webnovel

Kesetiaan Arasy

Bukannya terkejut bahagia mendapatkan oleh-oleh liburannya Arasy, malah dirinya yang terkejut mendapatkan berita dari kedua orang tuanya. Bahwa orang tuanya telah menerima lamaran sahabat lama mereka untuk dirinya. Jangankan cinta, terpikirkan bertemu dengannya saja tidak ada. Berbagai cara Arasy menolak tapi tetap tak diindahkan. Hingga akhirnya pertemuan itu terjadi, dan begitu bahagianya dia karena bisa menatap mata hitam pekat itu lagi. Doa yang diucapkan di setiap harinya tidak sia-sia. Tuhan memberinya izin untuk bertemu dengannya lagi, memberi Arasy kesempatan kedua, memperbaiki kesalahannya. Namun sayang, bukannya kebahagiaan yang didapat malah bertubi-tubi kesedihan yang datang.

Amani_Farida · Teen
Not enough ratings
4 Chs

Tiga

"Kenapa dengan wajah sang pujaan hati setiap wanita di dunia ini?" tanya Marvel dengan wajah menggoda.

"Jessi nggak mau gue ajak nikah."

Mengernyitkan dahi dan menyatukan kedua alisnya, Marvel kembali bertanya, "Kenapa?"

"Belum siap katanya."

"Seriously?"

Denis mengangguk. "Malah dia bilang gini 'menikahlah dengannya, tapi tubuhmu hanya untukku.' Bagaimana gue bisa nikah dengan cewek lain kalau yang ada di otak gue cuma dia dan tubuhnya yang seksi."

"Bentar bentar, kenapa lo tiba-tiba ngajak dia nikah?"

"Gue dijodohin."

"Ha?"

"Dua hari lagi pernikahan gue."

"Ha?"

Kesal dengan ekspresi Marvel, Denis mengambil laporan yang berada di mejanya kemudian digulung lalu dipukulkan ke kepala sahabatnya itu. Tak peduli ringisan sakit dari sahabatnya, Denis kembali bercerita. "Kemarin pas gue abis liburan sama Jessi, papa bilang kalo mau jodohin gue."

"Terus lo setuju?"

"Nggak lah. Kalau buah durian lebih nikmat kenapa harus pilih bunga nangka."

"Tapi kan, lo belum tahu si gadis favorit bokap lo ini."

"Gue nggak peduli. Gue nggak akan pulang sampai acara pernikahan itu selesai, biar papa aja yang nikah sama tuh cewek."

"Punya nyokap baru dong, lo," ucap Marvel dengan mata berbinar, membuat Denis makin kesal.

"Sudah ah, gue mau balik kerja. Supaya bisa balik sore."

"Mau ngapain lo?"

"Honeymoon dong," ucap Denis penuh semangat.

"Belum nikah, udah kendor tuh cewek."

"Yang penting hangat dan nikmat. Pergi sana lo."

Sungguh Denis tidak perduli dengan orang tuanya. Siapa suruh mereka menjodohkan dirinya dengan gadis yang Denis belum pernah ketemu apalagi cinta. Yang ada Adi pikirannya hanya Jesslyn dan tubuh seksinya. Lalu, bayangan seseorang itu datang lagi, membuat Denis mengerjapkan matanya. Dadanya sesak, bayang seseorang di masa lalu itu datang membuat emosi yang ada di ubun-ubun hilang. Nyatanya, meski hanya bayangan, dia mampu meredam emosi Denis yang menjulang tinggi.

Setelah kepergian Marvel dan bayangan yang datang tiba-tiba itu, di sinilah Denis sekarang, berjalan menuju mobilnya yang diparkir di bawah. Baru sampai lobi, senyumnya pudar melihat papa dan mamanya berada di sana. Di jarak yang tak sampai lima kilometer dari tempatnya berdiri. Telat, Denis tidak bisa berbalik karena dibelakangnya tiba-tiba ada penjaga yang langsung mendekap tangannya dan dinawa kehadapan sang pemilik utama perusahaan.

"Bawa dia ke mobil," perintah Pak Raffi kepada kedua penjaga tersebut dan langsung dipatuhi. "Ayo, Ma. Kita pulang sekarang dan mempersiapkan semua."

"Iya, Pa." Lalu keduanya berjalan ke mobil yang kini berisi Denis.

Malas menatap kedua orang tuanya, Denis memilih menatap depan. Memang dirinya kini duduk di kursi samping sopir, tapi malas saja menatap mereka.

"Jalan," perintah Pak Raffi yang mutlak.

Selama lima belas menit perjalanan yang menurut Denis sangat cepat, karena dia tidak menemukan ide untuk memperlambat acara pertemuan itu.

"Turun," lagi, perintah Pak Raffi tidak bisa dibantah. Menunjukkan pada dunia siapa dia sebenarnya dan apa kedudukannya.

Tanpa membantah, Denis turun. Berjalan ke kamarnya dan berjanji akan membuat cewek itu menyerah dan memohon ampun supaya perjodohan ini batal.

"Denis, jam tujuh kita berangkat. Jadi, mama harap kamu siap dalam sepuluh menit," ucap ibunya diluar kamar Denis.

Menarik napasnya, Denis membuka pintu untuk ibunya. "Ma, Denis mau bicara."

"Bicaralah."

"Denis mencintai Jessi, Ma."

"Jessi bukan gadis baik-baik, Denis."

"Menurut mama, gadis yang mau mama jodohkan denganku baik-baik?"

"Disogok berapa mama sampai menjatuhkan Jessi dan membelanya?"

"Mam tidak disogok, mam tahu sendiri dia memang gadis yang baik. Dia berbakti pada orang tuanya. Dia juga ra ...."

"Sudahlah, Ma. Percuma bicara sama kalian, otak kalian sudah dipengaruhi gadis itu."

"Denis, dia tidak seperti yang kami katakan."

"Deni istirahat, semoga mama bahagia dengan pilihan mama."

Bu Rini menghela napas. Dia tahu ini akan berat bagi Denis, tapi melepas Arasy dan memilih Jesslyn adalah kesalahan terbesar baginya. Bukan karena Arasy anak sahabatnya, tapi karena Arasy memang layak untuk jadi pendamping Denis dan berharap bisa merubah putranya itu.

Bu Arini sendiri belum pernah bertemu dengan Arasy secara langsung. Namun, melihat foto yang dipajang ketika dia melamar untuk anaknya, entah kenapa Bu Arini sangat yakin kalau Arasy itu baik untuk Denis. Senyumnya yang menenteramkan jiwa dan mampu membuat hati teras sejuk.

Pertemuan dilakukan di sebuah restoran mewah. Makanan sudah dihidangkan. Kedua keluarga sudah berkumpul. Arasy juga terpaksa menerima perjodohan ini, dirinya hanya ingin kebahagiaan untuk orang tuanya. "Jangan tegang, Sayang. Dia laki-laki baik."

Arasy mengangguk ketika jemari ibunya mengelus punggung tangannya berniat memberi ketenangan. Tak lama kemudian, keluarga calon suaminya datang. Dengan anggunnya mereka duduk di hadapan orang tuanya, tapi sebelum itu cipika-cipiki terlebih dahulu tanpa Denis.

"Ini yang namanya Aci?" tanya Bu Arini begitu pantatnya sudah menyapa kursi yang di sana.

Aci berdiri mencium punggung tangan kedua paruh baya di hadapannya. "Arasy, Om, Tante."

"Lebih cantik daripada yang di foto," ucap sang Ayah. "Bagaimana kabar kamu? Deg deg an?"

"Sedikit, Om."

"Tenang saja, saat kamu melihat putra saya, saya yakin kamu akan langsung cinta karena ketampanannya itu berasal dari om." Tawa menggelagar.

"Kamu kerja di mana?" tanya Bu Arini.

"Di kantor yang berurusan dengan internet, Tante. Jadi setiap hari masih berkutat dengan internet."

"Dan di rumah selalu begitu. Capek ngomel saya, Mbak," sahut ibu Arasy. Percakapan hangat dan penuh canda tawa itu berlangsung hingga setengah jam, tapi yang ditunggu belum datang juga.

Hampir mereka menyentuh makanan di meja, tapi berhenti saat sebuah suara menginterupsi keberadaannya. "Maaf telat." Di tarik sebuah kursi lalu didudukinya tanpa merasa bersalah. Lalu mengangkat wajah penasaran dengan siapa dia dijodohkan.

Wajah perempuan cantik dan muda ada dihadapannya. seperti pernah bertemu tapi dimana? Berusaha mengingat tapi tak mampu. Namun wajah yang memberi kedamaian bagi yang memandang itu mampu membuat dirinya terpukau.

"Dari mana saja kamu, Denis?" tanya papanya dengan muka memerah menahan emosi karena

"Ada urusan sebentar. Ayo dilanjut makannya. Sayang kan, sudah beli tapi tidak dihabiskan."

"Denis kamu kenalan dulu dengannya," perintah Pak Raffi.

Mengembuskan napas, Denis mengangkat tangannya untuk berjabat tangan dengan gadis di hadapannya. "Denis" cukup satu kata lalu ditariknya tangan itu dari genggaman calon istrinya.

Arasy yang melihat itu tidak peduli. Dia ingin segera pulang dan merebahkan dirinya di kasur. Tubuh pun perlu istirahat.

"Denis! kenalan yang baik," tegur Bu Arini.

Meski berat, Denis kembali mengangkat tangannya dan berjabat tangan kembali. "Denis Atma Wijaya."

"Arasy Angelista." Ditatapnya wajah yang diakui sangat tampan itu. Diakui dirinya, dia kagum dengan laki-laki di hadapannya. Meski sama-sama terpaksa menjalani hubungan ini, dia masih mau datang. Ada getaran tak biasa menelusup di relung jiwanya, tak tahu apa dan tak peduli, Arasy memilih melanjutkan makan dan mendengarkan obrolan ke-empat paruh baya tersebut.