webnovel

Kotak Hitam

Kehancuran membuatnya terpaksa keluar, menghirup udara segar, dan memenuhi takdirnya. Membantu orang yang patah arang, mengisi ambisi yang kehilangan, memenuhi hasrat para bedebah, dan mewujudkan mimpi bagi yang terlelap. Bagi yang beruntung, dia akan datang menghampiri, membantumu berdiri, dan memberi koleksi yang tak ternilai. Hanya istimewa yang terlihat, hanya letupan ambisi dan gemuruh amarah yang terdengar, dan hanya dengki yang lalu-lalang dalam penciuman. Tunggu dia, di lorong-lorong panjang, di bayang-bayang malam, bahkan di cermin-cermin tak bersisa.

Sejuan_Lee · Fantasy
Not enough ratings
156 Chs

Hadiah [Sungai dan Bukit]

Layar sebesar sepuluh kali lima meter itu menayangkan sebuah video dari rekaman robot pengawas di gedung utara, bisa disebut dengan gedung pembimbing. Seseorang berjubah merah bata datang dari arah selatan, melompati gerbang setinggi enam meter dengan mudah. Berlari layaknya bayangan di tengah matahari yang hampir terbenam.

Dia memasuki sebuah ruangan yang sempit, banyak kabel dan besi-besi berbentuk bulat disana. Menggeser beberapa besi dan memotong kabel dengan pisau yang bisa ditebak sangat tajam. Kepalanya terus menoleh ke belakang, wajah yang tertutupi tudung itu sempat sedikit tersikap karena pergerakan yang acak.

Hidung bangir, walau orang tersebut tidak terlihat jelas tetapi Asak dan yang lain bisa melihat jika pelaku itu mirip sekali dengan Laten. Dia menekan-nekan mesin berbentuk setengah lingkaran, memasangkan benda kotak kecil yang dia ambil dari saku jubah ke mesin itu.

Tert! Tert!

Mesin itu berbunyi nyaring, seseorang itu terkejut lantas kembali menekan-nekan mesin setengah lingkaran panik. Dia mencabut benda kotak kecil, memasukkan ke saku dalam jubah. Dia berjalan cepat keluar, namun sisa kabel yang dipotong membuat dirinya terjatuh ke depan. Sebuah tesmak ikut menyentuh lantai besi, lagi-lagi membuat semua orang membola mata karena benda itu sama seperti milik Laten.

Si jubah merah bata berdiri, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri sebelum berlari cepat keluar, melompati gerbang. Asak menggigit bibirnya saat melihat si jubah merah bata menabrak dirinya di video dalam layar.

Layar kembali hitam, Asak menelan ludahnya kasar karena nasib buruknya. Thom melirik pemuda di sampingnya, mengernyitkan dahi meminta penjelasan. "Demi Azmata, Thom. Kemarin dia menabrakku dan lari kencang, aku tidak tau apa-apa, " ucap Asak sembari mengusap wajah.

"Hari ini saya tidak akan berurusan dengan Azmata." Pembimbing melirik Asak dengan mata marah. "Dimana Laten!" teriaknya keras, murid yang duduk di tabung dengan tutup bagian depan langsung menutup telinga. Beberapa murid yang baru saja bangun dari tidurnya terjatuh dari tabung dengan tutup, karena sungguh ini masih sangat pagi.

"Saya?" Laten berdiri di luar lapisan pintu, dia sepertinya terlambat datang ke kelas ilmu alam. Sepertinya dia harus menggelar pesta karena tidak mendengar omelam di pagi cerah seperti ini.

Laten datang tanpa kacamata, bulu mata panjang miliknya menjadi terlihat jelas. "Ikut saya!" Pembimbing menghilangkan lapisan pintu, menabrak bahu Laten yang mengernyitkan dahi. Beberapa suri kemudian datang, menarik tangan pemuda berhidung bangir itu keras.

Asak meringis. "Aku tidak percaya dia melakukan hal itu, " desahnya sembari menoleh ke Thom, pemuda berjubah coklat itu masih sibuk dengan tali penunjuk, menekan-nekan hologram yang dihasilkan tali penunjuk dengan serius. "Apa yang kau lakukan, Thom?"

Thom menghembuskan napas pelan, dia menoleh ke arah Asak. "Aku rasa ada yang salah, Asak. Laten tidak akan punya nyali setitik pun untuk melakukan itu. Walau dia ditawari mati, aku yakin dia akan menghujam jantungnya sendiri tanpa dipinta."

"Aku juga berpikir begitu, Thom."

Kedua pergelangan tangan Laten memerah, cengkraman para suri tidak main-main. Dia meringis saat tubunya dilempar ke arena putih, arena yang tercipta bagi para pembangkang. Semua keluarga memiliki arena putih mereka sendiri, begitu pun dengan Sekolah Menengah Kosong, bahkan Sekolah Menengah Kosong memiliki arena putih paling dasyat.

Isunya, di arena putih ada gelombang petir yang membuat tulangmu bergetar, angin dingin seakan menusuk pori-pori, dan kegelapan yang menambah rasa mencekam. Tak ada orang disana, hanya ruangan putih polos.

Namun jika kau berdiam di dalamnya, beribu-ribu pukulan kosong menghantam badanmu telak, tanpa ampun. Walau kau pejabat atau orang paling berpengaruh sekalipun, arena putih akan menghukummu, tanpa pandang. Lantai ruangan bersih, bisa menjadi berpola hanya karena kau masuk kedalamnya.

Laten menelan ludahnya, dia merangkak mencoba menahan seorang Suri yang hendak menutup pintu arena putih. "JANGAN!" Terlambat, pintu itu tertutup dan membuat teriakan Laten teredam. "Apa salahku?" tanyanya sembari menarik rambutnya kesal.

Laten benci menjadi lemah, Laten benci dipandang rendah, dia benar-benar benci menjadi seperti ini. Kasta yang dia miliki membawa semuanya semakin rumit, perundungan juga tidak ada habis-habisnya. Laten lelah mencoba tersenyum, berpura-pura baik dengan bicara lembut layaknya kain sutra.

BUM! Pukulan kosong keras mencium pipi Laten, tubuhnya terpelanting dan kepalanya menabrak dinding yang lebih keras dari baja. Cairan pekat berbau amit mengalir dari sudut bibir, kepalanya pening luar biasa. Mata Laten berkunang-kunang, dia meringis keras saat suhu di dalam arena putih turun drastis.

Luka-luka mengering, membuat bercak darah berpola. Kedua netra kelam milik Laten memerah karena udara dingin, hidungnya meneteskan darah, dia mengusap darah sebelum mengering. ZTS! Tubuh Laten tersetrum oleh listrik, semua bagian terasa seperti dicubit besi panas, Laten mengerang minta tolong.

Apabila kamu belum pernah tersengat listrik dalam hidupmu, setidaknya ini bisa menggambarkannya: rasanya seperti cubitan yang menyakitkan. Ini jika terjadi hanya beberapa detik saja. Namun bila sengatan listrik itu berlanjut, rasa tidak enak akan menjalar lebih ke area-area tubuh yang berbeda.

Tubuh Laten dipenuhi oleh gelombang listrik, dia kejang-kejang karena jalur listrik di otak terganggu dan mengakibatkan fungsi organ berjalan tak karuan. Listrik yang menyengat Laten melebihi 60 mA, dadanya sesak. Jantung terasa berhenti memompa darah, aliran darah berhenti sebentar karena pukulan kosong melepaskan Laten dari sengatan listrik.

BUM! Laten kembali terpelangting, kondisi pemuda itu sudah tidak bisa lagi dibilang layar. Rambut sedikit berdiri tegak, jubah yang lusuh sekarang compang-camping, jangan lupakan luka-luka yang tergambar apik seperti seni.

"BAJINGAN!" teriak Laten sembari mencoba berdiri, kakinya bergetar hebat saat melangkah. Dia memukul-mukul pintu arena keras, walau dia tau tidak akan ada satu orang pun yang mendengarnya. BUM! Pukulan kosong mengenai punggung Laten, tubuhnya melengkung ke depan menahan rasa sakit.

Apa Laten akan mati sia-sia disini hanya karena hal yang dia tidak ketahui? Laten kemarin meminta ijin untuk tidak tinggal di asrama karena memiliki acara keluarga, ayahnya baru saja meregang nyawa kemarin. Dia baru saja sampai, dia bahkan melempar tasnya di depan gedung asrama saat melihat tali penunjuk.

Dia benar-benar tidak tahu alasan dia masuk ke arena putih, dihakimi dengan alat sialan. Laten benci menjadi rendah, diinjak-injak layaknya lantai. "Akan ku balas, akan ku balas, " gumamnya terus menerus. Kakinya sudah tak kuat lagi berdiri, kepalan tangannya juga tidak lagi memukul pintu arena. Laten pasrah.

Udara dingin tiba-tiba menerpa wajah pemuda itu, mata yang hampir terpejam terpaksa kembali terbuka saat melihat sesosok berjubah hitam legam. Laten tidak sempat melihat wajah orang di depannya, dia tidak kuat mengangkat kepalanya.

"Laten, akan ku beri kau sebuah hadiah. Namun ikutlah denganku, " ucap sosok itu sembari mengangkat tubuh dingin Laten. "Akan ku buat kau paham, Laten. Akan ku beri tau kepada semua orang jika kau lebih dari sebuah sampah."

Suara langkah beradu memenuhi lorong menuju arena putih, Thom dan Asak berlari layaknya orang kesetanan. Mereka tidak peduli dengan kaki mereka yang berteriak lelah, Asak ingin melihat keadaan Laten.

Tidak ada seorang pun yang lolos dari arena putih, tiga puluh menit disana sama saja mati. Dan bagaimana dengan Laten yang mendapatkan hukuman satu jam disana, Asak yakin pemuda itu sudah siap dimasukkan ke peti untuk dibakar jasadnya.

"Laten, " ucap Asak terbata-bata. Mereka akhirnya sampai di gedung penyiksaan, meihat dari jauh arena putih karena tidak mendekat. Banyak pembimbing dan suri disana, Asak dan Thom masih ingin hidup walau rasa khawatir menyerbu kalbu mereka.

Ini sudah satu jam, suri menekan pintu hingga terbuka. Mata suri itu melotot, lubang hidungnya mengembang. Asak dan Thom yang melihat dari jauh pun membuka mulut lebar. Laten keluar dengan santai, tubuhnya bersih, jubahnya pun bahkan bersih tanpa debu atau darah. Pemuda bermata bulat itu menyeringai kecil, melirik semua orang sebelum berjalan keluar arena.

"Aku yang menguasai bukit-bukit itu, mengendalikan aliran sungainya hingga kalian bisa dalam petaka."