webnovel

Pembohong

Sore harinya setelah jam kerja selesai, Mark langsung keluar dari kantor dan mengendarai mobilnya menuju apartemen yang cukup jauh dari rumahnya.

Setelah satu jam perjalanan, Mark berakhir di sebuah gedung apartemen yang bernuansa metalik dengan desain futuristik dan sangat megah terdiri dari puluhan lantai. Pria yang mengenakan setelan jas berwarna biru gelap itu langsung berjalan sambil menyeret koper yang sudah disiapkan Adriana, memasuki gedung pencakar langit dan menyusuri koridor hingga tiba lift.

Sesampainya di lantai lima, Mark turun dari lift dan berjalan menuju salah satu pintu berwarna putih, lalu mengetuknya.

Tok ... tok... tok

Hanya butuh sepuluh detik menunggu, pintu itu terbuka dan ada seorang gadis cantik yang langsung memeluknya.

"Aku merindukanmu," kata gadis itu.

"Aku juga merindukanmu, Maura," jawab Mark sambil mempererat pelukannya, bahkan mencium pundak gadis itu dengan penuh penghayatan seolah memang sangat merindukannya.

"Kenapa lama sekali? Aku sudah menunggumu dari tadi ... kamu tidak tepat waktu?" Maura bertanya sambil melepaskan pelukannya.

"Maaf, aku harus menyelesaikan pekerjaanku terlebih dahulu supaya dalam tiga hari ke depan tidak ada yang mengganggu aku," jelas Mark dengan meyakinkan.

Maura mengangguk paham lalu bertanya, "apa kamu yakin dia tidak akan curiga jika kamu membohongi nya?"

"Aku yakin," jawab Mark santai. "Tadi malam aku mengajaknya bersenang-senang supaya dia tidak curiga," lanjutnya sambil tersenyum licik.

Siapa tahu? Dibalik sikapnya yang baik terhadap Adriana, ternyata hanya untuk menutupi rencana perselingkuhannya dengan Maura..hm dasar pria yang tidak setia!

"Kamu baik padanya, tapi kamu bilang kamu tidak mencintainya." Maura membuang muka, mengungkapkan kecemburuan atas perlakuan Mark terhadap Adriana.

"Maura, posisiku rumit. Aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja, karena dia ibu dari anakku," kata Mark sambil memeluk Maura dari belakang.

"Lalu, bagaimana denganku, kapan kita meresmikan hubungan ini?" tanya Maura sambil berbalik untuk melihat Mark.

"Ketika saatnya tiba," jawab Mark.

Maura hanya tersenyum tipis, membuang muka. .'Setidaknya kamu kembali padaku, aku tidak peduli jika kamu seorang pria yang sudah menikah karena aku sangat menginginkanmu,' pikirnya

___

Adriana mengkhawatirkan Evan karena masih demam hingga sore hari. Obat yang dia berikan tidak bertahan lama. putranya hanya sembuh sebentar, lalu demam lagi.

Evan juga terlihat lemah. Biasanya, jika dia demam, dia tetap ingin bermain. Tapi tidak kali ini, demamnya sangat tinggi dan dia tidak mau bermain samasekali..

Melihat Evan yang semakin mengkhawatirkan, Adriana memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Dia segera bersiap-siap, setelah itu membawanya keluar dari kamar.

Rumah terlihat sepi karena mungkin mertua sedang keluar. Byanca mungkin juga keluar dengan teman kuliahnya, jadi tidak ada sopir di rumah yang bisa membawa Adriana dan Evan ke rumah sakit.

Adriana berjalan keluar dari gerbang membawa Evan dengan cemas, ibu muda yang mengenakan terusan dress sebatas lutut berwarna merah dengan lengan tertutup itu menunggu taksi, atau apa pun lewat sambil menggendong putranya.

Dari kejauhan, mobil Dave terlihat menuju rumah. Pemuda itu menghentikan mobilnya lalu turun menghampiri Adriana.

"Kalian akan ke mana?" tanya Dave sambil menatap Adriana yang menggendong Evan sambil membawa tas kecil di tangannya.

"Aku harus membawa Evan ke rumah sakit, dia demam sejak pagi ini," kata Adriana dengan wajah sedih, dia sangat khawatir dengan putranya yang terlihat lemas dalam balutan celana panjang dan kaos tipis berwarna oranye.

"Aku akan mengantarmu," kata Dave yang ditanggapi Adriana hanya dengan anggukan. Dia segera berjalan ke mobil dan membukakan pintu untuk kakak ipar dan keponakannya. Setelah itu, dia juga masuk dan mengemudikan mobilnya menuju ke rumah sakit terdekat.

Dalam perjalanan, sesekali Dave menoleh ke arah Adriana yang sedang menggendong Evan. Dia merasa kasihan pada kakak ipar dan keponakannya, lalu memikirkan Mark yang bahkan tidak mengantar mereka ke rumah sakit.

"Apa Mark sudah tahu bahwa Evan sakit?" tanya Dave.

"Belum," jawab Adriana. "Dia bilang dia akan pergi ke luar kota selama tiga hari," lanjutnya terdengar tidak senang.

Dave mengangguk mengerti lalu mengernyit setelah mendengar jawaban Adriana. 'Keluar kota tiga hari? Setahuku, perusahaan tidak ada proyek di luar kota,' pikirnya.

Dave merasa curiga bahwa Mark telah membohongi Adriana. Namun, dia tidak ingin menceritakan hal ini kepada saudara iparnya itu, karena takut itu akan membuatnya semakin sedih.

Setelah 15 menit menempuh perjalanan, mereka akhirnya tiba di rumah sakit. Evan langsung mendapat perawatan dari dokter. Sekarang, Adriana dan Dave memperhatikan dokter yang sedang memeriksa anak itu.

"Ini gejala demam berdarah, dia harus dirawat di sini selama beberapa hari," kata dokter setelah memeriksa Evan. Dia segera memerintahkan para perawat untuk meletakkan jarum infus di tangan kanan bocah itu.

Setelah beberapa menit melihat Evan merintih ketakutan pada jarum yang menempel di tangannya, Adriana segera mendekati putranya, menatapnya dengan sedih, lalu mencium keningnya. Tanpa terasa, air mata menetes begitu saja. Ibu muda itu tidak tega melihat anaknya sakit.

"Dokter, lakukan yang terbaik untuk keponakan saya," seru Dave dengan serius.

"Tentu saja, kalau begitu saya permisi." Dokter segera meninggalkan ruangan dengan dua perawat yang membantunya.

Dave menatap Adriana dan Evan dengan kasihan. Dia terus memikirkan keberadaan Mark yang sebenarnya. Dia berpikir bagaimana bisa saudaranya pergi dengan alasan keluar kota, sedangkan tidak ada kepentingan di sana?

"Kamu pulang saja Dave, biar aku temani Evan," kata Adriana.

"Tidak, aku akan tinggal di sini," sahut Dave.

"Tapi kamu pasti lelah. Kamu belum mandi, belum makan, lebih baik kamu pulang dulu." Adriana bersikeras. Dia tidak nyaman jika dia selalu mengganggu Dave. Dia bahkan merasa bahwa adik iparnya itu lebih terlihat seperti figur ayah yang tepat untuk Evan.

Mungkin, jika dia mengenal Dave lebih dulu daripada Mark, dia mungkin lebih menyukai Dave. Namun cinta butanya pada Mark, membuatnya tak bisa menolak saat merayunya dengan manisnya cinta yang ternyata hanya sesaat.

"Oke. Aku akan pulang tapi aku akan kembali lagi nanti," ucap Dave akhirnya setuju. Dia juga merasa gerah dan tidak nyaman karena belum mandi.

"Nanti tolong bawakan baju untukku dan Evan. minta saja ke asisten di rumah," kata Adriana.

"Oke, kalau begitu aku pulang dulu," pamit Dave, lalu segera meninggalkan kamar.

____

Di tempat lain tepatnya di ruang kerja dalam rumah minimalisnya, Zach sibuk mengedit foto-foto hasil jepretannya. Merasa lelah, dia beristirahat dengan bersandar di sofa berwarna hitam .pria tampan itu merogoh sakunya mencari smartphone, lalu menelepon Adriana.

"Hallo," sapa Zach saat terhubung dengan Adriana.

"Hallo, Zach. Kenapa kamu tiba-tiba meneleponku?" tanya Adriana dari telepon.

"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengobrol denganmu," jawab Zach santai, membayangkan wajah wanita di telepon.

"Maaf, Zach, tapi aku sedang fokus menjaga Evan. Dia sakit, dan kita di rumah sakit sekarang," kata Adriana terdengar sedih.

"Di rumah sakit mana?" tanya Zach khawatir.

"Rumah Sakit Santa Barbara," jawab Adriana.

"Aku akan ke sana," kata Zach lalu segera memutuskan sambungan teleponnya lalu keluar dari rumah, mengendarai mobilnya menuju rumah sakit.

Entah kenapa, hati kecilnya seolah mendorongnya untuk bertemu dengan Adriana dan Evan, seolah kepeduliannya pada wanita itu tak pernah pudar.