webnovel

Little Witch And Her Books

Levina Brezard, penyihir yang menyukai buku. Dia tidak berniat melakukan aktivitas selain dari membaca buku. Waktu berlalu dan tibalah saat pendaftaran Akademi bagi siswa baru. Karena ajakan temannya, Dia mendaftar pada sekolah terkenal tertentu. Dia tidak sabar menjelajahi buku yang tersedia di akademi itu. Bagaimanapun, ada saja hal-hal yang menghalanginya. [Not Oh-so-Romance Story 'key?] --------- 2022 ---------

Dyooner · Fantasy
Not enough ratings
17 Chs

Chapter 4 : The Battle On The First Day

Saat warna langit mulai tampak gelap, Levina kembali ke gedung asrama dengan perasaan puas di wajahnya. Dia sudah membaca beberapa buku di dalam perpustakaan. Rupanya jika bukan karena perpustakaannya akan tutup dia mungkin tidak akan kembali hingga malam, dia bahkan tidak menyadari bahwa perutnya sedang berbunyi dan menganggu orang di sana.

Jika diingat lagi dia belum makan apa-apa sejak dia masuk ke sini bersama Allya.

Ini waktu yang tepat, dia mungkin akhirnya melihat teman sekamarnya, seperti apa sosoknya.

Beruntung saat Levina ke kantin yang ada di asramanya, kantin itu belum tutup. Seorang nenek-nenek memberikannya semangkuk sup yang telah dihangatkan. Dengan begini, dia tidak perlu khawatir tentang rasa laparmya hari ini.

Setelah mengucapkan terima kasih kepada nenek tersebut, Levina menuju kamarnya.

"Masuk saja," kali ini ada yang merespon ketukan Levina.

"Siapa? ... ah, apa kamu teman sekamarku?" tanyanya begitu melihat Levina.

Levina mengangguk. Dia memperhatikan gadis berambut biru muda di hadapannya yang tersenyum. Terpancar darinya adalah ketenangan dan aura elegan.

Gadis itu berhenti sejenak sebelum mengenalkan dirinya, "biarkan aku mengenalkan diriku, namaku Maria Goldfinger, kamu bisa memanggilku Maria. Jika ada yang bisa kubantu katakan saja." Gadis dengan rambut biru itu  mengenalkan dirinya dengan anggun.

Levina menatapnya dengan kagum.

Ini dia!

"Aku Levina Brezard, senang bertemu denganmu, Maria."

Wajah Maria terkejut sedikit sebelum akhirnya tersenyum kaku pada wajah Levina yang berseri-seri. Dia tidak tahu mengapa bisa seperti itu.

"Ya, senang bertemu denganmu juga."

Levina serius mengatakan itu, teman barunya sepertinya gadis baik. Harapannya memiliki teman yang tidak heboh terkabulkan. Waktu damainya akan bertambah.

Levina menuju kasurnya yang masih polos, dan membuka buku yang di pegangnya sepanjang perjalan ke asrama. Buku dari perpustakaan, dia meminjamnya.

"Tampaknya ... em Levina suka buku ya?" suara yang keluar dari mulutnya terdengar kaku.

Levina menatap Maria sejenak sebelum kembali ke bukunya. Dia mengangguk dengan jelas, "ya, aku sangat menyukai buku."

"Begitu, buku apa yang kamu baca? Jika tidak keberatan bolehkah saya mengetahuinya?"

Levina memandangi buku ditangannya. "Cerita Empat Pahlawan Elemental."

"Ah! Kisah itu ya? Saya mengenal cerita itu. Kisah empat pahlawan yang memiliki elemen yang berbeda, mereka bekerja sama menyelamatkan dunia. Petualangan-petualangan mereka, rintangan yang mereka hadapi. Di saat ada masalah, mereka—Ah! Maaf. Saya terbawa suasana."

"Tidak apa-apa."

"Terima kasih." Maria tersenyum lega.

"Selanjutnya lebih baik kau tidak memberikan spoiler lagi. Aku tidak keberatan tapi nilai ceritanya akan menurun."

Maria tersenyum kecil. "Maaf, lain kali saya akan lebih berhati-hati."

Levina tersenyum dan mengangguk. Duduk di tempat tidur, tangannya mulai membuka buku. Masih ada beberapa waktu sebelum tidur.

Levina merenung sesaat, merasa suasana di antara mereka agak canggung dan kaku. Mengingat mereka adalah teman sekamar dan akan tinggal selama beberapa tahun ke depan jadi akan lebih baik jika memperbaiki suasana itu.

"Maria."

Tangan Maria yang merapikan meja berhenti.

"Iya, apa ada yang bisa kubantu?"

"Em, kau bisa bertindak seperti biasanya. Tidak perlu memaksakan diri berbicara seperti itu . Kau tahu, karena kita teman sekamar."

Maria memiringkan kepalanya, dia kurang mengerti apa yang Levina maksud. Dia bertanya sekali lagi, "maaf, saya tidak mengerti?"

"Mulai saat ini kita teman sekamar, buatlah dirimu senyaman mungkin."

Dan aku juga akan begitu.

Maria memandang ke arah wajah Levina yang terhalangi buku, dia membutuhkan beberapa saat sebelum akhirnya mengerti.

"Saya menger—baiklah!" jawab Maria dengan nada semangat.

Terima kasih.

Meskipun wajah gadis itu tidak terlihat karena buku yang dibaca Levina, dia bisa tahu ekspresi apa yang dimiliki Maria saat ini.

Tidak perlu dijelaskan. Suara semangat itu telah berbicara dengan sendirinya.

***

Pagi hari telah tiba, dan saat itu upacara di Altair Academy sedang berlangsung. Tidak ada hal yang menarik. Hanya beberapa pidato dari kepala sekolah serta pengenalan beberapa orang. Selanjutnya pengenalan singkat tentang Akademi yang mereka masuki. Acara itu berlangsung dengan lancar.

Levina pergi mencari kelasnya dengan langkah santai, sayangnnya begitu dia memasuki kelas itu, dia merasa gugup. Semua penampakan orang disana sangat asing baginya.

Dia tidak bisa menemukan orang yang dikenalnya.

Allya, Levina belum melihat anak itu sejak kemarin. Levina pikir Allya masih ingin menjelajahi seluruh akademi ini atau dia sedang melakukan sesuatu yang heboh. Karena dari awal, Allya yang ingin masuk sekolah ini.

Levina tidak ingin repot-repot mencarinya, mungkin saja dia akan kebetulan bertemu dengannya di suatu tempat atau jika tidak, orang itu akan datang dengan sendirinya.

Koridor-koridor penuh dengan siswa-siswa dengan masing-masing urusan mereka.

Kelas yang Levina akan masuki yaitu kelas sihir. Kelas sihir adalah kelas wajib yang harus diikuti oleh semua siswa di akademi ini. Kelas sihir, Levina berpikir akan seperti apa kelas barunya.

Saat berpikir seperti itu, sebuah suara kegaduhan terdengar di ruangan yang akan dimasuki Levina. Dia bisa mendengar beberapa suara teriakan dari sana.

"Dengar ya kalian, aku yang terkuat!"

"Itu omong kosong. Jelaslah diriku paling kuat!"

"Matamu rabun? Aku lebih kuat darimu! Kau lihat otot-otot ini?!"

"Uh, kami penyihir bukan pendekar. Otot tidak berarti bagi kami dibanding sihir."

Ada penampakan tiga bocah berkelahi.

Teriakan-teriakan seperti itu terus berlanjut. Levina mengabaikan kegaduhan itu dan masuk secara diam. Dia tidak ingin mengikuti urusan yang dilakukan ketiga manusia berisik itu.

"Sudah-sudah, kalian berhentilah bertengkar. Sebentar lagi Guru akan masuk ke kelas," ucap seorang laki-laki dengan tenang. Tak lama kemudian pertengkaran itu terhenti berkat seorang guru yang datang.

Semua penghuni kelas itu terfokus ke arah pria yang memakai mantel coklat panjang. Dia berjalan santai hingga berdiri di tengah-tengah.

Gargon tersenyum miring.

"Perhatian! Namaku Gargon Trualan, mulai sekarang aku akan menjadi wali kelas kalian, di kelas 1-C ini. Aku juga guru sihir di akademi ini dan akan mengajar kalian selama setahun kedepan," Gargon mengumumkan kepada semua siswa di ruangan itu.

Dia mengamati mereka satu persatu, lalu senyumnya menjadi seringai

"Pertama-tama, untuk menyambut kalian semua, apa pikiranmu tentang latih tanding?"

  ***

Semua murid kelas 1-C sekarang berada di tempat yang sangat luas yang terletak agak jauh dari gedung tempat pembelajaran berlangsung. Seperti yang dikatakan oleh wali mereka, Gargon, latih tanding dadakan akan dimulai di tempat itu.

Karena suara berisik yang akan dihasilkan dari pertarungan tersebut, Gargon memilih tempat yang agak jauh dari proses pembelajaran, halaman luas belakang sekolah.

Disertai dengan kebingungan yang memenuhi benak mereka, kelas 1-C berdiam diri tanpa arah sambil memandang daerah yang luas itu. Rumput-rumputnya yang tumbuh dengan rapi menjadi bukti bahwa ada yang merawatnya dengan baik.

Tapi, apa mereka akan melakukannya di tempat indah itu?

"Pertama-tama, bagaimana kalau kalian latih tanding?" ucap Gargon dengan santai, mengulangi kata-kata sebelumnya.

Mendengarnya, semua orang tidak tahu apa maksud perkataan dari guru mereka. "Apa maksud guru?"

"Seperti yang kukatakan, latih tanding. Singkatnya kalian akan saling bertarung satu sama lain. Aku mengerti situasinya, kalian ingin membuktikan siapa yang terkuat di sini bukan?"

Secara serentak banyak tatapan berfokus pada tiga orang yang tadi bertengkar. Yang ditatap hanya bisa terdiam sambil menengguk salivanya. Tapi ada satu hal dipikiran mereka , kira-kira latih tanding seperti apa yang guru mereka maksud?

"Latih tanding?"

"Maksudnya latih tanding itu apa?"

"Guru ini kenapa?"

"Kenapa bisa jadi seperti ini?"

"Ini gara-gara mereka bertiga!"

Riuh kelas itu mulai berhenti ketika suara gemuruh terdengar di bawah kaki mereka. Tanah yang mereka pijak mulai bergetar, di tengah-tengah tempat itu, tanah perlahan-lahan naik semakin tinggi. Semua orang terfokus ke arah tempat itu. Perlahan, sebuah arena cukup besar telah jadi.

Murid-murid memperhatikan sihir Gargon dengan kagum.

Untuk menyadarkan mereka, suara Gargon menggema di tempat itu.

"Arena telah disiapkan. Kalau begitu, siapa yang ingin bersedia mengambil kehormatan memulai latih tanding kita kali ini?"