webnovel

Bingung, Kelebihan Perempuan yang Masih Sekolah

Liam memarkirkan mobilnya ke dalam garasi dan memasuki rumah dari pintu penghubung. Ia mengulum senyum mendapati Kakak, Adik serta Iparnya duduk bersama di ruang tamu, meliriknya dengan tatapan yang berbeda.

“Benar, kan! Mami bilang, calonnya Kak Liam tuh masih anak SMA. Gila ... Masa calon kakak iparku lebih mudaan?”

“Jadi yang kamu bilang kemarin beneran, Sayang?”

“Itu info paling akurat!” sahut perempuan bermata sipit yang menatap serius suaminya yang berada di sampingnya.

Sedangkan pria berdarah Indonesia itu melirik ke sebelahnya. Kakak iparnya bernama Xavier Ogawa—Kakak Liam—sibuk bermain game di ponsel.

“Kak? Masa kita kalah sama Kak Liam? Kita nikah sama yang seumuran. Lah, sekali dapat Kak Liam justru nikah sama yang masih polos.”

“Nggak iri, Kak?” tanya adik iparnya dengan selisih empat tahun itu.

“Ih, Putra! Maksud kamu apa, bilang kamu menikah sama yang seumuran?! Nggak suka kamu nikah sama aku?!”

“Eh, eh, nggak, Sayang!” pekik pria itu langsung mengusap lengannya yang menjadi sasaran pukulan dari istrinya.

Perempuan itu mencebik saat Putra menyunggingkan senyum manis seraya merangkul bahunya. “Cuma tanya aja. Jangan diambil hati ya,” ucapnya mencoba menenangkan, meskipun tetap saja mendapat umpatan dari istrinya; Ayuka Milly Ogawa.

Mata sipitnya menjadi ciri khas yang selalu disukai dan terkadang diejek suaminya sendiri.

Kepala Putra kembali teralihkan pada pria di sampingnya. Ia memang duduk di antara istri dan kakak iparnya. “Beneran nggak iri, Kak?”

Pria berwajah datar dan terlihat tidak peduli pada percakapan serius mereka, mengedik santai. Ia pun menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel. “Udah telanjur nyaman sama Maminya anak-anak,” balasnya yang membuat Liam menerbitkan senyum mendengar jawaban dari Kakak keempatnya.

Ia segera melangkah pasti ke arah mereka dan duduk di seberang, menatap keduanya dengan tatapan hangat. “Kamu nggak bakal bisa komporin Xavier, Putra. Nggak akan pernah bisa,” ucap Liam mendapatkan sahutan tegas dari istri Putra.

“Tau, tuh! Bukan Kak Xavier yang dikomporin dan bakal panas. Tapi aku yang bakal nggak terima kalau Putra terus ngomong kayak gini. Berasa nggak bersyukur si ceking ini nikah sama gue!” ketusnya yang langsung membuat Liam tertawa dan cukup puas mendapati Putra kelabakan meminta maaf pada Milly.

Giliran Xavier menoleh sekilas ke arah pasangan suami istri yang masih saja sering bertengkar. Akan tetapi pertengkaran mereka terlalu manis jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda.

Xavier dan Liam tahu bagaimana Putra sangat mencintai Milly.

“Kayaknya suamimu udah bosan sama kamu, Mil. Wajar sih bosan. Orang kalian aja udah kenal dari SMA. Mungkin, suamimu udah jenuh, makanya bilang gitu ke Kakak biar ada teman selingkuh.”

Saat itupula manik hitam Putra membeliak sempurna. Tubuhnya menegang dan tatapan pria itu jatuh pada kakak ipar terjahat dan tersadisnya

Xavier menyeringai puas.

“Kamu hobi banget jahilin mereka, Xav,” cetus Liam tapi ikut tertawa bersama Xavier melihat Milly yang beranjak ke lantai atas, disusul Putra yang semakin keringat dingin.

Ucapan Xavier berhasil memantik kompor meleduk di antara Milly dan Putra.

Xavier mengedik dan kembali bersandar di sofa dengan tangan bermain di atas layar ponsel. Ia sedang serius bermain game karena jika berada di rumah, istrinya akan marah dan mengancam hal yang paling dibenci Xavier; jatah malam hari.

“Asal kamu tau, mereka terus bahas hal ini dan buat kepalaku pusing. Untung kamu udah pulang dan aku bisa cari cara supaya mereka nggak buat aku semakin kesal dengar pernyataan mereka.”

Liam terkekeh kecil.

“Gimana hari ini?”

“Lancar,” balas Liam mengulum senyum.

Entah kenapa, sesaat senyum Xavier—Kakak Liam—terpatri di paras tampannya.

Keduanya sama-sama tampan. Hanya saja, perbedaan mencolok adalah Liam yang terlihat hangat pada siapa pun dan tidak sungkan memberikan senyum manis. Sayangnya, Xavier bukanlah pria dengan karakter yang sama seperti Adiknya dengan selisih mereka hanya satu tahun.

“Aku selalu berharap kamu bisa bahagia dengan perjodohan ini, Liam.”

“Pilihan Mami nggak akan pernah salah. Aku selalu percaya,” balas pria itu dengan tenang.

Sebenarnya, pernikahan yang terjadi di antara Milly dan Xavier sudah menjadi contoh terbaik dalam hidup Liam. Meskipun ia sudah lebih dulu ditinggal menikah oleh Milly setelah perempuan itu lulus kuliah, tapi ia bisa melihat hubungan pasangan suami istri itu yang kentara dalam kemesraan mereka

Sama halnya dengan Xavier.

Keduanya terpaksa menikah.

Tapi, hal lain terjadi saat Mami mereka percaya jika pasangan mereka adalah orang terbaik yang akan menjadi pelengkap di antara mereka. Hubungan di antara Xavier dan istrinya pun tidaklah baik di awal. Semua hal dan kehidupan rumah tangga di antara anak dari Tuan Ogawa, selalu mendapatkan pandangan penuh penilaian dari Liam.

Ia memilah sisi baik dan buruk untuk menjadi pembelajarannya.

“Dia terima kamu?”

“Nggak sama sekali,” sahut Liam diiringi tawa.

“Indira Aubrey. Itu nama lengkapnya,” balas pria itu ikut bersandar, seraya melirik jam tangannya sekilas.

Orangtua mereka akan pulang dari Tokyo pukul tujuh malam. Sebagai anak, mereka berinisiatif untuk menjemput bersama.

“Dipertemuan awal dia juga lihat aku kayak lihat hantu,” cetusnya tidak berbohong sama sekali. Manik hitam yang membeliak dan tubuh menegang. Bukankah persis terlihat begitu sama, kan?”

Kali ini tawa kecil Xavier mengiringi.

“Itu biasa. Lama-lama juga nanti seperti hubunganku bersama Serra dan pasangan paling absurd di keluarga kita,” sambungnya melirik ke anak tangga, memberikan kode pada Liam yang langsung mendengkus geli.

Ucapan itu sengaja dilakukan Xavier supaya Liam tahu ke mana arah pembicaraan mereka. “Milly dan Putra adalah suami istri yang saling melengkapi. Mereka nggak saling membenci, tapi mereka mencoba terus mencari momen untuk dikenang. Hal manis yang terjadi hari ini adalah bagian cerita untuk masa depan mereka,” jelasnya dibalas anggukan Xavier dengan senyum manisnya.

Itu benar.

**

Nyaris lima menit Indira duduk di depan meja rias. Ia baru usai mandi, membalut tubuhnya dengan kaus lengan pendek selaras dengan celana pendeknya. Rambutnya yang masih basah tergelung di balik handuk putih, disatukan di atas kepalanya.

“Suer ... Nggak ada yang menarik dari diri gue,” cetusnya dengan pandangan lurus, hampir tidak berkedip.

Ia sedang menilai dirinya sendiri. Mencoba menelisik apa yang membuat Liam keukeh menerima perjodohan ini. Semakin hari, ia sudah lebih dulu merasakan detak jantung bertalu kuat.

Ngeri.

Tunangan dilanjutkan pernikahan.

Ia akan menjadi seorang istri?!

Apa yang membuat Indira bisa bertemu Liam di waktu yang tidak tepat ini?

“Ini nggak menonjol sampai seseksi perempuan dewasa ... Apalagi lekuk tubuh gue nggak terlalu menggoda iman. Emang dasar Om Mesum itu udah nggak tau malu dekatin anak sekolahan,” gerutunya mencebik setelah melihat lekat dada dan lekuk tubuhnya.

“Bokong gue juga nggak se-aduhai perempuan lain.”

“Beneran katarak tuh mata si pria keturunan Jepang itu,” lanjutnya mendesah frustrasi.

Kedua telapak tangannya menempel di pipi kanan dan kirinya. Ia menekan, menatap lurus cermin rias dengan tatapan lemah. “Ya ampun ... Nggak sanggup kalau gue jadi seorang istri diusia muda. Mau jadi apa masa depan gue udah dinikahin sama pria dewasa, selisih nyaris dua puluh tahun.”

“Lah, gue masih muda nanti ... Dia udah tua, dong? Malu dong, gue kenalin dia sama teman-teman gue suatu saat nanti.”

“Mama ... Dira nggak mau dijodohin!” pekik perempuan itu semakin frustrasi.

**