webnovel

Terluka

"Ibu aku pulang!" seru Carissa berlari menghampiri Maya dan memeluknya.

Namun respon Maya biasa saja, malah saling tatap dengan Stefan yang masih berdiri diantara pintu masuk rumah dan halaman.

"Ayah? Mengapa Ayah masih disana?" tanya Carissa saat melihat Stefan terpaku disana.

"Ehm, tidak apa-apa. Mengapa kau tidak ganti baju dulu di kamar?"

"Baik, Ayah," balasnya riang gembira.

Setelah Carissa pergi ke kamar, Stefan mendekati Maya yang membuang wajahnya ke samping, seolah perasaan kecewa itu masih ada.

"Kau bisa melihatnya, Maya. Seburuk apapun perlakuanmu terhadapnya, Carissa masih menyayangimu sebagai Ibunya,"

"Aku pikir kita sudah berjanji untuk melupakan masalah itu, dan kau masih mengungkitnya?" ungkap Maya kecewa.

"Bukan begitu maksudku, Maya,"

"Lalu apa yang masih belum kau percaya dariku?! Aku juga sudah minta maaf padanya sebelum Carissa berangkat ke sekolah, apa itu masih kurang?!" air matanya mulai menetes.

"Maya, tolong dengarkan aku dulu..." meraih tangan Maya, namun Maya menepisnya.

"Aku juga sudah menyadari semua kesalahanku selama ini, apa itu masih kurang bagimu?!"

Kemudian Stefan merengkuh tubuh Maya, lalu mencium bibirnya. Maya pun akhirnya terpana dengan belaian lembut Stefan pada setiap lekuk tubuhnya. Saat Stefan berhenti sejenak, Maya mendekatkan kembali bibir tipis Stefan dengan bibir manisnya, seolah candu dengan ciuman lembut Stefan.

Seketika rasa kecewa Maya menghilang seperti debu yang diterpa angin. Namun debu itu mengarah pada Carissa, yang sedang berdiri mengawasi mereka berdua yang terlihat mesra. Carissa hanya menghela nafas dengan raut wajah sayu yang terpapar jelas disana.

"Carissa?" melepas ciumannya setelah sadar Carissa berada di belakang mereka berdua.

Stefan dan Maya tampak salah tingkah dan gelagapan karena kepergok oleh Carissa.

"Ehm, ada apa sayang?" tanya Stefan canggung.

"Tidak, aku hanya..., ingin mengambil sesuatu di kulkas," jawab Carissa yang kemudian menuju ke dapur.

"Aku rasa, Carissa sudah lama berada di belakang kita," ujar Maya tersipu.

"Terkadang begitulah dia, langkah kakinya tidak terdengar," balas Stefan terkekeh.

Dari sore hingga malam hari, Carissa tidak terlihat batang hidungnya sama sekali. Stefan yang sedang santai di ruang keluarga mulai cemas, sebab ia tahu bahwa Carissa melihat adegan mesranya dengan Maya siang tadi. Akhirnya Stefan pun menghampirinya di kamar. Ia melihat Carissa sedang belajar di meja belajarnya.

"Hei, apa banyak tugas sekolahnya?" tanya Stefan lalu mengambil kursi plastik dan duduk di sebelahnya.

"Ya," singkat Carissa yang masih mengerjakan tugasnya.

"Aku sarankan makan malam dulu, setelah itu lanjutkan kembali tugasmu,"

"Ya, Ayah," balasnya singkat tak memandangnya sama sekali.

"Kebetulan aku juga belum makan malam, Ibu juga, bagaimana kalau kita makan malam bersama?"

Tiba-tiba Carissa menghentikan aktifitas dan meletakkan alat tulisnya. Lalu memandang Stefan yang sedaritadi ia acuhkan.

"Mengapa Ayah tidak makan malam saja dengan Ibu?"

Ungkapan Carissa itu langsung membuat Stefan paham akan perasaannya. Bahkan ia merasa bingung untuk menjawabnya.

"Ayah dan Ibu makan saja dulu, setelah aku selesai mengerjakan tugasku, aku akan menyusul,"

"Mengapa tidak berhenti sejenak saja? Ini juga masih pukul setengah delapan, masih ada banyak waktu, sayang," ujar Stefan.

Carissa pun terpaksa menurutinya.

Saat makan malam berlangsung, Stefan dan Maya masih saja menunjukkan kemesraan mereka di depan Carissa. Bersuap-suapan disertai canda tawa. Carissa hanya menunduk sembari menikmati makan malamnya.

"Carissa? Kalau lauknya kurang ambil lagi ya, kalau bisa habiskan, ya?" ucap Maya ramah tamah disertai senyuman, berbeda jauh dari sebelumnya.

"Ya, Ibu," jawabnya murung.

"Sayang? Ada apa denganmu? Apa kau sakit?" tanya Stefan.

"Tidak, Ayah. Aku baik-baik saja kok," jawab Carissa tersenyum kecut.

Seusai makan malam, Carissa segera kembali menuju kamarnya.

"Stefan? Ada apa dengan Carissa?" bisik Maya yang baru sadar melihat perbedaan dari sikap Carissa.

"Entahlah," jawab Stefan mengangkat kedua pundaknya.

Padahal sebetulnya Stefan tahu akan situasi hati Carissa, semenjak ia tak sengaja melihat mereka berdua berciuman di hadapannya.

***

Tak seperti biasanya, pagi ini Stefan lah yang mengantar Carissa ke sekolah, bukan Carlos. Ia sengaja melakukan itu agar dapat berbicara berdua dengan Carissa saat dalam perjalanannya.

"Carissa?" sapa Stefan sambil mengemudikan mobilnya.

Carissa tak menjawabnya, hanya melihat pemandangan jalan raya dari jendela mobil.

"Jika ada masalah, kau bisa menceritakannya padaku. Jangan seperti ini,"

Gadis kecil itu tetap diam tanpa kata. Sementara Stefan mulai geram, namun ia berusaha menahannya. Sebab bagaimana pun juga ia masih mencintainya. Akhirnya, mereka berdua saling diam hingga sampai di halaman sekolah. Bahkan Carissa hanya mencium punggung tangan Stefan lalu segera masuk ke sekolahnya. Tanpa sepatah kata pun.

"Sial," gumam Stefan, kemudian pergi darisana.

Saat di sekolah pun demikian. Rupanya Carissa masih saja memikirkan Stefan dan Maya yang sedang berciuman di depannya. Hingga membuatnya tak fokus dalam pelajarannya.

"Aduh!" bisik Carissa saat mematahkan ujung pensilnya.

Pelajaran pagi ini adalah menggambar tokoh, sementara Carissa terlalu menekan ujung pensilnya hingga patah pada saat menggambar. Carissa gelagapan karena ia juga lupa tidak membawa rautan pensilnya.

Kemudian, Peter, selaku teman laki-laki yang duduk sebangku dengannya tengah memberikan sebuah pensil untuknya. Carissa termenung melihatnya, sebab selama ini ia sama sekali tidak mempedulikan siapapun termasuk dirinya.

"Ambil lah, atau gambarmu tidak akan selesai sampai kapanpun," ujar Peter dingin.

Carissa pun mengambil pensil itu secara perlahan dari tangan Peter. Ia juga tidak menyangka, bahwa sebenarnya Peter adalah anak yang baik dan perhatian. Meski sikapnya sangat dingin terhadap siapapun.

"Terima kasih ya," ucap Carissa, namun Peter tetap menggambar, tak menjawabnya.

Setelah selesai menggambar, tak lupa Carissa mengembalikan pensilnya pada Peter yang masih belum menyelesaikan gambarnya.

"Peter, ini pensilmu. Terima kasih," ujar Carissa dengan senyuman.

"Kau tuli ya? Aku bilang ambil lah," balas Peter yang masih sibuk menggambar.

Lalu Carissa menengok sekilas gambar yang Peter buat di buku gambarnya. Ia menggambar sebuah pemandangan indah, layaknya sebuah danau yang dikelilingi taman bunga. Carissa merasa takjub melihat gambar Peter yang sekelas dengan pelukis handal.

"Gambarmu sangat bagus, aku suka," ungkap Carissa yang berhasil membuat Peter berhenti mengukir ujung pensilnya.

Peter pun memandang Carissa untuk pertama kalinya, yang biasanya ia hanya mengabaikannya seperti seseorang yang tidak penting.

"Kau belajar darimana, bisa menggambar sebagus itu?" tanya Carissa penasaran.

"Bagus apanya? Gambarmu selalu payah dan membosankan, Peter! Hahahaha!" sahut salah satu murid tambun yang selalu mengejeknya. Disertai dengan sahutan-sahutan murid lainnya yang terkesan memojokkannya.

"Hei, kalian diam semua!" teriak Carissa.

Seketika keramaian itu menjadi sunyi senyap.

"Memangnya kau bisa menggambar seperti yang Peter buat ini?!" lanjut Carissa menuding ke arah murid yang tambun itu.

"Hei, anak baru! Kau tahu apa soal dia, hah?! Jangan macam-macam kau disini ya!" balasnya.

"Aku tahu banyak soal Peter! Dia selalu diam karena tidak ingin bermasalah dengan kalian! Justru kalian yang selalu mencari masalah dengannya!" ujar Carissa emosi.

"Diam kau, dasar anak baru!" di doronglah tubuh Carissa hingga kepalanya terbentur sisi meja, lalu terjatuh.

Salah seorang guru pun segera menghampiri Carissa yang sedang meringis kesakitan sambil memegang kepalanya yang terluka. Peter tak terima melihat Carissa dengan kondisi seperti itu, ia pun turut memukul wajah si tambun itu hingga terjatuh dan mimisan.

"Peter! Bryan! Cukup!" hardik seorang wali kelas disana yang tiba-tiba memasuki kelas mereka.

Sementara guru yang lainnya sedang membawa Carissa ke UKS untuk mengobati luka di kepalanya.