webnovel

Laut Dalam

Gelap, dingin, kejam. Laut dalam selalu digambarkan seperti itu. Karenanya, Bubu yang baru saja menetas, mencoba mengenal dunia yang begitu asing dan aneh.

AoiTheCielo · LGBT+
Not enough ratings
17 Chs

Menetas

Rasanya sangat nyaman. Seperti sebuah pelukan yang melindungi, memberikanmu perasaan aman yang sangat menenangkan. Namun, sosok itu tahu bahwa ini waktunya untuk terbangun. Ia, sudah terlalu lama tertidur. Ruangan yang selama ini menjaga dan memberikannya energi, semakin lama semakin terasa sempit.

Membuka sepasang iris sewarna permata biru, hal pertama yang dilihat adalah permukaan putih yang menyelubung. Ini adalah rumah yang selama ini menjaga dan melindungi. Namun semakin lama, tubuh kecil itu semakin sulit bergerak. Ruangnya untuk menggerakkan anggota tubuh yang mulai tumbuh semakin terbatas, membuat sosok mungil nan putih diliputi kegelisahan.

Karenanya, dengan canggung, kedua tangan mungil dan berselaput mendorong dinding ruangan yang selama ini menghalangi pergerakannya. Pada awalnya, ia ragu-ragu. Namun lama-lama, perasaan sesak karena kehilangan ruang gerak semakin membuat si kecil gelisah.

Ini sudah waktunya.

Mer kecil tahu itu.

Ia harus keluar dari dalam ruangan ini sesegera mungkin atau ia akan mati karena sesak.

Mendorong dan mendorong, sosok kecil kali ini tidak ragu-ragu kembali. Ia dengan putus asa menggerakkan kedua tangan putih dan kecilnya. Terentang mendorong dengan kesepuluh jari berselaput.

Trak.

Suara retakan terdengar. Sukses membuat Mer kecil terkejut. Ia terdiam. Refleks menarik kedua tangannya kembali. Sepasang kelereng biru yang cerah menatap ke permukaan yang meninggalkan garis-garis tidak beratur.

Dindingnya pecah.

Pengetahuan baru ini membuat hati Mer kecil sangat senang. Ekornya yang masih sangat lembut dan transparan mengibas dengan penuh semangat. Karenanya, tanpa ragu kedua tangan kembali mendorong. Kali ini, tidak perlu waktu lama. Retakan semakin besar dan besar hingga pada akhirnya, sebuah celah kecil terbentuk.

Mer kecil kembali terdiam. Kelereng birunya membola dan mulut kecilnya membentuk huruf O yang besar. Jelas bersemangat dan terkejut dengan dunia asing di luar sana.

Jantung kecilnya menggebu-gebu. Berdentum dengan tidak tenang. Adrenalin meningkat, membuat si kecil tanpa ragu mulai merobek permukaan dinding dengan kedua tangan kecilnya. Lalu, saat lubang semakin lama semakin besar, sosok manusia kecil dengan ekor ikan berwarna pucat keluar dari dalam telur putih yang menetas.

Sosok itu tidak bisa langsung berenang. Ekornya pucat, lemah dan sisiknya belum mengeras. Karenanya, ia hanya bisa merangkak keluar dengan perlahan. Memastikan bahwa permukaan kulit telur tidak akan menggores ekornya yang sangat tipis dengan sisik yang terlalu lembut.

Duduk di permukaan pasir yang halus, manusia dengan wajah rupawan itu menatap sekelilingnya dengan rasa penasaran. Helai rambut panjang yang melebihi pinggul berayun dengan lembut. Warnanya hitam, bergelombang dengan gradiasi emas yang mencolok. Alisnya yang halus terajut dengan lembut, melengkung indah. Hidungnya bengir, dengan belahan bibir tipis semerah darah. Dipadukan dengan sepasang netra sewarna kejernihan permukaan air yang berkilau, Mer kecil yang baru saja menetas terlihat seindah peri air.

Menatap sekelilingnya, lingkungan Mer yang baru menetas sangat aman. Ia berada di dalam sebuah gua yang gelap dan dingin, tetapi cukup aman dari gelombang ombak yang kuat.

Saat tidak merasakan bahaya di seklilingnya, sosok kecil secara insting mulai meraih pecahan-pecahan kulit telurnya. Benda padat dan dingin itu mengeluarkan aroma yang lezat, membuat si kecil tidak bisa menahan diri. Sebelum perutnya menjerit meminta makanan, mulut mungil itu sudah memasukkan potongan kulit telur ke dalam mulut.

Hmm ... rasanya enak. Kriuk dan manis. Si kecil menyukainya. Terlebih saat kulit telur ditelan, perasaan hangat seolah muncul dari perut hingga ke seluruh tubuh. Membuat bayi Mer merasa nyaman dan berenergi. Karenanya, tanpa ragu, si kecil mulai memakan potongan-potongan cangkang telurnya sendiri.

Namun si kecil bukan Mer yang rakus. Ia tahu itu. Ketika sudah merasa kenyang, rasa kantuk mulai membuat matanya berat.

Telur adalah tempat yang paling aman dan nyaman.

Secara insitng, Mer kecil langsung masuk kembali ke cangkang telur. Bagaimanapun, hanya memakan potongan kecil yang berserakan di pasir, telurnya masih berbentuk bulat utuh dengan lubang kecil yang bisa dijadikannya pintu keluar-masuk.

Menggulung ekor panjangnya sendiri, Mer kecil menguap, lalu mencari posisi ternyaman. Saat merasa kantuk semakin menyergapnya, sosok cantik itu tanpa ragu tertidur, tidak menyadari keganasan laut dalam tempatnya dilahirkan.

.

.

.

Semua sisiknya sudah mengeras.

Ketika terbangun dan keluar dari dalam telur, Mer kecil mendapati kabar bahagia itu. Sosok raven memandang ekor hitamnya yang berkilau indah. Sisik-sisik hitam tersusun rapi. Ada gradiasi emas pada ujung siripnya dan itu terlihat sangat indah.

Mer kecil itu berkedip, menatap beberapa kali. Semakin ia melihat, semakin ia mengagumi ekornya sendiri. Oh, betapa indah dan cantiknya! Sangat puas dengan warna sisiknya, Mer Kecil terkikik, memuntahkan beberapa gelembung udara hingga membuatnya tersedak.

Menggelengkan kepala guna mengusir gelembung, si kecil mulai menggerakkan ekornya. Gua tempatnya bersembunyi sangat besar. Ia berenang dengan leluasa. Mengibaskan ekornya dan mulai berlari dari kanan ke kiri. Lorong keluar tidak terlalu jauh. Hanya dua kali kibasan ekor, Mer kecil bisa keluar dari dalam bebatuan karang yang melindunginya.

Namun si kecil memilih untuk tidak keluar. Ia masih mengagumi ekornya. Menatap ke kanan dan ke kiri. Ketika berenang, sesekali ia akan menoleh ke belakang. Menatap ekornya yang bergerak membelah air. Ketika ia menyeringai senang, batu karang akan menabrak kepalanya.

Itu tidak membuatnya pusing, tetapi cukup membuatnya kesal. Karang yang ditabrak akan bergetar, lalu retak dan hancur. Karenanya, tempat tinggal kecilnya secara bertahap menjadi sedikit lebih luas. Namun serpihan-serpihan karang hitam sangat jelek. Benar-benar mengotori pasir putihnya yang lembut dan indah.

Mer kecil tidak suka itu. Jadi, dengan rajin, kedua tangan kecil dan berselaput memungut serpihan karang, lalu melemparkannya keluar dari gua. Arus besar di luar gua akan menerbangkan serpihan, membuangnya entah ke mana.

"Menurutmu, apakah telur itu sudah menetas?"

"Aku tidak tahu, yang kudengar, telur Mer seharusnya sangat lama untuk menetas."

"Ahahaha ... sudah sangat lama, telur itu masih belum menetas."

"Bila telur itu menetas ... ," ada helaan napas kecewa terdengar. "Di sini sangat banyak makanan, sangat sayang untuk kita pergi meninggalkannya."

"Kenapa kau mengatakan hal yang menyeramkan seperti itu?"

"Benar! Jangan mengatakannya! Bagaimana bila telur itu benar-benar menetas?!"

"Hey, hey, menurutmu, telur itu tidak akan menetas?"

"Tidak mungkin! Kau belum dengar? Nona Gurita dan Kakek Hiu mencoba memecahkan cangkangnya, tetapi telur itu tidak pecah sama sekali!"

"Lalu kenapa kau menaruhnya di dalam sana?"

"Tentu saja agar tidak mudah keluar! Bukankah Mer sangat besar? Telurnya sangat kecil, pasti ketika keluar, dia akan terkurung dan tidak bisa keluar! Ahahahah, bagaimana? Aku sangat pintar kan?"

Mer kecil berkedip beberapa kali. Suara-suara itu berada di mulut gua karang. Dengan rasa penasaran, sosok mungil berenang dengan tenang. Menyelinap dan mengintip segerombol ikan yang mengobrol di dekat karangnya. Ikan-ikan panjang itu terlihat sedang memakan banyak bangkai yang berjatuhan di atas pasir putih.

Aroma lezat bergelayut terbawa air.

Secara insting, Mer kecil langsung tahu bahwa apa yang dimakan ikan-ikan itu bisa ia makan juga. Dan ... ikan-ikan kecil itu juga terlihat lezat. Giginya gatal, ingin memakan mereka. Namun di sisi lain perutnya sudah cukup kenyang. Lagipula, ikan-ikan itu terlalu berisik.

Tidak tertarik, si kecil berbalik. Ia berenang menuju ujung karang dan mendapati bahwa ... ia hanya memiliki satu saluran. Tidak ada cabang atau arah lain. Hal ini membuat si kecil tidak puas. Karenanya, dengan senang hati si kecil mulai membuat ruangan lain di karangnya. Jemari kecil yang semula terlihat lembut dan putih, kini menumbuhkan cakar yang kuat dan tajam. ia memotong karang dengan sangat mudah. Kukunya yang tajam seolah tengah memotong mentega. Mencukil dengan lembut dan kuat.

Meski pekerjaannya cukup mudah, tetapi tetap saja memakan waktu. Lorong panjang secara bertahap terbentuk, tetapi si kecil cukup kesal dengan semua serpihan karang yang mengotori pasir. Karenanya, setelah potongan karang jatuh, si kecil akan mengambil dan mengumpulkannya. Hal ini berlanjut hingga potongan karang menggunung dan nyaris menenggelamkan dirinya sendiri.

Mer kecil sangat marah. Mata birunya melotot, menatap gunung kecil karang yang mengotori sarangnya. Bibir kecilnya ingin mengoceh, tetapi gelembung-gelembung air justru keluar. Kesal, ia melemparkan semua karang keluar dari dalam sarang, sukses membuat ikan-ikan di luar menjerit ketakutan.

Mer Kecil tidak peduli. Ia kembali melanjutkan proyeknya. Menggali dan menggali. Ketika si kecil lelah dan lapar, ia akan berenang ke cangkang telurnya dan memakan cangkang dengan lahap. Saat mengantuk, ia akan langsung memilih tidur. Namun sayang, cangkangnya semakin mengecil. Sosok rupawan tidak bisa tidur di dalam cangkang lagi.

Karenanya, Mer kecil membuat cangkang telurnya sendiri. Kuku tajamnya mengikis dinding karang, membuat sebuah ruang kecil yang hanya bisa menampung satu tubuh. Jadi, ketika sosok Mer merasa mengantuk, ia akan menggulung ekornya dan masuk ke dalam celah kecil. Tidur dengan nyaman dan menyatu dengan permukaan karang yang gelap dan suram.

.

.

.

TBC

Keisengan yang hqq. Yah ... dah lama ada ide tentang mer, tapi belum sempet nulisnya. Kebetulan ni lagi mood, tak tulis~

Semoga menikmati!

AoiTheCielocreators' thoughts