webnovel

Gue Ganteng, Ngga?

"Hnngghhh..." Bang Nico membuka matanya sedikit. "Ngapain Lo di sini?" tanya Bang Nico tak suka, bau alkohol juga ikut keluar dari mulutnya saat laki-laki itu berbicara.

"Abang putus lagi sama pacarannya Abang, ya?" aku bertanya memastikan. Bang Nico biasanya akan berulah seperti ini jika sedang dalam keadaan patah hati atau stress dengan tugas yang banyak.

Bang Nico menepis tanganku saat ingin membantunya untuk bangkit dan berdiri. Laki-laki itu kekeuh ingin bangun dengan bersusah payah sendiri. "Pulang aja, Lo! Mood gua lagi nggak bagus!"

"Aku bawakan ikan goreng sambal matah buat makan malam Abang." Aku membantu Bang Nico berjalan menuju kamarnya, namun sekali lagi laki-laki itu tetap menepis tanganku. Bagaimana akan ada perempuan yang tahan dengan abangku ini, apa bila sikap abangku masih kasar seperti ini. "Abang sudah lama nggak pulang ke rumah. Mama jadi khawatir."

Bang Nico hanya diam saja. Laki-laki itu langsung merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. "Pergi!"

Lama aku tidak melihat abangku. Laki-laki itu semakin kurus saja, namun anehnya tubuh abangku tetap bagus saja. Apa benar kata temanku, kalau olahraga percintaan juga bisa dikategorikan sebagai olahraga juga? "Bang... Pulanglah sekali-kali... Gua juga kangen waktu-waktu bersama Lo di rumah."

Bang Nico membuka matanya. Laki-laki itu akhirnya membalas tatapan mataku. Tiba-tiba saja laki-laki itu menarikku hingga membuat aku jatuh ke dalam pelukan hangatnya. "Gua udah bilang sebelumnya, kalau gua lagi bad mood, kan?" Laki-laki itu secepat kilat langsung memagut bibirku dengan kasar.

Nafasku tersenggal. Ini gila! Bang Nico seharusnya tidak melakukan hal seperti ini padaku! Aku adiknya sendiri! "Bang!!!" jeritku saat akhirnya Bang Nico melepaskan ciumannya. Tangan Bang Nico mendekap pinggangku dengan sangat erat. "Bang, jangan!" Bang Nico mengabaikan teriakan ku dan terus saja mengecup leherku, lalu menyedotnya dengan sangat kuat. "Ahhhkk! Lepas, Bang!!!""

"Udah gua bilang tadi supaya Lo lekas pergi, kan?"  Bang Nico menatapku tajam. Sedetik kemudian, laki-laki itu kembali menyerangku dengan ciumannya yang panas dan menuntut, kali ini Bang Nico juga menyertakan tangannya untuk meremas tonjolan buah dadaku.

"Hmmpphh! Hppphhh!" aku mendorong laki-laki itu sekuat tenaga yang aku punya. "Bang! Jangan!!" pintaku lagi. "Ahhkk! Bang! Sudah, ah, hah! Bangggnnhh!!"

"Ternyata kamu sudah jadi perempuan dewasa, ya?" Bang Nico menarik bajuku ke atas buah dadaku dengan paksa. Lalu mengeluarkan buah dadaku dari bra hitamku, dan Bang Nico langsung saja tanpa membuang waktu menjilati tonjolan buah dadaku itu.

"Bang! Ahhhhkk! Hah!" aku mencoba melepaskan tanganku yang di cengkeram olehnya ke atas kepala. "Gua mohon, Bang... Akhhh! Ahh! Ja-jangan gini-- hah! Hah! Ahh! Ah! Abangggnnhh!"

Bang Nico akhirnya melepaskan dirinya dari tubuhku. Aku buru-buru lekas menutup tubuhku lagi.

"Pergi!" ujar Bang Nico singkat.

Aku gegas langsung tanpa ba - bi - bu mengambil langkah seribu, gegas ingin kembali ke rumah. Air mataku tidak keluar. Yang aku rasakan bukan nya sejauh kekecewaan atau sejenis pengkhianatan lainnya, namun melainkan rasa berdebar yang aneh. Tangan Bang Nico yang besar masih dapat aku ingat rasanya saat menyentuh buah dadaku.

***

Akhirnya hari terakhir masa ospek Maba pun tiba. Setelah rapat kilat selama dua hari, kami mahasiswa baru di putuskan untuk membuat drama singkat secara spontan. Kami akhirnya sepakat menyetujui untuk menampilkan drama singkat tentang Cinderella. Leo, laki-laki yang kami anggap paling tampan diantara angkatan kami, mau bersuka rela menjadi pemeran pangerannya. Sementara Kiera dari kelompok grup lima menjadi putrinya.

"Ameera, bantuin gua, dong!" Leo, laki-laki itu menghampiriku sambil membawa serta seragam pangeran di tangan kanannya.

Aku langsung mendudukkan kepala, malu melihat laki-laki itu yang tengah bertelanjang dada. "Setidaknya Lo pakai kaos dulu, kek!" protesku dengan wajah yang pasti nya memerah saat ini. "Bukannya di sana udah ada tim kostum? Kenapa sekarang jadi tugas gua?"

"Kebetulan Lo yang lewat. Yang lain juga lagi pada ribet sama kostum putri Cinderella nya."

Aku meraih kostum dari tangan Leo. Laki-laki itu berdiri tegap di depanku. Otot kerasnya menonjol begitu jelas di depan hidungku, tampak kekar dan berisi. Kalau anak-anak cewek lain nya pada liat pemandangan indah dan gratis ini, pasti mereka pada pingsan.

"Bisa?" tanya Leo, laki-laki itu sepertinya sadar aku lagi-lagi tak fokus. Kenapa ketangkap basah mulu sih.

"Sabar napa, Bang? Nih kancingnya banyak yang tersembunyi. Siapa, sih, yang bikin kostum ribet kayak gini?!"

"Ha ha ha ha, ini kostum dadakan yang sebenarnya nggak pantas di bilang sebagai kostum."

Aku membantu laki-laki itu mengenakan kostum ribetnya itu. Tak sengaja tanganku menyentuh kulitnya, dan astagaaahhhhh... Jujurly, kulit Leo sangat mulus pake banget. Aku suka sekali menyentuh otot-otot nya yang besar. "Ini kurang pas!" Aku kesusahan saat harus mengancingkan baju pada bagian dada sandar-able itu.

"Kekecilan, ya?"

"Iya, nih! Kayaknya Lo musti harus mamerin dada, deh!" aku nyengir. Leo mendekatkan tubuhnya selangkah lebih dekat denganku, membuatku sedikit terkesiap. "Apa?"

"Gua ganteng, ngga?"

Aku tertawa kecil menanggapi pertanyaan tiba-tiba dari laki-laki itu, mencoba mengalihkan atensi degupan jantungku yang seketika memompa dengan cepat. Tidak bisa aku pungkiri, laki-laki itu sangat keren banget hari ini. "Iya, iya. Ganteng, dah! Gih, sana!" aku memutar balikkan tubuhnya membelakangi ku, lalu mendorong laki-laki itu agar bergabung dengan pemeran pemeran drama lainnya.

Aku mengelus-elus dadaku sendiri setelah begitu melihat Leo pergi menjauh. Mencoba menenangkan hatiku yang tiba-tiba menjadi kacau. Saat SMA, berdekatan dengan lawan jenis tidak menjadi masalah buatku. Tapi entah kenapa sekarang malah terasa berbeda.

"Maaf, apa mahasiswa luar dari fakultas, yang tidak satu fakultas dengan seni dan rupa boleh ikut nonton?"

Pertanyaan itu muncul dari belakangku. Saat aku menoleh ke belakang, laki-laki kemarin yang telah mencuri perhatianku kini tengah berdiri di sana. Aku lupa mengerjapkan mataku saking kagetnya.

"Dik?"

"Na-nama saya Ameera, Bang!" otakku ngeblank bener bener nggak nyambung.

Kakak tingkat itu malah tersenyum, yang bikin perutku terasa sangat mulas. Astagaaahhhhh... manis nya... apa lagi laki-laki itu juga memiliki cekungan lesung sipit di pipi nya. "Nama gua Zeus."

"Radius?"

"Bukan, bukan!" laki-laki itu tertawa, sangat mempesona sekali. Aku hampir meleleh saking melting nya ngeliat senyuman manis itu. Aku kini juga bisa merasakan keringat yang mulai muncul dari telapak tanganku. "Zeus. Segitu susahnya ya, nyebut namaku? Nanti aku berdoa minta izin sama bundaku buat ganti jadi 'radius terdekat' buat kamu." kekeh laki-laki itu masih belum bisa mengatur kegelian sepertinya.

Aku diam. Menikmati setiap detail dari wajah laki-laki itu. Mata nya yang berwarna coklat dengan hidung yang tak terlalu seperti perosotan, tapi memiliki rahang yang tegas. Bahkan aku sangat ingin menikmati senyum manis laki-laki itu dengan waktu yang lebih lama lagi.

"Ameera?"

Ada desiran aneh di dadaku, menjalar hingga ke perut, dan sampai saat ini masih belum bisa ku hentikan gejolak itu. Jantungku memompa oksigen lebih keras lagi saat laki-laki itu menyebut namaku dengan suara bass nya. Debaran yang sama dengan debaran saat Bang Nico menyentuhku secara intens.