webnovel

Kotak Hitam

Kehancuran membuatnya terpaksa keluar, menghirup udara segar, dan memenuhi takdirnya. Membantu orang yang patah arang, mengisi ambisi yang kehilangan, memenuhi hasrat para bedebah, dan mewujudkan mimpi bagi yang terlelap. Bagi yang beruntung, dia akan datang menghampiri, membantumu berdiri, dan memberi koleksi yang tak ternilai. Hanya istimewa yang terlihat, hanya letupan ambisi dan gemuruh amarah yang terdengar, dan hanya dengki yang lalu-lalang dalam penciuman. Tunggu dia, di lorong-lorong panjang, di bayang-bayang malam, bahkan di cermin-cermin tak bersisa.

Sejuan_Lee · Fantasy
Not enough ratings
156 Chs

Tarung [Si Bodoh]

Kericuhan terjadi setelah Asak menyelesaikan tesnya. Teriakan saling beradu, bunyi pukulan yang bersautan menarik perhatian semua orang termasuk pembimbing. Asak memundurkan langkahnya, begitu pun dengan peserta lain hingga membuat lingkaran kosong bagi kedua pemuda yang sekarang saling menarik jubah lawan masing-masing.

"Kau tidak pantas berada disini, rendahan sepertimu tidak akan diterima di Sekolah Kosong!" teriak seorang pemuda dengan jubah abu gelap.

Asak meringis melihat pemuda berkulit madu harus melawan orang dari golongan kasta di atasnya. Jubah abu gelap melambangkan keluarga terpandang, walau berada di tingkatan paling rendah di antara penduduk Kota Jerahak, tapi pemuda berkulit madu itu jauh dibawah si jubah gelap.

"Apa maksudmu? Kita saja tidak saling mengenal bedebah!" Pemuda berkulit madu itu menepis tangan lawannya, mengernyitkan dahi dan berniat pergi.

Bum, dia terlambat. Lawannya mengirim pukulan kosong keras, pemuda berkulit madu terpelanting tiga meter kebelakang. Seruan-seruan dari penonton mulai terdengar, meneriaki nama si jubah abu gelap yang kalau tidak salah bernama Jejap.

"Jejap! Jejap! Habisi makhluk rendahan itu!"

Semua peserta nampak tertarik dengan pertarungan tanpa aturan ini, bertepuk tangan dan menghentakkan kaki karena gemas. Pemuda berkulis madu itu berdiri, dia meringis sembari menekan luka di sudut bibirnya.

"Masih berani berdiri?" tanya Jejap, dia membuang air liurnya sembarang dan merengsek maju. Bum, pukulan kosong mengenai perut pemuda berkulit madu. Tubuh berisi itu kembali terpelanting dan menyentuh lantai arena.

"Untuk kekuatan sedikit seperti itu. Kamu terlalu sombong, Jejap, " ucap pemuda berkulit madu sembari berdiri, mengusap dahi yang mulai mengeluarkan cairan pekat. "Jejap, kau tak lebih dari seorang penjilat."

Perkataan pemuda itu membangkitkan amarah Jejap, wajahnya memerah hingga telinga. Asak menatap pemuda berkulit madu itu heran, apa yang dia lakukan akan membawa malapetaka. Dia sudah kalah telak, Jejap berada di level yang jauh dari dirinya.

Mata pemuda berkulit madu itu melirik ke kanan, seperti mencari seseorang yang tertumpuk di kerumunan. Setelah menemukan apa yang dai cari, kedua mata pemuda itu lantas membola dan mengeluarkan kilatan hijau.

Asak mengusap wajah cepat, apa dia tidak salah lihat. "Kilatan apa itu?"

Pemuda berkulit madu merengsek maju, dengan kecepatan dua kali lipat dia menghampiri Jejap yang menelan ludah karena terkejut. Bum, satu pukulan kosong menghasilkan bunyi yang amat keras. Sayang pukulan itu hanya menyapa angin kosong.

Jejap berusaha menghindar, dia bergerak ke kanan dan ke kiri berniat mengelabui lawannya. Namun pemuda dengkat kecepatan di atas rata-rata itu membaca gerakan Jejap, dia bergeser ke kanan dan. Bum, satu pukulan kosong membuat tubuh Jejap terpelanting lima meter.

Para penonton yang sedari tadi heboh mulai mengulum bibir, tidak ada yang bersuara layaknya mengheningkan cipta. Bruk, suara itu membuat semua kepala menoleh.

"Pembimbing, seseorang jatuh pingsan!"

Dari lima ribu lebih peserta, hanya 1,256 yang diterima. Tentunya pemuda berambut pirang itu diterima, buktinya siang dini hari dia sudah memasuki kamar asrama. Asak mengernyitkan dahi, kedua alisnya menyatu melihat kondisi kamar asrama.

Kamar yang berukuran lima kali enam meter ini sangat kecil. Dua kasur, satu lemari, dan sebuah kaca yang bersandar di badan kiri lemari. Dan sialnya, Asak harus berbagi kamar. "Apa ini yang dinamakan sekolah terbaik?"

Suara langkah kaki membuat tubuh Asak tersentak, lantas menoleh dan menatap pemuda lusuh di hadapannya. "Kamu teman sekamarku? Perkenalkan aku Asak dan." Ucapan pemuda

itu terhenti karena teman sekamarnya melewatinya tanpa berbicara sedikit pun.

"Aneh, " gumam asrak sembari berjalan ke arah lemari.

Negara Dikara dikenal dengan negara paling maju, dan begitu pun dengan Kota Jerahak yang menyandang gelar Kota Seribu Tangan. Dinamakan begitu karena kota ini memiliki banyak manusia-manusia paling berpengaruh di Negara Dikara dan secara otomatis kota ini paling maju dibandingkan daerah lain di luar kubah.

Dan benda bernama lemari sudah tidak pernah lagi dibuat, atau kasur dengan busa dan pelapis kainnya. Itu semua sudah diganti sejak Asak lahir ke dunia ini. Rumah-rumah warga sudah lama di ubah menjadi bentuk satu per empat bola, menempel di dinding-dinding kubah dan beberapa berdiri di atas pilar-pilar penyangga.

Kota Jerahak amat maju, mangkuk terbang untuk membawa penumpang terus di perbaharui hingga sedemikian rupa. Supermarket tanpa pegawai, buku hologram, atau bahkan meja makan yang bisa mengeluarkan makanan sendiri juga ada.

Tapi kenapa sekolah yang diagung-agungkan, dipuja-puja namanya bak dewa memiliki teknologi se kuno ini. Bahkan untuk menuju daerah barat yang jauhnya bukan main, Asak harus menggunakan cangkir berjalan. Setiap dinding di gedung Sekolah Kosong dihiasi dengan rel yang menghubungkan semua gedung, cangkir yang berkapasitas empat orang itu menempel pada rel.

Sebenarnya bukan masalah besar, tapi semua ini menimbulkan banyak pernyataan di benak pemuda yang sedang sibuk menatap jubah dan beberapa pakaian. "Kemana dana pembangunan sekolah yang jumlahnya lebih tebal dari dinding pelapis kubah?"

Dengkuran halus yang dihasilkan pemuda berjubah abu gelap membuat Asak menoleh, dia menatap pemuda teman sekamarnya. Hidung mancung, rahang tajam, dan mata tidak terlalu bulat dibingkai apik dengan tesmak.

"Merah bata?"