webnovel

Pembohong

"Siapa maksudmu?" tanya Mark sambil mengernyitkan keningnya. Sepertinya dia berpura-pura tidak tahu.

"Maura," jawab Adriana. "Kemarin dia mengantarmu pulang saat kamu mabuk. Apa yang kamu lakukan dengannya?" Dia melanjutkan dengan tatapan tajam.

Mark tidak langsung menjawab. Dia tidak bergeming untuk menelan salivanya, terlihat bingung karena tertangkap basah.

Melihat suaminya tidak menjawab pertanyaannya, Adriana langsung berjalan keluar kamar, lalu menuju kamar pribadinya yang tak jauh dari kamar Evan.

"Kami tidak sengaja bertemu, dan antara aku dan dia tidak ada hubungan sama sekali," kata Mark sambil berjalan mengikuti Adriana.

"Lalu kenapa kamu mabuk? Tidak biasa, kan? ... kamu meninggalkanku ketika aku sedang tidur, lalu kembali di antara gadis-gadis lain. Tidakkah kamu memikirkan perasaanku?" Adriana mulai meluapkan apa yang ada di pikirannya sejak tadi pagi.

"Maaf... Aku hanya pusing memikirkan pekerjaan, makanya aku pergi ke klub. Kamu tahu itu sudah kebiasaanku sejak lama, jadi jangan mempermasalahkannya." Mark kembali berargumen seolah-olah Adriana adalah wanita bodoh yang bisa dengan mudah dibohongi.

Adriana melirik malas ke arah Mark yang tidak memberikan alasan logis. Suaminya memang sering mabuk-mabukan bahkan pernah juga mengajaknya. Tapi sejak menikah, dia tidak lagi seperti itu.

"Masalahnya...kamu bersama Maura! apa kamu tidak peduli dengan perasaanku? Aku cukup sabar untuk menanggung hinaan dari ibu mu dan Byanca. Sekarang kamu bahkan mulai tidak jujur ​​padaku," Adriana merasa kesal, lalu duduk di tepi ranjang. Perlahan, air matanya menetes begitu saja.

"Sayang... Dia hanya mantanku..sekarang di antara kita hanya sekedar pertemanan, tolong jangan berpikir negatif!" Mark mendekati Adriana dan duduk di sampingnya. Dia mencoba merayu istrinya yang sedang menangis itu.

Adriana menunduk dan masih terisak. "Aku tidak percaya."

"Kita sudah menikah. Lalu apa lagi yang aku butuhkan? Aku sudah cukup puas memilikimu. kamu harus percaya bahwa tidak ada hubungan khusus di antara kami." Mark menyeka air mata Adriana dengan ibu jarinya.

"Entahlah ... sangat sulit untuk mempercayaimu." Adriana menyingkirkan tangan Mark dari wajahnya. Dia segera turun dari tempat tidur, lalu menghapus make-up, berganti pakaian dengan beralih mengenakan piyama, lalu berbaring kembali di tempat tidur, tidak peduli dengan suaminya lagi

Mark menghela napas kasar, lalu mengikuti Adriana ke ranjang. Dia berbaring, kemudian melingkarkan tangannya di perut istrinya tetapi istrinya itu langsung menepisnya, bahkan sang istri membalikkan badannya dan memberinya jarak. Sekarang, mereka berdua tidur berjauhan.

"Adriana," panggil Mark.

"Diamlah, aku tidak ingin mendengar penjelasan kamu yang penuh dengan omong kosong itu!" seru Adriana tanpa mengubah posisi.

"Tolong jangan marah, setidaknya jangan diamkan aku seperti ini," seru Mark, mencoba menyentuh lengan Adriana, tapi istrinya langsung menepisnya, lalu duduk dan menatapnya dengan kesal.

"Mau apa kalau aku tidak marah? kamu mau sentuh aku, bercinta denganku, lalu pergi saat aku tidur? Aku muak dengan semua itu!" kesal Adriana lalu turun dari tempat tidur.

Mark menatap Adriana yang sedang marah dan tidak mungkin dibujuk. "Aku hanya ingin membuatmu tenang, Adriana, karena semua yang kamu pikirkan tentang aku dan Maura itu tidak benar. Aku tidak ingin kamu salah paham," katanya penuh permohonan.

Astaga, Adriana bahkan muak melihat wajah Mark yang berlagak memohon itu.

"Aku tidak butuh ditenangkan dengan kebohongan. Aku bukan anak kecil yang bisa kamu bohongi. Butuh waktu untuk mempercayai kamu!" Adriana menegaskan, lalu kembali berkata, "Sebenarnya aku akan tenang jika kita pindah dari rumah ini dan kita tinggal bersama keluarga kecil kita, jauh dari mama dan Maura!"

Adriana memberanikan diri membahas masalah ingin pindah rumah karena dia juga tidak tahan dengan mulut pedas mertuanya yang selalu membuat telinganya panas, sakit hati, bahkan ingin minggat.

Mark bangkit dari tempat tidur, kemudian menarik Adriana untuk duduk kembali di sampingnya. "Sayang, aku anak pertama, ayahku sudah meninggal, aku punya dua adik, aku harus tinggal di sini sebagai pemimpin keluarga. Kami tidak akan pindah dan rumah ini karena rumah ini sepenuhnya milikku, dan tentu saja milikmu juga," jelasnya dengan lembut.

"Tapi Mama tidak pernah menyukaiku. Aku selalu dihina, bahkan Byanca tidak ingin aku berada di sini." lagi-lagi air mata Adriana menetes hingga Mark memeluknya dari samping.

"Mereka hanya belum menerimamu, aku yakin mereka akan baik padamu suatu hari nanti. Tolong jangan menangis, aku tidak bisa melihat istriku sedih seperti ini." Mark mencoba menenangkan Adriana.

Adriana melepaskan pelukan Mark, mengusap air matanya dengan kasar. Dia melirik suaminya yang bertingkah seolah penuh perhatian, namun bayangan Maura yang mengantar suaminya samalah seolah terus berkeliaran di benaknya. Wanita itupun langsung turun dari ranjang..

"Aku akan tidur dengan Evan saja," katanya.

"Aku akan datang, kita tidur bertiga," sahut Mark.

Adriana memutar bola matanya lalu menatap Mark penuh kebencian. "Kamu tidur dengan Evan dan aku akan tidur di sini sendirian," katanya lalu menarik Mark turun dari ranjang.

"Adriana...."

"Kamu jarang menemani putramu tidur. Jadi, sekarang kamu harus menemaninya sampai pagi," kata Adriana mengingat Mark jarang punya waktu untuk Evan. Dan sebenarnya, dia juga tidak ingin tidur dengan suaminya itu karena dia masih kecewa.

Mark menghela napas kasar lalu berkata, "Kupikir kita akan tidur bertiga karena aku tidak bisa tidur tanpamu."

Adriana tersenyum sinis, melirik Mark yang bertingkah manja tanpa memikirkan kesalahannya. Ya, Tuhan. Dia ingin melempar sandal ke wajah suami yang tidak pernah menyadari dan mengakui kesalahannya itu.

"Jangan banyak protes, lebih baik keluar sekarang atau aku yang akan tidur dengan Evan!" seru Adriana tegas.

Mark terdiam sejenak lalu kembali duduk di tepi ranjang. "Kamu tidur dengan Evan. Aku lelah dan ingin tidur nyenyak di sini," katanya lalu berbaring dan menutupi wajahnya dengan bantal.

Adriana menggelengkan kepalanya karena terkejut dan benci, tidak tahu harus berbuat apa. Suaminya bahkan lebih suka tidur sendiri daripada harus tidur dengan putranya, membuatnya berpikir bahwa suaminya memang tidak menyayangi putranya lagi.

Melihat Mark telah menutupi wajahnya dengan bantal, itu pertanda bahwa dia tidak ingin melanjutkan percakapan dengannya. Adriana berjalan keluar kamar dengan perasaan kesal dan seolah ingin kabur. Dia berjalan keluar kamar menuju kamar Evan.

"Adriana."

Adriana berbalik ketika dia mendengar namanya dipanggil.

"Dave," katanya kepada adik iparnya yang terlihat seperti hendak tidur karena sudah memakai piyama biru laut tanpa motif.

"Apakah kamu akan tidur dengan Evan?" tanya Dave.

"Ya, aku ingin tidur dengannya malam ini," jawab Adriana lalu membuka pintu kamar Evan

"Adriana," panggil Dave lagi.

"Kenapa, Dave?" tanya Adriana.

Dave menatap wajah Adriana yang memerah dengan mata sembab, jelas dia mengira kakak iparnya itu habis menangis.

"Apa yang membuatmu menangis? Apakah Mark menyakitimu?" tanya Dave dengan ekspresi kasihan.

"Tidak," Adriana singkat lalu kembali berkata, "Aku ngantuk. Sebaiknya kamu tidur juga, ini sudah larut malam."

Adriana segera masuk ke kamar Evan. Dia enggan menerima pertanyaan dari Dave yang hanya akan membuatnya sedih karena dikasihani. Wanita itu tidak bisa memungkiri bahwa adik iparnya peduli padanya, tapi dia tidak ingin masalahnya menjadi beban untuknya.