo, susah cari pasangan. Jadi, setelah Mami mau jodohin aku, yaudah, terima aja,” balasnya semakin membuat Indira menatap sinis Liam.

“Pokoknya gue nggak mau nikah sama lo!”

“Jadi mau apa? Kawin?”

“Yuk! Aku mau kalau kamu minta diajarin praktik kawin, di bandingkan menjalani prosesi nikah.”

“Otak mesum!” pekiknya tidak habis pikir.

“Aku nggak semesum yang kamu pikirkan,” ucapnya menyeringai geli.

“Nggak percaya,” tandasnya dan membuang pandangan.

Liam hanya mengulum senyum dan melajukan mobil menuju rumah Indira. Ia tidak masalah di pandang sebelah oleh perempuan itu. Terpenting, ada obrolan yang beberapa menit lalu terjalin di antara mereka.

**

“Nggak usah tatap gue!”

“Kamu sensitif banget. Lagi datang bulan, ya?”

“Sok tau! Gue emang suka gini sama orang yang bisa buat gue eneg, termasuk lo orang baru masuk dalam daftar selanjutnya,” balasnya semakin ketus seraya melepas sabuk pengaman.

Ia tidak ingin berlama-lama di dalam mobil Liam. Karena hanya akan memicu kerutan dini. Padahal, jika dilihat dari sisi lain, Liam sangat tenang dan tidak terlihat untuk dendam; membalas cercaannya lebih sadis. Indira memang orang paling utama yang membenci keadaan ini.

Liam tersenyum geli saat Indira tidak bisa membuka pintu mobil. “Cepat, bukain! Gue mau masuk!”

“Apa yang dibuka? Seragam sekolah kamu? Di sini?”

Sontak saja manik hitam Indira membeliak dan pandangannya sukses menatap cepat Liam yang masih berusaha menahan kedutan di kedua sudut bibirnya.

“Kalau terpergok orang lewat gimana? Kamu mau tanggungjawab? Kaca mobilku memang gelap, tapi kalau mobil ini sampai ikut goyang kan, bahaya,” sambungnya semakin menjadi, bahkan sudah disuguhkan oleh wajah Indira yang memerah dan pandangannya memicu tawa puas Liam.

Pria itu sukses tidak bisa menahan tawanya mendapati sorot kemarahan dari Indira.

“Dasar Om Mesum!”

“Apa mulut lo nggak bisa direm untuk bicara yang lebih sopan?! Atau lo hobi banget buat kerutan gue cepat terlihat di bandingkan usia gue?! Dasar pria dewasa yang nyebelin!”| pekiknya.

“Gimana ya? Habisnya aku nggak bisa mengajak kamu ngobrol lebih santai. Kamu kan tipe orang sakit gigi. Jadi, aku bingung dan hanya tau kalau memantik kemarahan kamu, bisa membuat kamu bicara panjang lebar sama aku,” balasnya membuat Indira terkesiap.

Manik keduanya bersitatap dan Indira justru salah fokus pada senyum manis Liam. Ia menelan saliva susah payah, tidak bisa mengalihkan pandangan saat senyum manis itu membuat tubuhnya berdesir.

Sebanyak apa pun lo menampik. Calon suami lo memang udah paling tampan dari semua pria yang pernah lo temui, Dira. Termasuk gimana senyum manis dia tersungging.

Indira lupa mengerjap dan hal itu terlihat jelas oleh Liam. Bahkan, saat tubuh pria itu condong dan menaruh salah satu tangan di sandaran jok Indira dan menatap wajahnya dari lekat, perempuan itu semakin kentara dalam melamun. Tidak mengerjap sedetik pun sampai perempuan itu melakukannya di detik kelima, tepat saat ia membeliak dengan ciuman Liam di pipi kanannya.

“Sampai bertemu besok, Indira,” bisik Liam.

**