webnovel

2 Tahun Yang Lalu

Saat itu, hujan deras beserta kilatan petir yang membelah langit malam mengiringi seorang pria paruh baya yang sedang berlari menuju rumahnya. Nafasnya terengah-engah, sehingga pria itu beristirahat sejenak di depan pintu rumahnya.

Angin malam disertai rintikan air hujan itu terasa semakin dingin dan menusuk lapisan kulitnya. Pria itu pun kemudian mengetuk pintu rumahnya.

"Stella? Aku mohon buka pintunya, aku bisa jelaskan semuanya, Stella," sahut pria itu berkali-kali mengetuk pintunya.

Lalu seorang gadis kecil melihat pria itu dari tirai jendela kamarnya. Kemudian ia berlari untuk membukakan pintu rumahnya.

"Ayah!"

"Carissa,"

Ya, gadis kecil itu Carissa yang masih berusia 6 Tahun. Ia memeluk Ayahnya yang tengah basah kuyup, lalu menuntunnya masuk ke dalam rumah.

"Ibu, Ayah sudah pulang!"

"Tunggu disini, Ayah, aku akan mengambil pakaian hangat untuk Ayah,"

Seiring Carissa berlari ke kamar Ayahnya, Stella menghampiri pria itu dari dapur.

"Untuk apa lagi kau kemari, Alex?" tanya Stella dingin.

"Stella, aku mohon, dengarkan aku..."

"Cukup! Cukup sudah!" potong Stella emosi.

"Ternyata selama ini aku salah menilaimu! Kau telah bermain di belakangku dengan wanita murahan itu!" sambil menuding-nuding Alex, suaminya.

"Stella, aku sama sekali tak berniat seperti itu padamu. Aku dijebak oleh wanita itu, Stella,"

Namun, rupanya Stella bersikeras dan tak lagi mempercayai kata-kata dari suaminya itu. Meski Alex mencoba menjelaskan yang sebenarnya, apa daya Stella tetap tak bisa menerimanya kembali.

"Aku harap kau bahagia dengannya,"

"Tapi, Stella, aku mohon..."

"Kita sampai disini saja." potong Stella yang membuatnya terpaku.

Di sela-sela pertikaian mereka, Carissa datang membawakan pakaian hangat untuk Ayah kandungnya.

"Ini Ayah," ucap Carissa tersenyum. Alex pun membalas senyumannya dengan air mata yang berlinang.

"Ayah kenapa?"

Kemudian Alex menyamakan tingginya dengan Carissa dan berkata sesuatu padanya,

"Tidak apa-apa, sayang. Ayah baik-baik saja,"

"Sudahlah, Carissa, dia tidak menyayangimu, dia lebih memilih orang lain daripada kita," ujar Stella yang masih terbawa emosi.

"Stella, tolong jangan bawa-bawa masalah ini, dia masih anak-anak," protes Alex.

"Tapi dia berhak tahu tingkah laku Ayahnya,"

Kedua tangan Alex mengepal dengan sempurna ketika mendengar perkataan Stella yang terkesan arogan. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa.

Semenjak pertama kali mereka menikah, Alex telah tinggal di sebuah rumah yang beratas namakan Stella. Rumah sederhana dengan tema minimalis itu adalah sebuah warisan dari kedua orang tua Stella. Sementara Alex hanya melengkapi seisi rumah itu dari hasil pekerjaannya yang hanya sebagai pengantar hasil panen perkebunan.

Setelah pernikahan mereka menginjak 2 Tahun, bersamaan dengan lahirnya sang buah hati pertama mereka, Carissa Stella Virkin, banyak sekali perubahan drastis dari sikap Stella. Seolah ia ingin berada di atas suaminya. Menyuruh-nyuruh Alex layaknya seorang pembantu dan seringkali berbicara kasar padanya.

Darisana lah Alex merasa enggan pada Stella. Ingin sekali rasanya melarikan diri dari situasi itu. Tetapi tidak dengan meninggalkan putri kecilnya. Dengan melihat wajah bayi kecil nan cantik yang sedang tertidur pulas itu, membuat Alex mengurungkan niatnya. Carissa lah yang selama ini membuatnya bertahan. Mempertahankan rumah tangga yang teramat rumit itu.

5 Tahun kemudian, Alex mendapatkan pekerjaan barunya. Yaitu sebagai administrasi di perusahaan pengiriman barang. Saat itulah perekonomian keluarganya mulai berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya. Namun tidak semulus yang mereka kira, setelah seorang wanita sekerjanya menjebak Alex di kamar hotel, hingga akhirnya ia dituduh selingkuh dengan wanita itu oleh Stella.

"Kau tidak tahu yang sebenarnya, Stella," ujar Alex geram.

"Apa aku terlihat peduli dengan itu?" balas Stella sombong.

Pikirnya, selama 5 Tahun ia telah sia-sia mempertahankan rumah tangga ini. Dan berakhir pahit seperti ini. Ia juga sudah cukup sabar menghadapi sikapnya selama ini. Tapi bagaimana lagi? Apa lagi yang bisa ia berbuat? Sifat tetaplah sifat. Selama Stella tidak bisa merubah sifat arogannya, maka selamanya ia akan seperti itu.

Alex pun melangkah pergi, keluar dari rumah itu, tanpa pamit, tanpa sepatah kata pun pada Stella. Termasuk Carissa sendiri, putri satu-satunya.

"Lihatlah, Carissa. Itulah Ayahmu yang sebenarnya." ujar Stella seiring berlalunya Alex menerpa hujan lebat pada malam itu.

Sementara Carissa dengan raut wajahnya yang sedih, masih membawa pakaian hangat di tangannya untuk sang Ayah tercinta, yang kini telah pergi.

Setiap pagi menjelang, Carissa selalu menunggu sang Ayah di depan rumahnya. Berharap ia datang, menyambutnya dengan pelukan, seperti biasanya. Juga pada siang hari sepulangnya dari sekolah TK, Carissa masih mengharapkan kedatangan Ayahnya.

Terkadang Carissa menangis di malam hari. Rasa rindu dan khawatir menjadi satu dalam benaknya, memikirkan Ayahnya yang tak kunjung pulang.

Semusim telah terlewati. Sepertinya Carissa sudah terbiasa dengan semuanya. Hidup berdua dengan Ibunya di rumah, dan turut serta membantu sang Ibunda yang hendak memulai usaha kulinernya. Kesibukan-kesibukan itulah yang membuat mereka bergerak maju tanpa memikirkan apapun lagi.

Usaha kedai kuliner Stella berkembang pesat dari hari ke hari. Bahkan menuai hasil yang maksimal dari sebelum-sebelumnya. Akan tetapi, seperti biasa, kehidupan di dunia tak selamanya mulus.

Tiba-tiba seorang pria paruh baya tak dikenal, datang mengunjungi kediaman Stella. Ketika Stella dan Carissa sedang sibuk di dapur, pria itu mengetuk pintu rumahnya.

"Biarkan aku yang membukanya, Ibu," Carissa pun berlari menuju ruang tamu.

Setelah membuka pintunya, terlihatlah sosok pria bertato berjambang tipis dengan tubuhnya yang atletis.

"Maaf, om siapa?" tanya Carissa mengernyitkan dahinya.

"Aku Dean, Dean Taylor, teman dekat Stella," jawab pria itu. Namun Carissa masih diam menatapnya.

"Apakah dia ada dirumah sekarang?" tanya Dean.

Lalu Carissa berlari ke dapur memanggil Ibunya. Beberapa menit kemudian, Stella menghampiri Dean yang masih berdiri di depan pintu rumahnya.

"Dean? Mengapa kau tidak masuk?"

"Anak kecil itu tidak mengijinkanku masuk, jadi, aku disini saja," jawab Dean dengan gayanya yang berlagak.

"Oh, Carissa, dia anakku, dia memang seperti itu jika belum mengenal seseorang," ujar Stella terkekeh, lalu mempersilahkannya masuk.

Lalu, Carissa tak sengaja melihat Ibunya yang sedang bercengkerama dengan Dean di ruang tamu. Mereka terlihat cukup akrab, seolah Ibunya sudah mengenal Dean sejak lama. Bahkan, Carissa juga tak sengaja melihat mereka yang sedang bercumbu disana.

Malam hari pada saat Stella menemani Carissa belajar di kamarnya, Carissa menanyakan tentang pria yang bernama Dean itu.

"Ibu, pria itu siapa?"

"Oh, Dean? Dia teman sekolah Ibu dulu sewaktu Ibu masih duduk di bangku SMA," jawab Stella berbinar-binar.

"Esok hari dia akan mengajak kita jalan-jalan. Dia juga ingin lebih akrab denganmu,"

Carissa hanya diam, tak merespon apapun soal itu. Akan tetapi, acara jalan-jalan itu tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Dean mengajak mereka ke tempat wisata kebun binatang. Saat mereka sampai disana, Dean dan Stella seringkali berdua layaknya muda-mudi di sekitarnya. Seolah dunia hanya milik mereka berdua, dan Carissa hanya menatap mereka dari belakang.

Carissa mulai merasa terabaikan semenjak Ibunya mengenal Dean. Perhatian seorang Ibu yang ia dapatkan setiap harinya, perlahan tapi pasti lenyap begitu saja.

Beberapa bulan kemudian, Stella dan Dean akhirnya menikah. Saat itulah suasana di rumah Stella menjadi berbeda dari sebelumnya. Terutama Dean yang seringkali meminum minuman keras saat berada di rumahnya. Keluarga mereka menjadi keluarga yang tidak sehat, berbeda jauh saat Alex masih berperan sebagai kepala rumah tangga disana.

Stella yang selalu sibuk mengurus usaha kulinernya, hingga tak ada waktu lagi untuk pulang ke rumah beristirahat sejenak seperti biasanya. Sepulang dari sekolahnya, Stella hanya mengantarkannya pulang ke rumah lalu pergi kembali ke tempat usahanya. Jadi di dalam rumah hanya ada Dean dan Carissa.

Jujur saja Carissa seringkali merasa takut pada Dean, yang seringkali mabuk berat di depan televisi berkat minuman beralkoholnya. Gadis malang itu akhirnya lebih memilih untuk berdiam diri di kamarnya.

"Carissa?!" panggil Dean menyeru.

Carissa terjingkat mendengar panggilan Ayah tirinya.

"Carissa?! Kemarilah, temani Ayahmu ini," dengan logat khas orang yang sedang mabuk berat.

Mau tak mau, Carissa terpaksa menurutinya. Ia keluar dari kamarnya lalu menghampiri Dean yang sedang mabuk berat disana.

Carissa sangat takut terhadapnya, ia hanya berdiri di hadapannya dengan perasaan tegang.

"Ya...Ayah? ucapnya gugup.

"Mengapa kau selalu di kamar setiap Ibu tidak ada dirumah?"

"Ehm, aku sedang mengerjakan tugas sekolah,"

"Nanti malam saja, sini duduk di sampingku, anak manis,"

Jantung Carissa semakin berdebar kencang ketika melihat beberapa botol miras yang sudah kosong di sekitar Ayah tirinya itu.

"Ada apa? Kau ingin mencobanya? Hm?" ucap Dean sambil menunjukkan sebotol miras yang ia genggam.

Carissa menggeleng ketakutan, karena dari aromanya saja sudah tajam dan menyengat. Tapi Dean terus memaksanya untuk mencoba miras itu, hingga Dean mencengkeram kedua tangan kecilnya. Carissa semakin ketakutan dibuatnya dan meringis kesakitan.

"Percayalah, jika kau meminumnya sedikit saja, kau akan menjadi seorang putri, seperti yang ada dalam buku-buku dongengmu itu," ujar Dean yang semakin mendekati Carissa.

Beruntungnya di samping sofa yang ia duduki terdapat satu botol kosong. Carissa berusaha sekuat mungkin untuk melepas salah satu tangannya, untuk segera mengambil botol kosong itu. Kemudian menghantamnya ke arah kepala Dean hingga botol itu pecah. Teriakan serta beberapa umpatan dari Dean terdengar jelas di telinganya.

Akhirnya Carissa berhasil lolos, kemudian melarikan diri dari rumahnya. Sementara Dean berteriak kesakitan sembari memegang kepalanya yang mengalami pendarahan hebat.