webnovel

Pt. 01: Ascandant

AROMA Obat-obatan khas rumah sakit kembali menyeruak masuk ke dalam indra penciuman, meninggalkan bau tak sedap dan bisa saja membuat para penghisapnya sampai kehilangan indra penciuman nya karna selalu menghirup aroma busuk ini disetiap dua detik sekali. Membawa rasa ketidaknyamanan yang menganggu.

Ditambah tiupan angin untuk kesekian kalinya menabrakkan dirinya pada kaca jendela rumah sakit, menimbulkan bising akibat benturan angin pada kaca besar ruang inap. Menambah ketidaknyamanan lainnya.

Pemuda itu kembali menghela napas panjang, dalam posisi duduknya di ranjang-----bergelut dalam selimut tebal rumah sakit. Meskipun tertutup kaca, dingin udara di penghujung musim semi yang disertai hujan tidak dapat dipikir dua kali lagi untuk segera berbalut jaket tebal jika berada ditengah-tengah airmata langit yang seminggu ini rutin menghujam bumi dengan tetes-tetes nya yang tidak terhitung.

Iris hazel nya tak berhenti menatap bulir-bulir airmata langit yang menempel pada kaca jendela----pikirannya entah tertuju kemana. Kosong. Jika ia bahagia, seharusnya ia tersenyum dan tertawa sekarang. Jika ia sedih, seharusnya ia sudah menangis dari kemarin.

Pemuda itu hanya masih mengosongkan pikirannya mencoba untuk menjauh dari masalah baru yang bisa saja datang. Dirinya masih tidak paham dengan rencana Tuhan yang dibuat untuknya, lupa? Mungkin.

Lupa bahwa Tuhan tidak selamanya mengatur takdir makhluk-Nya semanis cotton candy, kalau dipikirkan kembali jika permen kapas itu menggumpal begitu terkena air rasanya tentu terbalik. Benar, sepahit coffe tanpa gula.

Hingga kala derit pintu ruangannya menggema, seketika mampu membuyarkan atensinya, mengalihkan pusat perhatiannya tepaku pada pemuda manis dengan kedua pelipisnya yang hampir menyerupai kue beras di musim panas itu tengah memotong jarak demi jarak diantara mereka. Membuatnya terpaku menatap hangat presensi Park Jimin dihadapannya, yang lebih terlihat tengah membuat kurva disudut bibirnya dengan susah payah lalu melemparkan sapaan ringan. "Yo!--".

Si pemuda Kim itu tidak Semerta-merta menjawab, kedua bibirnya itu masih terkatup dengan ekspresi datar dan netranya yang tidak henti untuk memandangi iris jelaga pemuda yang lebih pendek darinya itu nampak sedikit bengkak. Tunggu? Apa---bengkak? Ia tentu sangat ingat jelas kapan pemuda kekurangan gizi ini terakhir kali menangis. Tampang pemuda manis itu tiba-tiba dapat mengundang tawa untuknya diluar walau didalam terasa bagai pisau yang akan memberikan luka sayatan baru padanya.

"Apa yang kau tertawakan? Kim!" Gelak tawa senyum kotak itu terhenti, begitu suara parau sepupunya terdengar. Disana Park Jimin menatap sendu kearahnya-----wajah kesalnya juga kembali memenuhi penglihatan.

Dan saat pemuda Kim Taehyung itu, membiarkan ucapannya melepas keudara dengan pandangan mata yang kosong meskipun bibir itu tak hentinya tersenyum------Jimin sadar, ia tidak seharusnya bertemu dengan dokter yang merawat sepupunya.

"Setidaknya aku bisa tersenyum bahagia, saat melihatmu yang semakin terpuruk begitu kau mendapat berita itu." Ia berhenti sejenak, lalu kembali mengumbar senyuman. "Jadi, bagaimana kata dokter? Apa dia membuatmu menangis? Dia tidak memberitahukan padamu yang aneh-aneh, bukan?"

Hening beberapa saat, lalu pemuda alien itu mulai tersenyum aneh dan kembali meracau hal-hal tidak penting. Terutama kalimat terakhir yang ia ucapkan-----membuat dirinya seperti sahabat dan sepupu yang paling kejam yang pernah hidup.

"Well, Kau benar-benar menangis? Jim ayolah, tentu saja aku ingat sekali kapan terakhir kali kau menangis. Apa yang kau tangisi, Jim. Aku? Tenang saja, kawan. Aku baik-baik saja."

Park Jimin sangat membenci kalimat itu, terutama pada kenyataannya tidak seperti apa yang si Kim alien Taehyung itu katakan. Bahkan anak kecil pun tahu hal itu adalah sebuah kebohongan.

***

Bertemankan sunyi dan irama rintikan hujan, ia membaringkan tubuhnya diranjang rumah sakit dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Sesekali isakan kecil terdengar dari sana, dengan keadaan yang jauh dari kata baik-baik saja-----gadis itu merintih penuh siksaan, berharap hal tersebut dapat meredakan sakit direlung hati dan sekujur tubuhnya.

Ia berharap Tuhan segera mengakhiri hidupnya saat itu juga. Nyatanya gadis itu sudah kehilangan harapan untuk membuka matanya lagi, terlebih melihat dirinya sendiri saja ia tak mampu.

Kala memandangi sekujur tubuh dari balik pantulan cermin disudut kamarnya, hal itu hanya berakhir dengan dirinya yang melemparkan gunting besi kearah cermin itu hingga bentuk benda tersebut berubah menjadi serpihan-serpihan yang digunakan sebagai senjata untuk mengakhiri neraka penderitaan.

Menarik lalu memainkan salah satu serpihan kaca yang tajam hingga ekor mata menangkap cairan merah pekat mengalir membasahi seluruh permukaan lengannya dan aroma amis yang memenuhi indra penciumnya. Tersenyum kemenangan----bukankah ini lebih baik? Dari pada mendapat luka yang takkan pernah sembuh, lebih baik membuat luka terbaik dan yang terakhir kali tentunya.

Namun semua harapan hilang, saat dirinya masih dapat terbangun dan membuka mata. Sekira beberapa saat sampai menyadari dirinya tengah terbaring di ranjang salah satu ruangan rumah sakit. Shit! Damn! Ia mengutuk seseorang yang kembali menyelamatkan nyawanya, lebih tepatnya orangtuanya.

Dan hal yang terburuk. Ketika ia menemukan selusuh amplop yang berada tak jauh dari tubuhnya tebaring----berisikan sepegok uang, jika di hitung-hitung  hanya akan cukup membiayainya kurang dari seminggu begitu setelah ia keluar dari rumah sakit. Terlebih lagi saat irisnya menangkap keberadaan kertas lain didalam benda itu, kertas yang membuatnya bertanya-tanya mengapa ia harus terlahir ke dunia?

Tidaklah heran jika perawat yang selalu mengunjunginya tidak memiliki topik pembicaraan lain selain menanyakan semua mengenai dirinya seperti tempat tinggal, keluarga, wali bahkan nama.

Hati dan akal sehatnya maraung penuh keputusasaan saat itu juga, mengingat kembali kata demi kata yang terlukis dalam kertas itu yang menjadi bukti tindak kekejaman orangtuanya untuk kesekian kali dan juga terakhir kalinya. Bahwa mereka sudah menyerah atas hak dirinya. Surat yang berisi pengakuan dari orangtuanya bahwa kedua manusia tengik itu telah membuangnya.

Meninggalkannya dengan sepegok uang dan nama, bahkan dalam surat tersebut ia tidak lagi diinginkan menggunakan marga Ahn didepan namanya.

Sejujurnya sejak awal ia sangat tidak ingin menggunakan marga bodoh itu untuk menjadi embel-embel dalam nama hanya sekedar tercatat diatas selembar kertas, sejak awal dirinya memang tidak ingin menggunakan marga itu dan seharusnya sejak awal dirinyalah yang berkata begitu bukannya orangtuanya, sehingga ia tidak perlu merasakan hancur seperti ini.

Karena, akhirnya ia benar-benar menyadari bahwa keberadaannya tidak pernah diinginkan. Menjadi salah satu  bagian yang rusak dari roda kehidupan yang tak pernah diinginkan siapapun----tidak oleh orangtuanya sendiri.

Kreek...

Derit pintu yang rutin setiap pagi berdengung itu, kembali terdengar. Pertanda mahluk berbalut pakaian putih itu kembali datang.

"Halo Nona!" Suara lembut seorang wanita yang kembali tertangkap indra pendengarnya. "Selamat Pagi! Bagaimana keadaanmu? Aku membawakan sarapanmu untuk pagi ini" sahut wanita itu lagi, mencoba seramah mungkin. Siapa saja pasti akan tersentuh diperlakukan selembut itu, sayangnya tidak untuknya.

Ia tahu bahwa wanita itu akan kembali mengucapkan omong kosong panjang tentang sarapan pagi norak yang tak ingin di dengarnya, tentu hanya untuk mencari perhatian darinya. Ingin sekali ia menendang wanita ini pergi dari ruangannya tapi ia tidak bisa. Alih-alih bangun dan menatap sinis wanita itu seperti kemarin, gadis itu malah membuat daftar perkembangan baru. "Pergilah!"

Perawat itu seketika bungkam, terdiam cukup lama sampai senyum tipis mulai menghiasi wajahnya dan kembali berucap. "Akhirnya anda mulai berbicara juga, Nona, kupikir anda tidak bisa bicara lagi." Shit! ---Perawat itu meletakan nampan berisi sarapannya diatas nakas, tanpa memperdulikan pengusiran dari gadis yang masih terbalut selimut rumah sakit itu. Wanita itu mendaratkan bokong nya pada kursi disamping ranjang inap, lalu melanjutkan. "Aku kawatir, semenjak anda masuk rumah sakit ini aku tidak pernah melihat anda bicara. Kupikir luka yang diperban dileher anda itu membuat anda tidak bisa lagi berbicara. Jadi aku selalu menyiapkan catatan di samping anda, bisa saja anda membutuhkan sesuatu."

Gadis itu mengepalkan cengramannya pada sprei ranjang mendengar penuturan wanita itu. "Dokter bilang luka anda belum pulih total jadi anda jangan banyak bergerak dulu." ucap perawat itu lagi lembut.

Mengingat dirinya masih berbicara sendiri, perawat itu terkekeh pelan, kemudian kembali berucap. "Senang rasanya anda sudah mulai bicara padaku. Kupikir kita sudah mulai dekat, bukan?" tambah lainnya. Tidak memperdulikan bahwa ucapan pertama gadis itu bukanlah untuk bicara dengannya namun untuk mengusirnya.

"Bicara soal dekat, apakah kerabatmu sudah ada datang mengunjungimu?" Damn! Tubuh gadis itu seketika membeku.

"Sejujurnya, aku juga sudah lama tidak melihat orangtuamu datang lagi untuk membesukmu. Mereka bahkan tidak mengisi administrasi rumah sakitnya hanya membayarnya saja, aku juga heran."

Shit!

"Bagaimana kalau kita mulai lagi perkenalan kita, Aku Song Kyunghe. Jadi kau bisa memanggilku perawat Song saja." Kyunghe menjulurkan tangannya, walau ia tahu gadis itu tidak akan membalasnya. Ia tersenyum getir lalu melanjutkan. "Kau tidak ingin memberitahukan namamu kali in---"

"Kumohon pergilah!"

Wanita itu terbelalak saat gadis dihadapannya itu memotong kalimatnya yang belum selesai, lebih tepatnya pengusiran kedua. Sayup-sayup telinganya menangkap isak kecil dari sana.

Ia mengerti, hal itu menunjukkan bahwa percakapannya dengan gadis itu hari ini sudah berakhir. Ia tahu bahwa diantara kalimat yang terlontar dari mulutnya tadi merupakan salah satu tekanan bagi gadis ini. Memang kalau dihitung-hitung percakapannya kali ini, memiliki durasi yang lebih banyak dari seminggu belakangan.

Wanita itu segera beranjak dari posisi ternyamannya, ia tidak ingin menjadi sumber tekanan lain bagi gadis ini, mengingat catatan medis yang diberikan dokter padanya beberapa hari lalu bahwa gadis ini mengidap penyakit kejiwaan yang cukup berbahaya di usianya yang terbilang masih belum bisa memilikinya. Dokter menyarankannya untuk ekstra dua kali hati-hati dan dia mengerti akan hal itu, bahwa telapak tangan seindah kelopak bunga itu bisa saja menjadi kuburannya sendiri. Ataukah, bunga krisan pertama di pemakamanya nanti. Karena hal yang terlintas dalam pemikiran nya hanya satu----Benar? Self-Injury*.

Langkah menjauh perawat itu mengisi ruangan yang tadinya sunyi, hingga derit pintu terbuka terdengar, wanita itu kembali bersuara. "Jangan lupa habiskan makananmu, okey." lirihnya masih mencoba seramah mungkin, sebelum suara pintu tertutup terdengar, menyisahkan ia kembali bersama kesunyian.

Selang beberapa detik setelahnya, gadis itu bangkit dan menyingkap selimutnya. Menatap dunia yang serasa diciptakan dengan ketidakadilan dari Tuhan untuknya. Selanjutnya hanya terdengar deru nafas sampai gadis itu membuka suara.

"Baiklah Ahn Yoorae, sekarang memang sudah tidak ada lagi yang menginginkan kehadiranmu di dunia ini-----kita akhiri saja" ucapnya lirih, lebih tepatnya tertuju pada diri sendiri.

Gadis itu mendongak, menatap kaca jendela yang tertempel bulir-bulir airmata langit, membiarkan sepasang iris kelabunya itu terpaku pada pemandangan langit hujan. Rahang gadis itu mengeras, airmata yang di tahan nya luput dari pelupuk matanya. "Pembohong! Dimana pelangi yang pernah kau janjikan akan datang dalam hidupku? Nyatanya tidak akan pernah ada".[ ]

Rainbow

Self-Injury* atau self harm(menyakiti/melukai diri sendiri) merupakan tindakan menimbulkan luka-luka pada tubuh diri sendiri secara sengaja. Tindakan ini dilakukan tidak dengan tujuan bunuh diri tetapi sebagai suatu cara untuk melampiaskan emosi-emosi yang terlalu menyakitkan untuk diekspresikan dengan kata-kata. Self injury dapat berupa mengiris, menggores kulit atau membakarnya, melukai atau mememarkan tubuh lewat kecelakaan yang sudah direncanakan sebelumnya.(www.Kompasiana.com)

-