webnovel

KING OF THE WARRIORS

“Katakan padaku apa yang harus aku lakukan agar kau bersedia menjadi panglima perangku?” Raja Alventius memandang tajam pada sosok pria yang badannya tidak lebih tinggi darinya, namun lebih tegap dan berkharisma di antara jenderal-jenderal yang pernah ditemuinya. Pria itu, Rendevis Oldernys, hanya diam mematung. Ia tidak memberi jawaban apa pun. Ini adalah kesekian kalinya, dirinya kedatangan pembesar-pembesar kerajaan di wilayah utara. Kemampuannya yang tidak hanya dapat memahami bahasa manusia, tetapi juga hewan, tumbuhan dan alam ghaib, membuatnya menjadi rebutan kerajaan-kerajaan besar yang ingin menjadikan dirinya sebagai panglima perang mereka, untuk membantu mereka menjadi penguasa tunggal dunia. “Apa yang kau inginkan? Harta? Berapa banyak yang kau inginkan? Atau wanita? Aku akan memberikan gadis-gadis baru setiap harinya untuk memuaskan nafsumu. Atau kau ingin menjadi pemimpin para jenderal? Aku akan dengan mudah memberikannya padamu.” Bujuk rayu para pembesar itu terus saja dilontarkan agar pria gagah dan tampan itu bersedia bergabung bersama mereka. Lain hari, pemimpin dunia sihir datang bertamu dengan tujuan yang sama. Hingga mereka menawarkan ramuan keabadian kepada Rendevis. Namun, sikap pria itu tetap sama, tidak memberikan jawaban apa pun. Ia hanya diam mendengarkan layaknya seorang tabib yang mendengarkan keluh kesah pasiennya. “Apa yang harus kami lakukan agar kau bersedia bergabung dengan pasukan kami?” Raja Negeri Air tidak ketinggalan ikut membujuk Rendevis. “Tidak ada. Aku sama sekali tidak tertarik dengan semua tawaran kalian.” Jawaban singkat yang sama yang selalu diberikan setelah cukup lama dirinya menjadi pendengar setia pembesar-pembesar itu. “Silakan kalian pulang ke negeri kalian. Aku tidak akan ke luar dari tempat ini, kecuali keadaan yang sangat darurat terjadi di bumi ini.” Siapa sebenarnya Rendevis Oldernys? Keadaan darurat yang bagaimana yang dimaksud Rendevis? Siapa yang akan berhasil meminangnya menjadi panglima perang?

lavendermyname · Fantasy
Not enough ratings
5 Chs

Bab 5. Sekutu

Apakah kita akan melanjutkan perjalanan kembali, Jenderal." Fardemis menatap Rendevis yang kini tengah memasukkan kembali pedang hitam itu ke dalam sarungnya, yang ia letakkan di pinggangnya.

Rendevis menatap langit yang kini mulai berwarna oranye, pertanda senja telah datang, menjadi penghubung malam yang akan segera menggantikan siang.

"Angin bertiup cukup kencang sore ini. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Apakah perbekalan kita cukup untuk tiga hari ke depan?" tanya Rendevis pada Fardemis.

"Cukup, Jenderal. Jika kita butuh daging, kita bisa berburu rusa atau mendapatkan hasil langsung dari sungai." Kalimat Fardemis terputus ketika melihat perubahan di wajah Rendevis.

"Apakah Jenderal baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja. Segera temukan lokasi yang tepat untuk mendirikan tenda. Atur jadwal penjagaan. Kita istirahat sebentar lalu dini hari kita akan melanjutkan lagi perjalanan ke utara," perintah Rendevis yang langsung dikerjakan oleh Fardemis.

Rendevis berjalan menyusuri sungai kecil yang terletak tidak jauh dari tempat peristirahatannya bersama dengan pasukannya. Dirinya mulai menghitung jajaran bintang yang membentang di langit gelap di atas sana. Suasana yang mulai beranjak dingin, membuat Rendevis mengeratkan baju hangatnya, yang terbuat dari bulu domba.

Apakah pertemuan itu sudah dimulai? Lalu apa hasilnya? Mengapa para pengunci elemen kehidupan mengadakan pertemuan mendadak seperti ini? Rendevis terus saja memikirkan pertemuan itu. Tiba-tiba terdengar sapaan dari arah belakangnya.

"Hai, Rendevis…." Sapaan lembut itu membuat bulu kuduk Rendeviis berdiri. 'Aku tidak suka jika harus bertemu mereka di saat-saat seperti ini.'

"Aku bisa mendengarmu, Rendevis…" sindir suara itu lagi.

"Berhentilah berbicara dengan suara aneh itu!" bentak Rendevis, yang langsung membuat suara itu diam.

"Ada perlu apa kau menemuiku di waktu seperti ini?" tanya Rendevis tanpa mengangkat kepalanya. Dirinya tahu jika sosok yang sedang berbicara dengannya itu, adalah sosok yang seringkali membuat setiap orang yang melintas di sekitar sungai itu lari tunggang langgang.

"Hmm, bukannya ini adalah waktu di mana kami memang ke luar dari tempat persembunyian kami, mencari tempat yang lebih aman?" jawab suara tanpa ujud itu.

"Tunjukkan dirimu, tapi jangan yang aneh-aneh!"

Seketika ke luarlah sesosok pria tua dengan rambut putih dan jenggot panjang yang nyaris menyentuh air sungai.

"Ada apa?" tanya Rendevis tanpa ada basa-basi sedikit pun, menatap tajam sosok di hadapannya.

Pria tua yang mengambang itu, duduk di salah satu batu yang ukurannya sedikit lebih kecil dari yang diduduki Rendevis. "Apa yang kau lakukan di sini?" Bukannya menjawab pertanyaan Rendevis, tapi sosok itu justru balik mengajukan pertanyaan.

"Jika tidak ada informasi yang bisa kau bagikan padaku, enyahlah kau dari sini!" usir Rendevis. Ia tidak punya waktu untuk sekedar berbincang-bincang saat ini. Tubuhnya terasa lelah luar biasa. Kekuatan Wemble yang kini berada di dalam tubuhnya, masih memerlukan cukup waktu untuk mengolahnya. Ia perlu asupan tenaga agar lebih cepat mengendalikannya.

Sosok tua itu mengetuk-ketukkan tongkat tuanya ke atas air, hingga menciptakan riak kecil di aliran itu. Tanpa panjang lebar, ia mengatakan sesuatu yang membuat Rendevis terkejut luar biasa.

"Bergabunglah dengan kami, Rendevis. Kau akan menjadi pemimpin kami di seluruh wilayah di bagian dunia mana pun. Semua akan tunduk di bawah perintahmu."

Rendevis bergeming menatap sosok itu dengan sangat serius. "Itu lagi yang kau tawarkan padaku. Memangnya kau berbicara atas nama siapa?"

Sosok itu terdiam.

"Aku tidak bisa masuk ke dalam duniamu. Duniamu dan duniaku sangat berbeda, dan aku tidak ingin merusak persahabatanku dengan pemimpin-pemimpinmu. Jika aku bergabung denganmu itu sama saja artinya aku akan mati, dan menjadi pasukanmu. Dan itu tidak akan pernah terjadi!" tandas Rendevis dengan tegas.

"Kau salah, Rendevis. Yang aku maksudkan di sini bukan menjadi pasukanku atau siapa pun dari duniaku, akan tetapi, jadilah sekutu kami."

"Sekutu? Untuk apa aku menjadi sekutumu? Jelas-jelas dunia kita berbeda. Apa yang menjadi perjuangan kita bersama?"

Sosok itu terdiam, dan mengeluh dalam hatinya. Betapa susahnya merayu pria ini. Dari dulu hingga sekarang, belum ada satu pun tawarannya yang diterima Rendevis. Semua ditolak mentah-mentah.

"Bantulah kami untuk menguasai dunia!"

Tubuh Rendevis langsung menegang, berdiri dan memegang pangkal pedangnya. "Kau ulangi sekali lagi ucapanmu, maka pedang ini akan langsung mengirimmu ke neraka!" desis Rendevis penuh amarah.

"L-Loh, Me-Mengapa harus menggunakan pedang? Kita bisa membicarakan semuanya baik-baik di sini?" sosok itu gemetar. Kehebatan pedang hitam Rendevis sudah terkenal di seantero jagad raya. Ia bisa langsung bertemu dengan penjaga neraka hanya dengan sekali tebas, dan itu bukanlah pilihan yang bagus untuknya.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Sekali lagi kau muncul di hadapanku dan mengucapkan kalimat yang sama, maka aku tidak akan segan mengajak kalian semua bertarung!" usir Rendevis.

Sosok itu langsung menghilang, tanpa jejak, menyisakan rasa kesal di diri Rendevis. Ia menendang satu kerikil yang tepat berada di depan kakinya. Apa sebenarnya yang mereka cari? Kekuasaan? Lalu jika sudah menguasai semua, apa yang akan mereka dapatkan. Berulang kali Rendevis memikirkan hal itu tapi dirinya tidak kunjung menemukan jawabannya.

-0-

Rendevis kembali melangkah menuju tenda yang sudah didirikan oleh anak buahnya. "Apa yang sedang kalian lakukan?" Ia melihat beberapa prajurit sedang membakar ikan, sedang yang lain mempersiapkan bumbu yang sudah mereka persiapkan dalam kantong bekal.

"Membuat makan malam, Jenderal,"jawab seorang prajurit lalu mengulurkan segelas minuman rempah-rempah panas kepada Rendevis.

"Terima kasih." Rendevis lantas ikut duduk bersama para prajuritnya, mendengarkan cerita-cerita mereka sekitar istri-istri mereka, sesekali meneguk minuman yang ada di tangannya.

Rendevis menyimak dalam diam. Rata-rata prajuritnya masih muda. Mereka yang sudah menikah hanya sekitar sepuluh persen dari jumlah ke seluruhannya. Mereka biasanya bercerita tentang kehidupan mereka setelah menikah, membuat iri yang belum menikah. Rendevis terkadang ikut terkekeh bersama mereka, membayangkan apa yang sedang diceritakan oleh anak buahnya.

Fardemis mengambil tempat di samping Rendevis. "Jenderal tidak ikut bercerita?" tanya pria muda itu, sambil meneguk minuman rempah yang baru saja dituangkan ke dalam gelasnya.

"Apa yang hendak aku ceritakan? Sehari-hariku ada di jalanan. Kalian sendiri yang menjadi saksi."

"Hmm, kenapa Jenderal tidak segera mencari pasangan? Hidup kita akan menjadi lebih berwarna, Jenderal. Akan ada omelan seorang wanita yang akan mengganggu tidur kita di setiap pagi. Kalau hujan deras turun, akan ada selimut yang akan menghangatkan kita," ujar Darnis, sambil mempraktekkan gayanya, yang langsung memancing berbagai komentar dari yang lainnya.

Rendevis hanya terkekeh. Sempat terbayang di benaknya untuk menikah. Namun, bayangan keselamatan wanita yang akan menjadi pendampingnya membuat dirinya urung mewujudkannya. Terlalu berbahaya untuk Rendevis, dan ia tidak ingin hal buruk menimpa keluarganya. Terlebih lagi, dirinya yang saat ini menjadi incaran banyak kerajaan.

Malam semakin larut, api unggun yang berada di tengah-tengah mulai meredup. Beberapa prajurit sudah tenggelam dalam mimpinya. Kecuali beberapa yang memang mendapat tugas jaga. Rendevis beranjak dari duduknya melewati Fardemis yang sudah terkulai di tempatnya.

Tiba-tiba api yang sebelumnya sudah mulai meredup, kini kembali berkobar, kian lama kian besar menciptakan pancaran cahaya yang terang. Rendevis mengernyitkan keningnya. Siapa yang berkunjung di tengah malam seperti ini?